x

Iklan

Natasya Sitorus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hari AIDS Sedunia 2017: #sayaberani ?

Sebuah refleksi dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia 2017

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak kurang tiga puluh tahun sudah HIV dan AIDS menjadi epidemi di negeri ini. Peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) 2017 kali ini mengusung tema “Saya berani, saya sehat”. Tema ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian seluruh masyarakat terhadap HIV dan AIDS dengan cara melakukan tes HIV. Setelah tes, jika hasilnya positif maka akan dilanjutkan dengan pengobatan antiretroviral (ARV) sedini mungkin. Melalui kampanye ini, masyarakat diajak untuk berperan serta dengan cara sederhana menyerukan “Saya berani” lewat tulisan pada tangan atau lengan. Harapannya, mereka yang ikut dalam kampanye ini pada akhirnya akan memeriksakan status HIV mereka ke layanan kesehatan terdekat.
 
Media sosial pun mulai ramai dengan tagar #sayaberani. Berbagai acara digelar dalam rangka peringatan HAS 2017. Walaupun tahun ini peringatan puncaknya akan diselenggarakan di Sumatera Selatan, namun diperkirakan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day) 3 Desember 2017 di sepanjang ruas Jl. Imam Bonjol – Bunderan Hotel Indonesia akan memerah oleh peserta kegiatan. Tagar #sayaberani pun sempat menjadi trending topic di Twitter selama empat jam pada tanggal 28 November 2017 lalu.
 
Kemeriahan dan antusias masyarakat menyambut peringatan HAS 2017 seakan memberi harapan bahwa ketakutan terhadap HIV dan AIDS berkurang. Walau nyatanya, masih ada anak-anak HIV serta pengasuh mereka yang tidak berani bicara apa-apa tentang status HIVnya. Kisah yang dialami Nabil empat tahun silam, masih membekas di ingatannya. Ia ingat betul bagaimana reaksi orang tua teman-temannya yang memandang dengan tajam ketika ia berjalan menuju ruang kelas. Bahkan masih terngiang di telinganya teriakan temannya yang mengatakan bahwa ia memiliki virus dan harus dijauhi. Ia bahkan meminta nenek membelikan topeng untuk dipakai ke sekolah. Nabil masih trauma. Tiga kali ia harus pindah sekolah karena desas desus status HIVnya. Belum lagi nenek yang terpaksa pindah rumah karena akhirnya pemilik kontrakan mengetahui alasan mengapa Nabil sampai tiga kali pindah sekolah. Tak ada yang lebih mudah sejak itu. Apa yang mereka alami menjadi alasan kuat untuk tidak bercerita kepada siapapun tentang status HIV Nabil.
 
Lain lagi cerita nenek Ani. Banjir pertengahan Oktober lalu membuatnya terpaksa mengungsi ke rumah saudara. Ia tahu benar bahwa kedatangannya bersama tiga cucunya tidak akan disambut dengan baik. Nenek Ani tidak berani berbuat banyak untuk menghadapi keadaan itu. Baginya yang terpenting saat ini adalah keselamatan tiga cucunya dari banjir yang mengepung rumah mereka di Jakarta Barat.
 
Ketidakberanian Nabil dan nenek serta nenek Ani dan tiga cucunya, hanyalah secuil cerita yang sempat didokumentasikan oleh Lentera Anak Pelangi sebagai lembaga yang mendampingi mereka. Di luar sana, masih banyak kisah sedih lain yang kemudian ditelan sendiri oleh mereka yang rentan mengalami stigma dan diskriminasi karena status HIV. Bukan hanya di lingkungan sekolah atau masyarakat saja anak-anak dan keluarganya ini rentan mengalami stigma dan diskriminasi. Dalam situasi penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia pun, anak belum dijadikan prioritas. Tiga persen dari total 255.527 kasus HIV di Indonesia tidak membuat anak menjadi kelompok yang darurat harus diperjuangkan. Seringkali persoalan HIV pada anak berakhir hanya pada program pencegahan penularan HIV dari ibu kepada anak saja. Tapi bagaimana dengan anak yang sudah terlahir dengan HIV? Apakah mereka dibiarkan saja?
 
Momentum HAS 2017 ini mungkin seharusnya bisa dipakai semua pihak untuk kembali merefleksikan praktek dan kerja pemerintah maupun lembaga non pemerintah dalam upaya penanggulangan epidemi HIV dan AIDS selama 30 tahun terakhir. Apakah keberanian yang kita serukan untuk berani memeriksakan diri juga diikuti keberanian kita untuk hidup berdampingan dengan orang dengan HIV? Apakah keberanian kita untuk mengetahui status HIV diikuti dengan keberanian kita menerima bahwa di dalam ruang kelas di sekolah tempat anak kita menimba ilmu, ada seorang anak HIV yang juga duduk di sana? Apakah keberanian kita itu juga berarti kita berani bersuara untuk mereka yang memilih bungkam karena tahu apa rasanya didiskriminasi? Apakah keberanian kita juga berarti kita berani untuk tidak memikirkan diri sendiri tetapi paling tidak sedikit merasa bertanggung jawab atas apa yang dialami anak-anak ini? Anak tidak bisa memilih dari siapa mereka dilahirkan. Jika mereka bisa, maka mereka akan memilih terlahir dari orang tua yang sehat dan sejahtera, dan memilih untuk dengan lantang berseru, "Saya berani!".
 

Ikuti tulisan menarik Natasya Sitorus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler