x

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pendekar 212 Hormat pada Guru

Lihat saja dampak dari pencampuradukkan agama dan politik. Negara-negara berbasis agama porak poranda,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Eyang Sinto Gendeng meskipun cara  mengajarmu gendeng Tapi saya Wiro Sableng  sangat menghormatimu. Hormat sedalam-dalamnya buatmu karena tanpa Engkau saya bukanlah siapa siapa”

Begitulah dialog imajiner Wiro Sableng kepada gurunya Sinto Gendeng. Sinto  Gendeng adalah guru sejatinya. Gemblengan Sinto telah melahirkan  kekuatan besar yaitu kesaktian, kepandaian, mental baja menghadapi hambatan kehidupan dan tetap berada di jalan kebenaran dengan memberantas kejahatan di muka bumi. Meskipun tingkah laku gurunya katakanlah gendeng tapi bukan berarti “gendeng” Akhlaknya, tidak bermain politik dan mencampuradukkan urusan keimanan dengan syahwat politik. Wiro Sableng adalah gambaran pendekar yang kocak, lucu, norak tapi dicintai orang-orang yang bisa dikatakan”wong cilik” yang sering ditekan, digiring, digerakkan untuk memenuhi syahwat kekuasaan perampok lalim, penjahat keji dan politikus busuk yang ingin menggenggam kekuasaan dengan cara yang licik.  Kegilaan  masyarakat menghadapi  ujaran kebencian, teror  manusia yang berwatak dajjal  itu yang membuat hubungan guru dan murid semakin erat. Murid menghormati gurunya dengan caranya sendiri dan Guru (Sinto Gendeng) mengajari muridnya dengan caranya yang khas .

Membungkuk sebagai simbol ketulusan dan penghormatan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cerita Wiro Sableng itu mengajarkan kepada manusia untuk tidak lupa akan jasa-jasa guru kepada siswanya. Ketika siswanya beranjak dewasa dan sudah “mentas” sukses dalam arti menemukan pekerjaan yang mapan dan perekonomian yang jauh lebih baik dari guru-gurunya hormat pada guru tetap harus dilakukan. Tidak harus membalasnya dengan membantu secara finansial, hormat dengan tulus dan membungkuk sebagai sebuah simbol ketulusan dan keikhlasan sudah cukup.

Semoga  rasa hormat murid kepada guru disambut para guru untuk lebih meningkatkan lagi kinerjanya dan terus belajar menambah pengetahuan dan semakin kreatif mendidik siswanya.

Saat ini keprihatinan masyarakat adalah semakin banyaknya ujaran kebencian, semakin banyaknya orang yang secara dangkal mengartikan perbedaan sebagai bencana . Mengkafirkan keyakinan orang lain, menakut-nakuti orang dengan isu munculnya komunisme baru, ekstrem kiri.

Bukan untuk mengajarkan Korupsi 

 Apakah sejatinya yang diajarkan guru sejarah, meluruskan  pengetahuan ataukah hanya mengajarkan doktrin-doktrin agama dengan mengaburkan fakta? Tugas guru tidak hanya mentransfer pengetahuan  saja tapi juga mengajarkan ilmu kehidupan, kebijaksanaan agar anak didiknya kelak mempunyai mental jujur, berperilaku  baik dan tidak terjerumus pada politik praktis yang menghalalkan segala cara dan ikut berpesta  menjarah harta negara dengan cara korupsi.

Guru meskipun gajinya relatif kecil tapi akan merasa bahagia  jika muridnya  masih ingat jasa-jasanya, membungkuk dalam-dalam dan tetap rendah hati meskipun telah menjadi pejabat negara atau bahkan berada di pucuk tertinggi kekuasaan. Guru merasa prihatin melihat tingkah murid – muridnya kini yang notabene dulu amat dibanggakan karena pintar dan cerdas ternyata kini terlibat dalam konspirasi tingkat tinggi untuk menggulingkan kekuasaan yang sah dan ikut andil  memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa.

Banyak sendi-sendi  akhlak  muridnya yang pandai, cerdas, ternyata rapuh sikap sosialnya. mereka tergerus oleh ambisi kekuasaannya yang mengharubiru yang menjadikan dirinya  terus bergerak nyinyir membabi buta menyerang lawan politiknya dengan cara-cara tidak terhormat. Keteladanan ajaran agama dijadikan tameng untuk bergerak menyerang dan menggulingkan kekuasaan yang syah. Politik dicampuradukkan dengan  agama. Nafsu dunia dikombinasikan dengan ajaran “kasih” agama sehingga masyarakat yang merasa religius itu ikut saja digiring oleh politisi untuk merangsek ke kandang  politisasi agama dan mengesahkan “pemberontakan” sebagai  Jihad agama.

Lihat saja dampak dari pencampuradukkan agama dan politik. Negara-negara berbasis agama porak poranda, mereka  terus berperang hanya karena beda mashab, beda aliran, beda penafsiran. Pembunuhan keji, penghancuran kota terus berlangsung di mana agama menjadi panglima tertingginya.

Pembunuhan, pembantaian seakan -  akan sah sebagai sebuah upaya perang terhadap musuh agama. Padahal Tuhan mengajarkan kasih sayang, bukan mengajarkan untuk saling membenci.

Dan fenomena saat ini yang lebih miris lagi adalah munculnya media sosial berlabel forum guru tidak berbicara bagaimana caranya mendidik nurani siswa dan memperjuangkan adab, serta bagaimana membangun pendidikan yang kokoh dan mampu bersaing di tingkat global, tetapi hanya berisi keluhan, bahkan umpatan, perdebatan tafsir agama. Bahwa ujaran kebencian pun muncul di forum guru. Lalu jika guru ikut larut dalam perdebatan dan bagaimana murid bisa menghargai guru yang katakanlah harus digugu dan ditiru. Jika gurupun melakukan pelacuran kata-kata apa yang bisa dicontoh murid kepada gurunya.

Bahkan sekarang ada dosen, guru besar, senior bermain politik praktis. Ke mana-mana berteriak-teriak mengajarkan rasa benci pada lawan politik. Mengumpulkan masa di forum yang suci, mencampuradukkan ajaran kasih dengan  syahwat politik. Miris. Seharusnya dosen yang  fungsinya adalah pendidik, mengajarkan fakta, meluruskan sejarah dan melahirkan ilmuwan berintegritas bukan malah memberi pengajaran buruk bagi iklim politik negeri ini. Lalu apa yang bisa dibanggakan mahasiswanya jika  dosennya saja lebih sibuk berorasi tapi lupa mengajarkan ilmu.

Hormat untuk guru dari Presiden

Sebuah keteladan ditunjukkan Presiden Joko Widodo untuk guru di  tanggal 2 Desember (212) 2017 di Stadion Chandrabaga Bekasi. Hormat sedalam-dalamnya untuk jasa gurunya yang telah mengabdi, bekerja untuk pencerdasan bangsa. Untuk para guru mari sikapi penghormatan presiden itu untuk membangun tekad membangun karakter siswa   agar nantinya bisa menjadi generasi cerdas yang tidak bersikap Adigang,Adigung, Adiguna(Kekuatan, kekuasaan dan Kepintaran). Kecerdasan bukan untuk menipu atau mempengaruhi rakyat untuk tunduk pada kekuasaan, kecerdasan diperlukan untuk mampu bersaing secara sportif dengan negara-negara lain,  kreatif melahirkan karya unggulan sehingga negara Indonesia mampu bersaing ditingkat global. Bukan hanya sebagai pengguna tekhnologi canggih, tetapi juga penciptanya. Jika anak-anak cerdas negeri ini lebih sibuk  berdebat kusir masalah agama, masalah politik tetapi lupa membangun  bangsa, siap-siaplah kembali terjajah dan menjadi bulan-bulanan negara lain.

lupakan trik-trik politisi yang hendak memobilisasi masa dengan istilah reuni,  Jika murni untuk berkumpul dan membangun kesatuan dan persatuan serta memperkuat sendi-sendi agama ya jangan campuradukkan agama dengan  politik.

kebhinnekaan  sebagai sebuah simphoni

Jika para tokoh bangsa itu selalu mencampuradukkan urusan politik dan agama lama-lama negara ini akan tersandera sendiri oleh  keretakan hubungan antar pribadi karena rasa curiga yang tertanam, perbedaan-perbedaan keimanan yang  dianggap hambatan untuk maju. Kemajemukan itu memang  keniscayaan tapi perbedaan , kebhinnekaan itu bisa menjadi sebuah elemen kuat untuk memperkaya rasa kebangsaan. Perbedaan itu bisa menjadi senjata ampuh untuk membangun harmoni. Seperti alunan musik klasik. Begitu indah karena  yang berbeda-beda itu disatukan dalam sebuah komposisi , partitur yang mampu mengeksplorasi keragaman menjadi simphoni yang indah. Bagaimana guru? Mari bertekat untuk  membangun karakter  sedini mungkin agar bisa menghasilkan siswa berkualitas, jujur dan  tidak terjebak dalam lubang “Korupsi” yang menghancurkan sendi-sendi kebangsaan.

Seorang guru, suka menulis.

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler