x

Ilustrasi bisnis Start-up. Lendvo.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pahami Pelanggan dalam Merancang Produk

Banyak produsen menganggap konsumen tidak mengerti apa kebutuhan mereka sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Waduh, apa gak ada piring lain? Soalnya, piaraan saya di rumah makannya pakai piring seperti ini,” kata seorang pengunjung ketika penyaji hidangan meletakkan piring pesanan di meja. Penyaji itu tercenung, tak punya kata-kata untuk menjawab kegusaran pengunjung. Ini pengalaman kali kedua, sebelumnya pengunjung lain berkomentar bahwa piringnya mirip untuk penghuni penjara.

Ketika memberi saran kepada kawan yang akan membuka tempat makan, saya sudah mewanti-wanti agar cermat memilih piring. Tempat hidangan disajikan bukan sekedar tempat menaruh makanan, melainkan bagian dari pengalaman konsumen dalam menikmati hidangan. Pilihan piring menunjukkan bagaimana kita menghargai hidangan yang kita buat dan sajikan serta menghormati pelanggan yang membeli produk kita. Jika ingin piring yang berbeda, pilihlah yang betul-betul unik, bukan piring yang memantik asosiasi pengunjung kepada pengalaman yang buruk.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memahami keinginan, kebutuhan, dan pengalaman yang ingin didapat pelanggan merupakan langkah berharga dalam merancang produk. Mungkin ada yang berkata, “Lihat tuh Steve Jobs, ia tidak bertanya kepada pelanggan. Tidak ada gunanya, orang-orang tidak tahu apa yang mereka inginkan.”

Intuisi itu bagus, tapi tak semua orang punya intuisi setajam Steve Jobs—dengan jangkauan visi yang jauh ke depan. Lagi pula, lebih banyak perusahaan yang gagal karena mengandalkan intuisi pemimpinnya. Di samping memahami kecenderungan industri dan kemajuan teknologi, diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai pelanggan—kebutuhan, keinginan, harapan, maupun kebiasaan mereka—agar produk atau jasa yang hendak diproduksi lebih dapat diterima pasar.

Beberapa riset memperlihatkan bahwa proses inovasi yang melibatkan pelanggan, khususnya yang disebut lead user, akan lebih mudah berhasil di market place. Alasannya, para pelanggan ini memiliki gagasan yang lebih bagus dan lebih kreatif ketimbang pengembang produk di internal perusahaan. Para pelanggan yang intens memakai produk tertentu niscaya punya imajinasi mengenai apa produk berikutnya: “Asyik ya kalau kita bisa pakai smartphone yang bisa mengenali suara kita.”

Sebagian orang mungkin tidak ingin mengeluarkan uang lebih banyak untuk melakukan survei pelanggan. Mereka beranggapan, selama ini bagian riset dan pengembangan sudah bekerja keras dan kerja mereka telah membuahkan hasil yang baik. Sebagian orang lebih suka memakai pendekatan Inside-Out karena cenderung melihat sumber daya dan kompetensi inti perusahaan sebagai penggerak utama shareholder value. Mereka melihat sudut pandang ini memungkinkan perusahaan mencapai efisiensi yang lebih besar dan mampu beradaptasi lebih cepat terhadap lingkungan yang berubah. Kebanyakan perusahaan yang berpegang pada perspektif Inside-Out begitu lekat dengan urusan memproduksi dan menjual produk serta lebih memikirkan ‘nasib’ organisasinya.

Sayangnya, hasil riset menunjukkan bahwa keberhasilan jangka panjang ditopang oleh pemahaman yang baik terhadap pelanggan. Pendekatan Outside-In dipandu oleh keyakinan bahwa penciptaan nilai bagi pelanggan (customer value creation), pemahaman keinginan dan kebutuhan pelanggan (customer orientation), maupun pengalaman yang dirasakan pelanggan (customer experience) merupakan kunci keberhasilan.

Shareholder value merupakan konsekuensi dari mendengarkan dan menyediakan value bagi pelanggan dan membantu mereka dengan cara yang lebih baik dibandingkan kompetitor. Pelangganlah sumber inspirasi dan pengembangan produk dan jasa. Jika perusahaan Anda hendak memasuki fase berikut dari perkembangannya, memahami pelanggan merupakan cara terbaik. Mengapa? Jika pelanggan tidak puas dengan solusi yang Anda tawarkan, bisnis Anda akan menderita dan pemegang saham akan menjerit.

Pendekatan Outside-In memang belum jadi aturan umum. Ranjay Gulati, dalam bukunya, Reorganize for Resilience: Putting Customers at the Center of Your Business, menceritakan bahwa sebelum riset ia berasumsi bahwa semua perusahaan punya orientasi Outside-In dengan menjadikan pelanggan sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan. Setelah riset, Gulati tahu bahwaperusahaan semacam itu adalah pengecualian dari yang umum—dalam bisnis saat ini, perspektif Outside-In belum menjadi aturan umum. Padahal, Outside-In merupakan cara terbaik membawa sesuatu yang bernilai kepada pelanggan sembari menambah nilai bagi perusahaan. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler