x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seandainya Para Penceramah Seperti Ustadz Felix Siauw

Dunia dakwah, semakin dirasakan “sektarian”, keberpihakan, atau bahkan melahirkan “fanatisme” akut yang terjebak dalam balutan subjektivitas “keakuan”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengikuti fenomena para penceramah kekinian di belantika dakwah Tanah Air, semakin hari kian menggelitik. Tidak saja karena soal metode dakwahnya yang beragam, atau figur para penceramahnya yang bak selebritis, namun tak jarang juga mengundang tanggapan pro-kontra dari masyarakat. Dunia dakwah, semakin dirasakan “sektarian”, keberpihakan, atau bahkan melahirkan “fanatisme” akut yang terjebak dalam balutan subjektivitas “keakuan” atau klaim kebenaran. Dakwah zaman kiwari, tidak saja mambawa klaim-klaim atas “kebenaran” sendiri, tetapi juga klaim “kesalahan” atas pihak lain yang dituduh menghalangi kegiatan berdakwah. Belantika dakwah sama seperti kegandrungan masyarakat akan fenomena genre musik, ada yang suka rock, heavy metal, dangdut, pop-rock, jazz, atau bahkan musik tradisional hingga marawis atau kasidahan. Mereka seperti memiliki fans-nya sendiri-sendiri dan membawa panji genre musiknya masing-masing.

Para pendakwah—saya menyebutnya penceramah—adalah seseorang yang difigurkan seperti guru (ustadz) karena keberadaannya sebagai peyampai pesan-pesan moral dan pengajak kebajikan kepada masyarakat dan mereka kemudian mengikutinya serta merasa terpuaskan atas apa yang disampaikan penceramah. Sebelum era milenial, belantika dakwah tidak secanggih saat ini, karena dulu jika ingin mendatangkan penceramah, tentu saja harus pada waktu dan tempat yang tepat. Nama-nama beken yang menyejarah, seperti KH Zainuddin MZ, KH Abdul Fatah Ghazali, KH Syukron Makmun—untuk menyebut beberapa nama saja—tentunya menjadi figur-figur “inklusif” yang menjadi milik semua golongan, tak mengandung sekat-sekat kekelompokan apalagi sektarian. Ciri dari metode dakwah mereka tentu saja mengulas fenomena sosial kekinian, sesekali terkadang “menyentil” penguasa, atau kritiknya pada soal sektarianisme, fanatisme kekelompokan atau bahkan kecondongan berlebih terhadap aspek keduniawian.

Metode dakwah terdahulu, sepertinya mengedepankan cara-cara bijak, “merangkul” bukan “memukul”, “membina” bukan “menghina” atau “mendekat” bukan “menghujat”. Bahkan dalam beberapa hal, dakwah juga bisa menjadi “hiburan keagamaan” yang bisa dinikmati semua kalangan tak ada batas stratifikasi atau segmentasi. Cara pandang masyarakat terhadap penceramah, tentu saja bernada positif, hampir jarang terungkap nada-nada sumbang yang destruktif apalagi memberikan hujatan kepada penceramah. Arus globalisasi dan modernisasi—terutama dalam dunia teknologi—ternyata sedikit banyak merubah cara berdakwah, tak lagi harus hadir atau mendatangi tempat-tempat pengajian, tetapi dengan santai dapat dinikmati melalui jejaring media sosial. Bahkan, dakwah dapat dikomentari secara langsung, menjadi wacana perdebatan yang sengit, saling hujat, saling “damprat” bahkan saling “sikat”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fenomena penceramah “bermasalah” belakangan kian marak, dari soal mereka yang berpoligami, nikah siri, melakukan penghinaan, hingga sampai pada penolakan ceramah seseorang karena dianggap berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara. Salah satu penceramah yang seringkali mendapat penolakan dari kelompok tertentu, adalah Ustadz Felix Siauw (UFS). Dari beragam informasi yang dirilis media, UFS seringkali ditolak berceramah, hanya karena alasan subjektif dan klasik: membahayakan keutuhan NKRI. Padahal, sesungguhnya ceramah keagamaan, tentu saja adalah penyampaian pesan-pesan moral yang baik, agar masyarakat selalu diingatkan melalui penanaman nilai-nilai kebaikan bersama. Saya tidak mengetahui secara pasti, apakah isi ceramah seseorang dapat berdampak langsung terhadap prilaku seseorang untuk mengikutinya atau tidak, karena saya yakin ini membutuhkan aspek penelitian yang mendalam.

Saya tentu saja secara pribadi suka mendengarkan ceramah siapapun, dari kalangan manapun, bahkan dari latar belakang keyakinan apapun. Bagi saya, hampir seluruh isi ceramah selalu memberikan hal-hal baru yang bermanfaat, walaupun tentu saja ada yang menurut saya tidak pantas dan tidak perlu diikuti dan itu cukup bagi saya. Jujur, saya lebih suka ceramah-ceramah almarhum KH Zainuddin MZ, KH Abdul Fatah Ghazali, dan yang saat ini sedang “naik daun” seorang penceramah muda dari Babat, Jawa Timur, KH Anwar Zahid. Koleksi saya soal penceramah yang terakhir disebutkan, hampir memenuhi harddisk di laptop pribadi saya, bahkan di flashdisk saya simpan untuk sesakali diperdengarkan ketika saya berkendara.

Soal UFS, saya juga beberapa kali mendengar ceramahnya dan saya tidak pernah ber-suudzon, apakah dirinya terkait kaum jihadis, berpaham fundamentalis, radikalis atau sejenisnya. Yang pasti, pernah ada informasi menarik yang diunggah dirinya melalui akun Facebook pribadinya, bahwa dirinya ikut pengajian maiyahan yang diasuh kiai mbeling, Muhammad Ainun Najib (Cak Nun). Bagi saya, maiyahan adalah konsep “ngaji” yang moderat, bahkan lintas tradisi dan agama. Sehingga, hampir dipastikan, seseorang yang memiliki cara pandang “fundamentalis” pasti enggan datang ke maiyahan. Saya berhusnudzon saja kepada UFS, dengan menghadiri maiyahan Cak Nun, berarti dirinya belajar untuk bisa menerima setiap perbedaan pendapat, mencari pencerahan keagamaan dan tentu saja berupaya mencari kebenaran dari sudut pandang yang berbeda.

Terlepas apakah itu upaya UFS meng-counter sebagian pandangan masyarakat yang menuduhnya anti-NKRI, anti-Pancasila atau anti-Aswaja, namun kedatangannya ke pengajian Cak Nun merupakan tradisi baik yang belum tentu dilakukan penceramah lainnya. Saya justru teringat, bagaimana para ulama terdahulu, mentradisikan praktik “saling mengaji” ini, mengingat mereka sadar, bahwa kebenaran bukanlah klaim bagi salah satu pihak. Kebenaran adalah “proses” yang senantiasa mengiringi setiap perjalanan pendalaman pemikiran, pengungkapan pendapat, dan bagaimana memandang objektivitas suatu kebenaran itu sendiri. Sejarah para ulama Nusantara terdahulu, jelas memperlihatkan tradisi seperti ini, sehingga tak ada satupun diantara mereka yang kemudian merasa dirinya atau kelompoknya paling benar. Saya kira, model “klaim kebenaran” yang kemudian seringkali menjadi masalah dalam berdakwah, justru semakin rumit ketika ditambah dengan paksaan kepada pihak lain agar mengakui klaim kebenarannya yang sedang dibangunnya sendiri.

Seandainya banyak penceramah seperti UFS, mau mendatangi pengajian, ikut mengaji dengan ulama-ulama lain, saling berdialog membangun tradisi keilmuan tanpa ada klaim sepihak atas suatu kebenaran, tentu saja belantika dakwah Tanah Air tak akan seheboh dan semiris saat ini. Setiap perbedaan dapat disatukan melalui jaringan kuat keulamaan yang saling terhubung, meskipun mereka berdakwah dengan metode berbeda, namun hakikatnya bertujuan sama: mengajak kepada kebaikan. Walaupun teknologi telah merubah dalam banyak hal, baik soal cara pandang, berpendapat, atau menyatakan sikap perbedaan yang relatif sangat cepat, namun kekuatan jaringan keulamaan tak akan membuat sebuah tujuan dakwah kemudian melenceng.

Maraknya para penceramah keagamaan yang bermasalah belakangan ini, bukannya semakin menambah wawasan yang luas soal keilmuan agama, cara pandang yang lebih bijak, atau kenyataan terserapnya nilai-nilai kebajikan dalam diri setiap pengikutnya, justru malah sebaliknya, seringkali terjadi “anomali keagamaan” dimana agama tak lagi menjadi landasan bagi tumbuhnya nilai-nilai luhur terhadap kenyataan moralitas, tetapi menjadi ajang pertentangan bahkan persemaian kebencian, karena hanya soal perbedaan pendapat. Kelompok-kelompok yang mengklaim dirinya moderat, malah ikut-ikutan memancing reaksi masyarakat dan lahirlah kondisi saling kritik atau saling hujat diantara kelompok yang sesungguhnya berkayinan sama dalam hal agama.

Bukankah metode berdakwah secara umum mengharuskan “kemudahan” bukan memperkeruh suasana dengan berbagi “kesulitan?” Bahkan doktrin dakwah keagamaan jelas “mengajak” melalui sikap yang bijak sehingga mereka yang didakwahi mengikuti bukan lari. Mengajak seseorang untuk mengikuti “jalan Tuhan” memang tak lepas dari pengetahuan memadai akan ilmu-ilmu agama seorang penceramah, bukan dengan jalan pintas, sekadar belajar agama secara instan, lalu disampaikan kepada pihak lain. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS Annahl: 125). Berdakwah tentu saja “meluruskan” dari “kesesatan” bukan “menyesatkan” yang telah “lurus”, karena Tuhan-lah yang berhak mengklaim seseorang telah sesat atau lurus dari jalan-Nya.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu