x

Iklan

Irfantoni Listiyawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pengeboman Pearl Harbor 1941, Awal Petaka Perang Pasifik

Pada 7 Desember, 76 tahun silam, adalah hari nahas bagi Amerika Serikat. Pearl Harbor hancur, dan inilah awal petaka Perang Pasifik selama 1351 hari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Awal dekade 1940-an dunia mulai berkecamuk, di penghujung tahun 1941 Amerika Serikat dikejutkan oleh serangan mendadak yang dilancarkan oleh Jepang. Di hari Minggu yang cerah, langit Hawai dengan cepat berubah menjadi kelam. Wajah-wajah ceria para prajurit di hari itu pun berubah menjadi wajah kesedihan. Inilah serangan paling laknat bagi Amerika Serikat. Pearl Harbor luluh lantak akibat serangan udara Jepang 7 Desember 1941.

Serangan ini membuka mata dunia bahwa kekuatan udara merupakan salah satu faktor penting dalam memenangkan sebuah pertempuran disamping kekuatan angkatan laut. Sebagaimana pandangan perwira Italia bernama Guilio Douhet tentang Air Power. Douhet berpandangan bahwa pesawat terbang dapat menyerang secara langsung ke pusat pemerintahan musuh, serta titik vital lainnya secara cepat dan efektif (Suryohadiprojo : 2005). Hal inilah yang dilakukan pasukan Kamikaze Jepang ketika menyerang Pearl Harbor. Salah satu pangkalan militer vital militer Amerika Serikat di kawasan Pasifik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Awal Mulanya

Buku berjudul ‘Ikki Kita’ yang terbit pada tahun 1920, rupanya mendapatkan perhatian dari kaum militeris Jepang. Buku tersebut berisi impian dan cita-cita Jepang di masa mendatang. Salah satu yang paling menarik perhatian militeris Jepang adalah cita-cita ‘membebaskan’ 700.000.000 saudara-saudara di Tiongkok, India, Filipina, Indonesia, Malaya, dan sebagainya (Ojong : 2009). Sebagai tindakan pertama, Jepang menyerbu Manchuria tahun 1931 tanpa persetujuan kabinet di Tokyo. Hal ini kemudian kembali terulang pada Juli 1937 tanpa menyatakan perang secara resmi.

Melihat sikap ekspansif Jepang yang semakin menjadi, membuat Amerika Serikat tak tinggal diam. Namun niat tersebut tidak mendapat respon baik karena rakyat Amerika Serikat tak mau terjun dalam kancah Perang Pasifik semata-mata untuk menolong Tiongkok. Satu-satunya tindakan yang bisa dilakukan adalah dengan jalur diplomatik lewat Konferensi Brussel. Namun, Jepang tak mau hadir membahas perundingan tersebut karena menganggap peristiwa penyerbuan Tiongkok adalah urusan inrernal Jepang sendiri.

Amerika Serikat lantas melakukan tindakan lainnya. Yakni dengan mengembargo bahan material, besi baja, hingga minyak mulai Juli 1940. Akibatnya, seperti ditulis PK. Ojong dalam buku ‘Perang Pasifik’ cadangan minyak Jepang sebanyak 6.450.000 ton berkurang tiap hari. Tanpa sumber daya ini armada Jepang tidak bisa berbuat banyak. Tidak hanya itu, Presiden Roosevelt juga membekukan harta Jepang di Amerika Serikat.

Rupanya segala niat Roosevelt untuk meredam ekspansionisme Jepang tidak membuahkan hasil. Jawaban yang diberikan pihak Jepang justru sebaliknya. Indoktrinasi tentara, armada dan rakyat Jepang kian menguat. Dibawah komando Admiral Isuroku Yamamoto, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mulai bangkit dan meningkatkan kekuatannya. Serangan mendadak terhadap Paman Sam tinggal menunggu hari yang tepat.

Membangunkan Macan Tidur

Persiapan yang dilakukan Jepang nampak terlihat sempurna. Tanggal 25 November 1941 sebuah armada dibawah komando Laksamana Madya Nagumo bergerak menuju Hawaii. Terdiri dari enam kapal induk dengan pesawat terbang serta prajurit Kamikaze. Lima hari kemudian, tanggal 30 November 1941 pada Konferensi Kekaisaran secara resmi memutuskan untuk melakukan serangan (Oktorino :  2016).

Dipilihlah Minggu, 7 Desember 1941 (di Jepang tanggal tersebut sudah masuk 8 Desember berdasar garis International Date Line) sebagai hari yang tepat untuk melancarkan penyerbuan terhadap Pearl Harbor. Ide dari Yamamoto tersebut sebenarnya terkesan gambling (untung-untungan). Serangan ini hanya bisa berhasil jika unsur pendadakan tidak hilang. Dan Jepang, mengetahui jika hari Minggu adalah hari bersantai bagi militer Amerika Serikat di Hawaii. Laksamana Husband E. Kimmel biasa mengumpulkan seluruh armadanya tiap Sabtu (Ojong : 2009).

Sehari sebelum serangan, 6 Desember 1941 Konsul Jepang di Honolulu yang bertindak sebagai mata-mata melaporkan terdapat tujuh kapal tempur, tujuh kapal penjelajah dan kapal lainnya. Total berjumlah 94 buah. Namun, diantara semua tak ada satu pun kapal induk Amerika Serikat yang berlabuh kala itu. Guna membangkitkan semangat pasukan Kamikaze, semua awak dipanggil ke geladak pukul 21.00.

Hari laknat bagi Amerika Serikat pun tiba. Cuaca terang di Hawaii merupakan saat yang pas untuk bersantai. Tiba-tiba ketenangan itu dirobek oleh dentuman bom, torpedo dan tembakan mesin dari pesawat tempur Jepang yang dipimpin oleh Kapten Fuchida. Terlambat bagi Amerika Serikat untuk mempersiapkan diri. Kawat berisi pesan “Air attack on Pearl Harbor. This is not a drill” yang dikirim seorang Laksamana. Kawat tersebut sampai pukul 14.00. Banyak pihak diluar Hawaii mengira ini salah paham, karena tak menerima pernyataan perang resmi sebelumnya. Saat itu pula, Pearl Harbor sudah luluh lantak beberapa jam sebelumnya.

Dalam dua gelombang serangan, Jepang tidak hanya menyerang pelabuhan tapi juga lapangan terbang di Pulau Oahu. Radar angkatan darat Amerika Serikat sebenarnya berhasil mendeteksi kehadiran pesawat tempur dive bomber  D3A1 Model 11 (VAL), embom torpedo Nakajima B5N2 Type 97 (KATE) dan fighter yang sekaligus mampu berperan sebagai pesawat pembom, AGM2 MODEL 21 (Zero) Jepang. Tapi laporan dari petugas radar tak mendapat tanggapan (Intisari : 2017).

Hanya dalam waktu kurang dari tiga jam, salah satu pangkalan militer terbesar di Amerika Serikat ini lumpuh total tak berdaya. Serangan mematikan secara tiba-tiba tersebut berhasil menenggelamkan atau melumpuhkan 7 dari 8 kapal perang Amerika Serikat yang berlabuh disana. Tiga kapal penjelajah dan tiga kapal perusak juga mengalami kerusakan parah. Selain itu tercatat 188 pesawat terbang militer Amerika Serikat hancur dan 159 lainnya rusak (Oktorino : 2016).

Jumlah korban jiwa di pihak Amerika Serikat mencapai 2.403 orang dan melukai 1.178 orang. Bahkan lebih dari seribu orang menjadi korban dalam satu kapal perang USS Arizona saat bom dijatuhkan. Sementara Jepang kehilangan total 185 prajuritnya, dan sebanyak 121 korbannya adalah awak kapal selam (Intisari : 2017). Pesawat Jepang yang hancur berjumlah 29 unit dan lima kapal selam mini serta sebuah kapal selam berukuran besar. Serangan berhasil, Jepang membangunkan ‘macan tidur’ yang siap membalas dengan dampak yang lebih besar.

Dampak Serangan

Walau hanya berjalan beberapa jam saja, serangan terhadap Pearl Harbor membawa dampak yang kian besar. Bagi Amerika Serikat, serangan ini tidak hanya membawa kerugian materi semata. Lebih dari itu, beban moral rakyat semakin bertambah berat. Disatu sisi lain, nasionalisme dan patriotisme warga Amerika Serikat perlahan kian tumbuh. Paman Sam terseret dalam arus pusaran perang Pasifik.

Di kalangan kaum militer Amerika Serikat, strategi baru akan diterapkan setelah peristiwa terjadi. Saat penyerbuan Pearl Harbor, sistem keamanan menitikberatkan pada pertahanan serangan laut. Bukan pertahanan melawan serangan udara. Sebenarnya, gagasan membangun doktrin kekuatan udara (air power) Amerika Serikat sudah dikemukakan Billy Mitchell di tahun 1930-an, namun rupanya tidak mendapat respon poistif (Hakim : 2012).  

Hal rawan ini rupanya juga dirasakan oleh komandan angkatan laut Amerika Serikat, Laksamana Husband E. Kimmel dan Horold Stark yang bertanggung jawab atas wilayah Pearl Harbor. Mereka mengira bahwa gerakan invasi Jepang akan mengarah ke arah selatan atau Indonesia. Sehingga melalaikan kewaspadaan armada di Hawaii. Atas kelalaiannya, kedua petinggi angkatan laut itupun dipecat. Laksamana Chester W. Nimitz-lah sebagai gantinya (Ojong : 2009).

Lantas, apa dampak bagi Jepang sendiri?. Agaknya, Jepang boleh berbesar hati akan keberhasilan serangan tersebut. Kemenangan ‘sementara’ ini tidaklah berlangsung lama. Justru dampak yang lebih mengerikan akan dihadapi oleh. Pertempuran demi pertempuran melawan Amerika Serikat di Pasifik, memaksa Jepang memutar otak menghadapi kecamuk perang.

Sebut saja pada peristiwa Iwo Jima pada tahun 1945 yang memakan korban jiwa puluhan ribu. Sekitar 22.000 tentara Jepang, hanya 216 orang yang dapat bertahan. Kekalahan dan kemunduran Jepang pun semakin nampak. Pukulan terakhir adalah ketika pesawat B-29 pengangkut bom atom militer Amerika Serikat menjatuhkan “malaikat maut”-nya di atas Hiroshima 6 Agustus 1945. Dendam Amerika Serikat terbayar.

Bulan berikutnya, 2 September 1945 terjadi pertemuan wakil berbagai negara yang terlibat Perang Pasifik diatas geladak kapal perang Missouri. Disana ada pula Menteri Luar Negeri Jepang, Mamoru Shigemitsu yang membubuhkan tanda tangan penyerahan Jepang. Begitu pula yang dilakukan Jenderal Yoshijiro Umezu sebagai Staf Umum Tentara Kerajaan. Seorang kolonel Jepang juga menyapu air matanya yang berlinang. Inilah kekalahan akhir Jepang dalam Perang Pasifik selama 1.351 hari. Tulis PK. Ojong dalam buku ‘Perang Pasifik’. 

Sumber Referensi :

. Sayidiman Suryohadiprojo. 2005. Si Vis Pacem Para Bellum : Membangun Pertahanan Negara yang Modern dan Efektif. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

. P.K Ojong. 2009. Perang Pasifik. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

. Nino Oktorino. 2016. Dibawah Matahari Terbit. Jakarta : Elex Media Komputindo

. Agustinus Winardi, Pearl Harbor: Awal Dimulainya Malapetaka di Asia-Pasifik, Termasuk Bom Atom di Jepang. Intisari-Online 15 Agustus 2017 http://intisari.grid.id/Unique/Others/Pearl-Harbor-Awal-Dimulainya-Malapetaka-Di-Asia-Pasifik-Termasuk-Bom-Atom-Di-Jepang?page=all

Ikuti tulisan menarik Irfantoni Listiyawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB