x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Maulid Nabi “Jaman Now” dan Reuni Politik

Maulid Nabi Muhammad menjadi peristiwa sejarah yang sangat penting bagi umat muslim, bukan saja sebagai pengingat atas setiap prilaku Nabi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nabi Muhammad SAW adalah sosok manusia paling sempurna dalam banyak hal, pembawa agama Islam yang penuh damai, pemimpin agama dan politik yang pengaruhnya sangat besar dan berakar dalam sejarah peradaban manusia, bahkan hingga saat ini dan mungkin di masa-masa mendatang. Seorang ahli matematika dan sejarah berkebangsaan Amerika, Michael H Hart, menempatkan Nabi Muhammad pada urutan pertama dalam karyanya yang monumental, “Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah”. Keyakinan Hart terhadap sosok Nabi Muhammad, terlepas sama sekali dari keyakinan agamanya yang Nasrani, tetapi berdasarkan pengamatan dirinya secara objektif, bahwa sosok Nabi Muhammad sukses membawa perubahan besar, tidak hanya bagi peradaban bangsa Arab, tetapi juga bagi seluruh umat manusia.

Hart mendasarkan argumentasinya kepada dua hal, kenapa dirinya memilih Nabi Muhammad pada urutan teratas dalam karya sejarahnya. Pertama, dirinya meyakini, bahwa pengaruh Nabi Muhammad jauh lebih besar ketimbang pengaruh Nabi Isa dalam penyebaran agama Nasrani, walaupun jumlah penganut Nasrani saat ini, dua kali lebih banyak dari penganut agama Islam di dunia. Jika Nabi Isa penyebaran ajaran etika dan moralnya terhenti dan dilanjutkan oleh St Paul, maka Nabi Muhammad tidak saja bertanggung jawab terhadap teologi Islam, tetapi sekaligus terhadap etika dan moralnya secara berkesinambungan. Kitab suci Al-Quran yang diyakini merupakan firman Tuhan yang dibahasakan oleh diri Nabi Muhammad, jelas sangat terjaga orisinalitasnya, sehingga sepeninggal dirinya, ajaran etika dan moralnya, terangkum secara abadi dalam Al-Quran dan tersebar kepada umat manusia di seluruh dunia.

Al-Quran jelas merupakan kitab suci yang terkait erat dengan pemikiran dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad yang tentu saja bersumber langsung dari wahyu Tuhan. Dan menurut keyakinan Hart, tak ada satupun kumpulan terperinci dari ajaran-ajaran Nabi Isa yang masih dapat dijumpai hingga masa sekarang, walaupun seluruh umat muslim meyakini, bahwa Injil dan Al-Quran sama pentingnya, sebagai kitab suci yang wajib diimani kedudukannya. Dengan kalimat yang sangat meyakinkan, Hart kemudian berargumen dalam bukunya, bahwa pengaruh Nabi Muhammad lebih besar dari pengaruh Isa dan St. Paul dalam dunia Kristen jikapun digabung menjadi satu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedua, Hart mendasarkan argumennya pada sebuah fakta sejarah, bahwa Nabi Muhammad tidak saja merupakan pemimpin agama tetapi juga duniawi—hal yang membedakan Muhammad dengan Isa. Pengaruh kepolitikan Nabi Muhammad terus membesar dan selalu menjadi kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan bangsa Arab atas wilayah-wilayah sekitarnya. Kepemimpinan politik Nabi Muhammad jelas mengilhami dan selalu menjadi alasan paling kuat, hingga pengaruh Islam membentang dari Irak hingga Maroko, dan penyatuan bangsa Arab bukan semata-mata didasarkan atas keyakinan yang sama atas agamanya, tetapi karena bahasanya, budaya dan sejarahnya. Keberadaan Al-Quran yang ditulis dalam bahasa Arab, besar kemungkinan merupakan sebab mengapa bahasa Arab tidak terpecah-pecah kedalam dialek-dialek yang berantakan.

Lebih dari 15 abad yang lalu, keberadaan sosok Nabi Muhammad jelas tak pernah bisa tergantikan dalam rangkaian sejarah perkembangan manusia, terlebih bahwa Al-Quran yang saat ini ada, tak pernah berubah sedikitpun, baik dari sisi penulisan maupun bahasanya. Inilah keistimewaan Nabi Muhammad yang justru seluruh prilakunya cermin dari ajaran-ajaran Al-Quran, membawa misi perdamaian dan kemajuan tidak saja diperuntukkan bagi bangsanya sendiri, tetapi bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia. Sejarah mengenai kehidupannya yang agung, telah ditulis oleh banyak orang, dari generasi ke generasi, bahkan hingga sampai detik ini.

Maulid Nabi Muhammad dengan demikian menjadi peristiwa sejarah yang sangat penting bagi umat muslim, bukan saja menjadi pengingat atas setiap prilaku dan cara hidupnya yang begitu mulia, tetapi juga bentuk pengakuan atas kenyataan, bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai “rahmat bagi semesta alam”. Peringatan maulid Nabi Muhammad bagi saya menjadi sangat penting, bukan didasarkan sekadar reuni (politik) yang kemudian mendatangkan sekian banyak orang tetapi dengan tujuan-tujuan “kepolitikan”. Lebih jauh dari itu, maulid seharusnya menjadi semangat napak tilas daalam meneladani sosok agung yang berhasil mempersatukan dan memajukan sejarah peradaban manusia. Meneladani kenabian Muhammad, tentu saja dengan membacakan riwayat hidupnya yang secara mutawattir (tersambung) berhasil diungkap kembali oleh sahabat-sahabatnya dan generasi setelahnya.

Sangat disayangkan, ketika peristiwa besar yang melingkupi perjuangan Nabi Muhammad kemudian malah dilarang atau dibid’ahkan oleh segelintir orang. Hal ini tidak saja sebagai bentuk pengakuan keliru dari aspek kecintaan kepada Rasululah, tetapi menutup dan membutakan sejarah terhadap peristiwa-peristiwa penting yang melingkupi sosok kenabian Muhammad. Pengakuan Imam Syafii yang secara apik direkam oleh Ibnu Hajar Al-Haytami dalam bukunya, “Ni’matul Kubra ‘alal ‘Alam” menyebutkan, “Siapa yang berkumpul dalam suasana persaudaraan dan kedamaian pada peringatan maulid Nabi, menyediakan tempat dan makanan bagi mereka dan melakukan perbuatan baik, maka apa yang dilakukannya—dengan membacakan sejarah maulid—menjadikan sebab dibangkitkan dirinya kelak bersama orang-orang soleh, jujur dan para syuhada dan bersama mereka dalam surga-Nya” (Alhaytami: 1977, h.10).

Peringatan maulid Nabi tentu saja diisi dengan pembacaan kembali atas sejarah kenabian Muhammad, penuh kedamaian dan persaudaraan yang sama sekali sepi dari hiruk-pikuk politik kekuasaan, terlebih jika kemudian dilakukan karena adanya hasrat tertentu yang dialamatkan kepada para penguasa. Maulid Nabi, tak pernah menjadi “reuni politik” sekelompok orang yang diiringi yel-yel perjuangan yang mempertontonkan semangat dalam merebut kekuasaan, terlebih didahului oleh sebuah “pergerakan” yang “membakar” semangat massa untuk mendatangi arena perhelatan maulid. Jika benar ada sekelompok orang yang menjadikan maulid Nabi Muhammad menjadi ajang “reuni politik”, bukan saja telah mencederai makna maulid yang mengagungkan sejarah Nabi, tetapi justru mengaburkan dan merendahkan makna maulid hanya sekadar pemenuhan nafsu atas hasrat kekuasaan.

Peristiwa kelahiran Nabi Muhammad pada 12 Rabi’ul Awal, jelas ditandai oleh banyak peristiwa penting, termasuk hancurnya kepongahan dan kesombongan yang dipertontonkan oleh kekuasaan Abrahah. Dengan semangat kekuasaan politiknya yang menggelora, Abrahah hendak menghancurkan Ka’bah yang menjadi simbol kesucian bangsa Arab. Tak tanggung-tanggung, Abrahah membawa serta ratusan pasukannya yang sebagian diantaranya mengendarai gajah. Abrahah jelas, mempropagandakan agar seluruh pasukannya datang ke Mekkah, membawa kebencian dan kesombongan dengan dalih kebaikan, agar orang-orang Arab berhaji tidak lagi mendatangi Ka’bah, tetapi ke Habasyah (Yaman) karena disanalah Abrahah berkuasa. Kekuasaan politik yang disombongkan Abrahah, kemudian ditumbangkan oleh sepasukan burung atas perintah Tuhan dan kesombongan-pun hancur, berganti dengan kedamaian bagi bangsa Arab.  

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler