x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching:Apa Kita Lebih Maju dibanding Ratu Inggris?

Manusia diberi Tuhan pilihan jalan dalam upaya membangun identitas baru -

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Draw Your Own Box

MohamadCholid                                                                                                                          

Practicing Certified Business and Executive Coach

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Meghan Markle. Pemeran Rachel Zane dalam serial Suits dan juga berakting dalam sederet film lain, plus bertugas sebagai duta World Vision Canada.

Hari-hari ini nama Meghan Markle menjadi komoditas berita lebih dari karena perannya di film dan kegiatan kampanye penggunaan air bersih di Rwanda itu, tapi karena aktris berdarah Caucasian dan Black American ini 27 November kemarin bertunangan dengan Prince Harry, urutan kelima penerus tahta Kerajaan Inggris.

Banyak kisah bakal bermunculan sekitar pasangan Meghan dan Harry. Kemungkinannya termasuk menyangkut info dari New England Historic Genealogical Society, yang mengkonfirmasi bahwa Rachel Meghan Markle dari garis ayahnya, Thomas W. Markle, merupakan keturunan King Edward III melalui kakek moyang ayahnya,  Rev. William Skipper, yang berimigrasi ke Boston, Massachusetts,  New England, 1639. Berdasarkan link ini, Megah Markle adalah sepupu jauh (ke-17) Prince Harry.

Meghan beribu Doria Ragland, bergelar master dari University of Southern California, profesi sebagai psychotherapist dan instruktur yoga, tinggal di View Park-Windsor Hills, Los Angeles. Doria Ragland keturunan Black American.

Meghan tumbuh di kawasan Hollywood, Los Angeles, sejak sekolah dasar menempuh pendidikan di sekolah swasta. Sekolah lanjutannya di Immaculate Heart High School, sekolah Katolik khusus putri. Ia memperoleh bachelor degree untuk dua major, teater dan hubungan internasional, Northwestern University, dekat Chicago.

Saat usia 12 ada sensus tentang asal-usul ras keluarga siswa. Meghan sempat bingung, karena pilihannya Hispanic, Black American, Caucasian, White, atau Asia. Ia galau. Pilih Caucasian, ibunya bakal sedih. Pilih Black American, ayahnya mungkin tidak setuju. Kendati orang tuanya sudah cerai saat Meghan masih enam tahun, ia merasa nyaman menjadi keturunan kedua pihak.

Lantas ia biarkan kotak isian asal-usul ras di formulir tersebut kosong, tak terjawab. Ia juga menolak saran gurunya yang memintanya memilih Caucasian, sesuai profil wajahnya. “I left my identity blank – a question mark, an absolute incomplete -- much like how I felt,” kata Meghan.

Situasi itu oleh Meghan diceritakan kepada ayahnya, Thomas Markle, yang kemudian jadi terdiam. Beberapa saat kemudian, ayahnya, seorang pemenang Emmy Award untuk lighting director, menjawab, “Draw your own box, and always be your true self.”

Sepertinya Thomas menyadari, semua anak mendapatkan tata cahaya masing-masing dari Tuhan Pencipta Alam. Setiap anak manusia, setiap generasi baru, keturunan suku bangsa apa pun, memiliki hak untuk menggambar kanvas kehidupannya sendiri. Anda sepakat?

Kita semua, termasuk Anda, generasi X, generasi Y, atau milenial, memiliki peluang untuk mewarnai lembaran kehidupan sendiri, to draw our own box, sesuai dengan tantangan masing-masing. Bukankah kita semua sesungguhnya adalah para pribadi yang, seperti kata Meghan, “an absolute incomplete”?

Setiap orang memiliki cara masing-masing dalam upaya “mengkomplitkan diri”. Ada yang dengan cara menumpuk benda-benda dan harta, mengejar pangkat dan jabatan, memihak pada kekuatan politik yang berkuasa, melakukan aktivitas sosial, mengerahkan energi untuk kegiatan keagamaan, pendidikan, etc.

Cara untuk “mengkomplitkan diri” tergantung orientasi dan tujuan hidup individu. Tuhan yang menilai mana yang baik dan apa yang kurang baik –  baru jadi urusan dunia kalau mencuri atau korupsi, atau melakukan kejahatan, sehingga merusak tatanan kehidupan bersama. Sebagai sesama manusia, kita tidak perlu sibuk saling menghakimi, passing judgment, dalam melihat upaya-upaya setiap individu mewujudkan identitas siapa dirinya. Siapa sih, kita.

Sesungguhnya manusia diberi Tuhan pilihan jalan dalam upaya membangun identitas baru -- kalau sudah mengenal diri sendiri.

Dari perspektif dunia, Marshall Goldsmith, # 1 executive coach in the world dan penulis 35 buku termasuk Triggers, #1 New York Times dan Wall Street Journal best seller, sepuluh tahun silam menjelaskan soal identitas diri dengan gamblang.

Sumber identitas kita ada empat, kata Marshall Goldsmith, ditambah mojo, positive spirit that starts from the inside and radiates to the outside: 

1. Remembered identity:  Anda terpatok pada kejadian-kejadian masa lalu dalam membentuk rasa diri. Saat Anda makin masuk ke masa silam akan terasa kenangan lama itu tidak sama dengan realitas diri sekarang. Di tempat kerja penuh dengan orang-orang yang melakukan kesalahan di masa lalu, namun kekeliruan dulu itu tidak perlu jadi penanda tentang siapa mereka saat ini.

2. Reflected identity: Inilah ketika masa lalu bertemu dengan pendapat pihak lain. Orang lain melihat kejadian-kejadian di masa silam Anda dan mengingatkan peristiwa-peristiwa tersebut kepada Anda, kadang secara konstan melalui feedback. Dalam membantu perubahan seseorang, bobot feedback memang tidak boleh kita sepelekan, namun mesti cermat, mengingat tidak semua feedback tersajikan dalam good faith atau in the most forgiving spirit. Kalaupun cerminan identitas itu akurat, tidak harus jadi penentu masa depan (predictive). Kita bisa semua berubah.

3Programmed identity: Ini hasil gambaran orang lain tentang siapa Anda atau bakal jadi apa di masa depan. Programmed identity memiliki banyak sumber. Bisa profesi Anda, lingkungan budaya tempat berkembang, atau orang-orang yang Anda pilih sebagai teman. Masing-masing berperan menentukan opini Anda tentang diri sendiri – tapi ini bisa jadi kambing hitam yang empuk untuk menjelaskan kekeliruan perilaku diri.

4. Created identity: Ini adalah bagian dari identitas kita yang tidak dikontrol oleh masa lalu maupun oleh pendapat orang lain. “Saya tidak naif,” kata Marshall. Kita semua memiliki keterbatasan fisik, lingkungan atau mental yang bisa saja tidak dapat kita atasi. Kita tidak bisa berharap realitas fisik tersingkir begitu saja oleh pikiran positif. “Tapi saya takjub atas apa yang dapat kita ubah jika kita tidak membuat-buat batasan diri.”

Limiting belief atau membatas-batasi diri memang dapat menjebak manusia menjadi tidak berdaya sebelum ajalnya. Mempertahankan limiting belief, menurut saya, seperti mendzalimi diri sendiri. 

Pertanyaannya sekarang, bagaimana membangun identitas diri Anda? Siapakah created identity Anda? Apa yang menjadikan pribadi kita “terasa komplit”? Apakah dengan meraih jabatan tinggi, memiliki yacht, mobil-mobil super mewah, menjadi bagian kekuasaan politik, mengembangkan bisnis Anda, profesi Anda, atau apa? Apakah kita terbiasa mengukur diri berdasarkan hal-hal semacam itu? Apakah kita identified oleh harta atau pekerjaan kita?

Apa pula yang terbaik kita lakukan untuk mencapai taraf being fulfilled, sebagai pribadi, dalam kapasitas sebagai eksekutif atau leader? Atau, dalam format  organisasi, apa yang mesti kita bangun dan banggakan? Bukankah organisasi-organisasi bisnis juga memerlukan pencapaian yang intangiblepositive impact bagi kehidupan umat manusia, utamanya -- disamping profit dan cash?

Menginvestasikan waktu untuk merenung, membiasakan memiliki thinking time, sangat terpuji. 

Melakukan evaluasi atau menguji kembali atas belief system kita merupakan satu langkah penting dari sejumlah tindakan positif untuk persiapan meningkatkan efektivitas. Lalu bertransformsi untuk menjadi tetap relevan di setiap zaman. Sebagai pribadi, sebagai professional, pelaku usaha, pemimpin organisasi.  

Kerajaan Inggris Raya saja juga mengubah perilaku kepemimpinannya. Mereka menerima Meghan Markle, aktris dan aktivis sosial dengan latar belakang bi-racial (bahkan kakek moyang dari pihak ibunya enslaved yang diemansipasi di Georgia), menjadi (calon mantu) keluarga mereka. Ini perubahan signifikan bagi monarki.

Kalau Anda, atau perilaku kepemimpinan Anda dalam mengelola organisasi, atau cara kerja Anda dalam nenjalankan profesi, tidak dapat menyesuaikan keadaan atau tidak mau diajak mengantisipasi perubahan tantangan, maka perlu evaluasi lagi, apakah cara berpikir Anda tidak lebih kolot dari monarki Kerajaan Inggris?

Pujian atas sukses Anda di masa lalu, setahun atau lima tahun silam, barangkali merupakan kenangan yang menyenangkan. Tapi, apakah kita bisa menjalani hidup saat ini, mengelola fakta-fakta hari ini, dengan bergantung pada cara kerja di masa lalu?

Kenapa di antara kita masih banyak yang memaksakan menggunakan cara-cara lama, padahal hasilnya biasa-biasa saja atau jauh dari harapan? Apa yang mesti Anda lakukan agar mengijinkan diri sendiri menjadi lebih baik, lebih efektif, berhasil meraih hasil sesuai dengan tantangan hari ini?

Kalau merasa setara kemajuan berpikirnya, atau lebih maju dibanding Ratu Inggris, ayo izinkan diri berubah untuk menjawab tantangan hari ini. 

Setelah menguji kembali belief system kita, langkah terbaik selanjutnya untuk melakukan perubahan adalah menentukan action dan eksekusi agar menjadi pribadi, eksekutif, atau leader yang lebih efektif.

Meneladani seseorang yang sudah sukses sangat signifikan dalam memimpin dan mengubah organisasi besar tentu dianjurkan, katakanlah dari Alan Mulally.

Ketika menjadi President Boeing Commercial Aircraft, Alan Mulally mengenal Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) untuk membantu dirinya meningkatkan efektivitas sebagai pemimpin.

Saat mendapatkan kepercayaan sebagai CEO Ford Motor Company (2006 – 2014), Alan Mulally menggunakan struktur pendekatan MGSCC lagi untuk membantu pengembangan leadership team-nya dan bersama mereka berhasil mengubah Ford dari merugi belasan milyar (billion) dolar menjadi profitable.

Melibatkan stakeholders dalam pengembangan kepemimpinan organisasi, melalui tujuh tahap di dalam prosesnya, memerlukan dukungan tiga kebajikan atau virtues Stakeholder Centered Coaching: courage, humility, dan discipline.

Berani dan rendah hati untuk bertanya, mendengarkan dan berterima kasih pada stakeholders atas feedback dan feedforward mereka. Lalu berpikir (merenungkan semua itu) dan memberikan respon.

Diperlukan keberanian dan disiplin untuk berubah. Penting untuk dicamkan juga, sangat perlu disiplin untuk melakukan follow up secara reguler setiap bulan.

Anda mau tetap relevan dengan fakta dan tantangan hari ini, serta memimpin dengan lebih efektif, kan?

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Consulting.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(www.nextstageconsulting.co.id)   

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu