x

Iklan

Ananda Bahri Prayudha

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Di Mana Kedaulatan Pangan di Era Perdagangan Bebas?

#LokalatauImpor

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dewasa ini masyarakat yang menggantunggkan hidupnya lewat sektor pertanian acap kali merasa kesulitan dalam mewujudkan harapan-harapan dan mimpinya, apakah sebenarnya yang terjadi pada sektor pertanian di republik ini,? sesulit itukah menemukan nilai kesejahteraan bagi kaum petani ? adakah yang mampu memberikan solusi konkrit mewujudkan kesejahteraan bagi petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha/kk atau hanya menjadi petani gurem.? Apakah ekspor beras ke Malaysia sudah berhasil meningkatkan kesejahteraan petani.? dan bagaimana dengan liberalisasi pada sektor pertanian.?

Sadarkah kita gempuran liberalisasi sektor pertanian semakin menghimpit dada petani, semua aturan yang disepakati oleh Negara-negara yang tergabung dalam organisasi perdagangan dunia (WTO) masih terus mendapatkan kritik keras sampai hari ini, berapa banyak petani di negara-negara miskin dan berkembang yang merasa sangat di diskritkan oleh produk hukum yang disepakati dalam perundingan-perundingan tersebut.

Negara Prancis pernah dengan lantang mengatakan bahwa subsdi untuk sektor pertanian tidak mungkin dihapuskan, sebab jika hal itu dilakukan maka partai yang melakukan kesepakatan tersebut akan kalah dalam pemilihan selanjutnya karena di anggap tidak berpihak pada petani, lihat bagaimana besarnya kekuatan petani bagi negara Prancis, tidak hanya berhenti sampai disitu, negara lain yang berkomitmen menjaga  besaran subsidi dan stok pangannya adalah India, pada KTT bali, mereka meminta agar memilih hak memberikan sudsidi pada produk-produk pertanian mereka tanpa terkecuali, dengan penuh  komitmen akhirnya india berhasil mewujudkan keingginannya tersebut meski sidang sempat tertunda, lalu kegelisahan bagi anggota WTO juga datang dari negara-negara miskin yang merasa kesepakatan ini hanya memberikan keuntungn bagi negara maju saja,bahkan Kuba sempat  mengancam tidak akan memberhentikan embargo perdagangannya terhadap Amerika. Bagi Uni Eropa, Jepang dan AS, subsidi adalah masalah memenangkan pemilu, sementara bagi negara berkembang, hal itu dapat berarti hidup matinya petani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seorang pengamat pernah mengatakan bahwa paket bali sebenarnya tidak diperlukan, paket bali merupakan bentuk penjajahan baru negara maju kepada negara miskin, pada kenyataanya kita telah masuk kedalam penjajahan gaya baru yang tidak tampak namun memakai aturan global, aturan global itu yang tidak kita rasakan akan tetapi mengatur seluruh hidup kita, mengatur undang-undang, mengatur apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah, mengatur semua kebijakan pemerintah, sehingga tidak lagi membebaskan rakyat kita dari kemiskinan, lalu bagaimana bisa melahirkan kesejahteraan dengan kondisi seperti ini.?

Tentu kita belum lupa bagaimana International Monetary fund (IMF) yang hadir bagaikan dewi fortuna bagi perekonomian bangsa, saat krisis moneter melanda, lantas apakah persoalan selesai setelah kehadiran IMF.? Apakah ada perbedan IMF dengan WTO.? kita baru saja memulai kepiluan baru bagi bangsa ini, bagaimana tidak mereka hadir membawa mantra neoliberal, yakni privatisasi, liberalisasi dan deregulasi atau yang sering disebut sebagai Structural Adjusment Programs (SAPs), maka dengan penerapan liberalisasi pertanian melalui mantara ini, pola pertanian kita kian berubah, yang semula  berorientaasi pada pemenuhan kebutuhan pangan bagi setiap orang dalam keluarga berubah menjadi pangan berorientasi ekspor, yang pada akhirnya tidak berorientasi pada peningkatan kesejahteraan petani dan buruh tani disebabkan oleh ketidak berdayaan negara dalam menentukan sikap dan kebijakannya sendiri.

Ingat bangaimana tingginya impor gula yang terjadi pasca tahun 1998, IMF menggerogoti kedaulatan gula kita, tercatat sebelum tahun 1998 impor gula dibawah 500 ribu ton, namun lonjakan drastis  terjadi pada tahun 1999, saat kita dibanjiri 2 juta ton gula impor yang menyebabkan PTPN  dan perusahaan swasta lainnya mengalami kerugian dan tidak dapat bersaing dengan harga gula impor, dampak dari hal ini masih kita rasakan sampai hari ini, Semester I – 2017, Pemerintah mengeluarkan izin impor gula kepada importir sebesar 1,6 juta ton, dan ini menjadi bukti bahwa Indonesia tidak lagi berdaya dalam memenuhi kebutuhan gula dalam negerinya, murahnya harga menyebabkan perushaan dalam negeri tidak mampu bersaing dan perlahan lahan “menjadi hidup segan mati tak mau”,  istilah itu yang sangat relevan di sematkan kepada perusahaan dalam negeri kita saat ini.

Indonesia kalah dalam banding dengan WTO terkait tentang Restiksi daging dan Holtikultura Amerika Serikat dan Selandia Baru, dengan keputusan WTO itu, kata Direktur Perundingan Multirateral Kementerian Perdagangan, Jully Paruhum Tambunan, pemerintah terhitung mulai 22 November 2017 harus menyesuaikan 18 aturan impor hortikultura, hewan, dan hewani dengan ketentuan badan internasional tersebut. Artinya, 18 ketentuan yang dipermasalahkan harus sudah mulai diubah dengan diawali tahap reasonable period of time (RPT). Sebelumnya pernyataan dari Menteri perdagangan selandia baru David Parker akan menambah ekspor negaranya ke Indonesia, keputusan ini penting untuk meningkatkan ekspor kami ke pasar Indonesia, tegas David Parker dan Selandia baru mengklaim, atas hambatan yang sempat diterapkan tersebut impor produk mereka ke Indonesia turun drastis sebesar 80 %, seperti dilansir laman scoop.co.nz, Jumat (10/11).

US Trade Representative Robert Lighthizer juga menyampaikan hal yang sama, “Ini adalah kemenangan mutlak bagi AS dan Selandia Baru dan akan memperluas pasar bagi petani dan peternak di AS, Restriksi impor yang diterapkan Indonesia sejak 2011 menggarisbawahi kepentingan bagi produk daging untuk memenuhi standar halal bagi konsumen di Indonesia. Namun, WTO berpandangan, Indonesia tak dapat melampirkan bukti atas kepentingan itu.

Jika sudah seperti ini masihkah kita percaya dengan muslihat yang mengatasnamakan kepentingan dagang dunia yang memberikan akses pasar bagi negara miskin dan berkembang.? Indonesia harus dengan Tegas menyatakan sikap keluar dari WTO, tidak ada kata terlambat untuk memulai perubahan yang lebih baik bagi kedaulatan pangan, surplus sebasar apapun tidak akan menyelamatkan kita, biaya produksi kita masih sangat tinggi dan subsidi mereka jauh lebih besar untuk sektor pertanian, jangan sampai hal yang sama pernah menimpa Indoneisa terulang kembali pada bangsa yang sama-sama kita cintai ini.

 #LokalatauImpor

 

SumberFoto:

http://2.bp.blogspot.com/ItYZgG1CUe0/UqB61xuBWdI/AAAAAAAAAc4/67LzQXNZDXE/s640/Petani+Tolak+WTO+kabarnua.JPG

 

 

Catatan : Penulis Merupakan Alumnus Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, pernah menjabat sebagai Sekertaris Jenderal Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI) periode 2014-2016, Koordinator Umum Forum Komunikasi Mahasiswa Pertanian Indonesia (FKMPI) periode 2015-2016 dan saat ini aktif di Badan Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (BPP PISPI) periode 2016-2021

Ikuti tulisan menarik Ananda Bahri Prayudha lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB