x

Iklan

Fajar Anugrah Tumanggor

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menanggapi Indeks Persepsi Korupsi Kota Medan

(Korupsi mainnya seperti Dubuk)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

            Trasnparency International Indonesia (selanjutnya disebut TII) baru-baru ini mengeluarkan data indeks persepsi korupsi tahun 2017 di 12 kota di Indonesia. Kota yang dimaksud ialah Jakarta Utara, Pontianak, Pekanbaru, Balikpapan, Banjarmasin, Padang, Manado, Surabaya, Semarang, Bandung, Makassar, dan Medan. Perhitungan indeks persepsi korupsi menggunakan beberapa variabel. Pertama, prevalensi (tingkat) korupsi. Kedua, akuntabilitas publik. Ketiga, motivasi korupsi. Keempat, dampak korupsi. Kelima, efektivitas pemberantasan korupsi. Penelitian ini melibatkan sekitar 1200 responden pelaku usaha untuk seluruh kota yang disurvei. Bila dibagi, rerata setiap kota responden yang disurvei berjumlah 100 orang. Pendataan ini dilakukan dari bulan Juni-Agustus 2017.

            Dari hasil penelitian didapat bahwa Jakarta Utara menempati posisi teratas dengan skor indeks persepsi korupsi berjumlah 73.9 poin dari skala 0-100. Artinya, semakin besar indeks korupsi semakin bersih sebuah kota dari tindak korupsi. Sedangkan untuk posisi paling bawah ditempati oleh Medan, dengan skor sebesar 37.7 poin. Yang menandakan bahwa indeks persepsi korupsi kota ini sangat rendah. Artinya lagi, kota Medan menjadi kota dengan tingkat korupsi yang tinggi. Hal ini berbeda dengan data tahun 2015 yang menunjukkan bahwa indeks persepsi korupsi kota Medan skornya berjumlah 57 poin. Terdapat penurunan yang drastis bila dibandingkan dengan data dua tahun lalu.

            Data yang disampaikan oleh TII ini boleh jadi hanya sebatas sampel, akan tetapi, sebagai orang Medan, menanggapi data ini, kita sangat malu. Bayangkan saja, untuk prevalensi korupsi, TII mengeluarkan skor sebesar 32.6 poin, yang menandakan bahwa tingkat korupsi di Medan sangat tinggi. Sementara untuk akuntabilitas, kota Medan mendapatkan skor 37.7, yang menandakan bahwa pertanggungjawaban kepada publik sangat rendah. Untuk variabel motivasi korupsi, Medan mendapatkan skor sebesar 35.1 poin, yang menandakan tingkat motivasi korupsi di kota ini sangat tinggi. Selanjutnya, untuk instansi terdampak, kota Medan memiliki posisi terendah dengan skor 39.6 poin. Skor ini menandakan bahwa korupsi memberikan dampak luas ke instansi terkait. Di penelitian TII ini, instansi paling terdampak ialah legislatif, peradilan, dan kepolisian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

           

            Tak mengherankan memang bila melihat data yang telah dikeluarkan TII. Kota Medan adalah kubangan korupsi. Bahkan kubangan yang sudah semakin membau dan mengeluarkan aroma busuk. Jelas saja, lihat lah beberapa waktu lalu tertangkapnya mantan walikota Medan, Rahudman Harahap, hakim PTUN Medan, mantan anggota DPRD Medan, dan Kasat Narkoba Polres Belawan Ichwan Lubis terkait kasus suap menjadi alasan kuat mengapa korupsi di kota ini begitu tinggi. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif semua masuk bui. Alhasil, terjadi degradasi kepercayaan masyarakat. Ini dibuktikan dari keterlibatan masyarakat terhadap pemilu walikota dua tahun lalu hanya sekitar 25.26 persen dari seluruh masyarakat Medan (Merdeka.com, 16 Desember 2015).

            Sementara masih dari penelitian yang sama, mengapa kota Medan masih sangat tinggi tingkat korupsinya juga disebabkan banyaknya tindakan curang dan maladministrasi dalam pelayanan publik. TII menyampaikan bahwa sektor yang paling rentan terjadi korupsi ialah sektor air minum, perbankan, dan kelistrikan. Dari sektor air minum, tahun 2013 misalnya, Polda Sumatera Utara melakukan penahanan terhadap Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi, Azzam Rizal. Dia diduga terlibat dalam dugaan kasus korupsi anggaran sebesar Rp.6,3 miliar. Kasus Azzam Rizal terkait dengan pengeluaran kas untuk penagihan rekening air perusahaan itu pada tahun 2012. Diduga ada penggelembungan dana tagihan (Detik.com, 2 Mei 2013).

            Dan baru-baru ini kita dapat data mengenai adanya dugaan korupsi di PDAM terkait dengan pembangunan IPA di Martubung. Untuk hal ini, Kejari Belawan sudah memanggil dan memeriksa Heri Batanghari Nasution selaku Direktur Air Limbah dan Arif Haeryadian menjabat sebagai Direktur Administrasi dan Keuangan di Kantor PDAM Tirtanadi. Diketahui, pengusutan kasus dugaan korupsi di PDAM Tirtanadi terkait proyek pengerjaan IPA (Instalasi Pengolahan Air) di Martubung tahun 2012 yang bersumber dari anggarayan penyertaan modal Pemprovsu ini berawal, adanya laporan pengaduan. Dimana, proyek IPA di Martubung dengan nilai kontrak Rp.58 miliar terlihat pembangunan di lokasi amburadul (Muda.com, 27 April 2017). Pengerjaan yang terkesan lambat tidak jelas sangat mengganggu aktivitas masyarakat. Ini menjadi poin masukan bagi PDAM.

            Kondisi korupsi di PDAM jelas sangat menggangu publik. Saya pikir (dan semoga pikiran saya salah), korupsi ini sangat kental korelasinya dengan kualitas air yang dipakai oleh warga. Bahkan saya berani mengatakan, korupsi yang membuat air yang sampai ke warga tak layak pakai. Analisisnya begini. Air adalah komoditi yang dapat dibaharui. Alhasil, air menjadi ladang kapital bagi siapapun yang mempunyai power menguasainya. PAM (perusahaan air minum) sebut saja eufemisme dari PDAM (perusahaan daerah air minum). Padahal, esensinya tetap sama, kapital, keutungan, dan uang. Air dimonopoli di satu tangan. Monopoli di satu tangan akan cenderung berlaku korup. Ini sebagaimana di katakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Keberadaan kekuasan di satu tangan akan cenderung untuk berlaku korup. Dan keberadaan kekuasaan mutlak, akan cenderung berlaku korup dengan mutlak pula.

Nah, kembali soal air tadi. Ketika air dimonopolisasi, maka tujuan utamanya ialah keuntungan. Apa arti dari keuntungan? Tak peduli cara apa yang digunakan. Selama uang terus mengalir, masyarakat pun dianggap sebagai ladang perasan. PDAM menjadi rentenir. Menagih uang ke warganya dengan tenggat waktu yang telah mereka tetapkan. Tapi, apakah air yang didapat sebanding. Oh, tunggu dulu. Pengalaman beberapa teman saya, sebut saja inisialnya RS dan AT mengatakan kualitas air PDAM buruk (Analisa, 8 April 2016). Warnanya keruh dan berbuih. Bahkan di beberapa tempat, warna air PDAM mirip air parit. Dari sini saya berkesimpulan bahwa sebenarnya yang membuat air keruh itu ialah korupsi di PDAM. Andaikan saja uang yang dikorup justru digunakan untuk melayani kepentingan publik, maka air yang sampai ke masyarakat pun akan baik-baik saja. Selama ini, masyarakat kurang diperhatikan. Seperti yang saya katakan di awal, masyarakat hanya jadi perasan. Standar pelayanan publik diabaikan. Ini satu catatan penting.

Itu masih soal air, bagaimana soal kelistrikan? Saya pikir sama saja. Belum lama ini, sejumlah massa melakukan demo di depan gedung Kejatisu (Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara). Hal ini dipicu oleh adanya dugaan korupsi dan pungutan liar yang terajdi di tubuh PLN Sumut. “Kami menduga, pemadaman listrik yang masih menjadi keluhan utama masyarakat Sumatera Utara (Sumut), khususnya di kota Medan berkaitan dengan adanya praktik korupsi dan pungli di instansi PLN,” ujar Razak Nasution, ketua Himpunan Mahasiswa Al Washliya (HIMMAH) Sumut di kantor PLN wilayah Sumut, Jalan Yos Sudarso, Medan, Kamis, 14 April 2017.

Sementara jauh sebelum ini, yakni kasus yang menimpa mantan General Manager PT PLN Pembangkitan Sumatera Utara Bagian Utara, Albert Pangaribuan juga bisa menjadi contoh betapa layanan kelistrikan juga menjadi bancakan korupsi. Albert sudah divonis selama 11 tahun penjara karena terjerat kasus korupsi. Albert juga diwajibkan membayar denda Rp.200 juta subsider 4 bulan. Albert dinyatakan bersalah karena terlibat korupsi pengadaan barang berupa flame tube DG 10530 merek Siemens, berupa dua set Gas Turbine (GT) senilai 23 miliar lebih. Pengadaan dilakukan melalui CV Sri Makmur. Setelah barang datang, kelima pejabat ini menyatakan barang yang datang sesuai dengan yang dipesan. Namun ternyata, diketahui barang tersebut tidak sesuai spesifikasi yang dibutuhkan dan telah rusak (Detik.com, 11 Maret 2014).

Seperti yang saya katakan tadi, korupsi yang terjadi akan berimbas pada buruknya kulitas pelayanan publik yang diterima masyarakat. Seringnya pemadaman, listrik yang tiba-tiba dinaikkan, pemutusan tiba-tiba, hingga pada akuntabilitas pembayaran yang jauh dari kata transparan juga akan terjadi. Lagi-lagi, masyarakat yang akan kena getahnya. Sudah masyarakat banyak yang tak tahu permasalahan, berimbas pula pada kondisi hidupnya. Singkat kata, sudah jatuh tertimpa tangga pula, malang kali nasibnya tante.

Dua kasus di atas sesungguhnya menohok kita. Air dan listrik yang menjadi kebuutuhan primer warga juga tak lepas dari bancakan korupsi. Sehingga tak berlebihan bila TII mengatakan bahwa air dan listrik menjadi sektor yang potensial terjadi korupsi. Tentu ini menjadi peringatan keras bagi PDAM dan PLN untuk semakin berbenah kedepannya. Karena borok yang terjadi di kedua instansi ini sudah semakin akut. Dibutuhkan penanganan ekstra dari kedua instansi untuk meredam praktik kotor yang terjadi di tubuh mereka sendiri.

Hasil penelitian TII ini harus direspons oleh seluruh elemen Medan. Baik pemerintah, penegak hukum, dan juga masyarakat. Pembiaran terhadap korupsi justru akan menyuburkan praktik kotor ini terjadi di seluruh lapisan masyarakat. Dan kalau sudah menjalar, ini sungguh berbahaya. Korupsi datang bertubi-tubi dan mainnya bergerombol (layaknya dubuk-meminjam istilah Indra Tranggono). Maka dari itu, melawan korupsi harus dengan cara yang masif pula. Jangan sendiri-sendiri. Mari menggandeng seluruh elemen guna menyamakan visi dan berbagi ide soal penanganan korupsi.

Untuk itulah, sebagai bagian dari tanggung jawab sosial, saya dan seluruh rekan Jejaring Ombudsman Sumut akan mengadakan kampanye menanggapi indeks persepsi korupsi yang menimpa Medan. Gerakan yang akan kami lakukan tanggal 9 Desember 2017 (sekaligus memperingati hari antikorupsi) nanti ingin mengingatkan masyarakat bahwa korupsi itu jelas-jelas sangat merusak seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya mencederai sistem pemerintahan, tapi juga merusak kualitas pelayanan publik.

Ayo sama-sama kita bergandeng tangan memberantas korupsi. Karena hanya dengan perlawanan yang masif, korupsi bisa diredam.

 

Ikuti tulisan menarik Fajar Anugrah Tumanggor lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler