x

Iklan

Fariza Hidayat

Petugas sunyi yang iseng-iseng nulis soal pikiran sendiri
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ibu Bangsa: Gerakan Kebangsaan Perempuan Indonesia

Tahukah Anda, dulu kerajaan Majapahit pernah dipimpin oleh seorang perempuan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahukah anda dahulu kerajaan Majapahit pernah dipimpin oleh seorang perempuan? Tribhuwana Wijayatunggadewi namanya, dia raja ke-3 Majapahit. Di masa pemerintahannya terjadi peristiwa penting yaitu Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat pelantikannya sebagai rakryan patih Majapahit sekitar tahun 1334. Sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa, masa pemerintahan Tribhuwana berhasil melakukan perluasan wilayah Majapahit ke segala arah.

Bergerak ke masa pendudukan Belanda, ada Cut Nyak Dien dalam peperangan Aceh tahun 1873-1904, Marta Christina Tiahahu dalam peperangan di Maluku pada tahun 1917-1819, Nyi Ageng Serang dalam peperangan Diponegoro pada tahun 1925-1830, Kartini pada tahun 1879-1904, Nyi Achmad Dahlan pada tahun 1912-1947, Rasuna Said pada tahun 1910-1965. Kontribusi mereka bukan hanya kontribusi fisik, ada yang berupa tenaga dan pikirannya meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan melalui pendidikan dan kegiatan lainnya.

Indonesia bisa dikatakan tidak ketinggalan jika berbicara tentang isu perempuan. Demokrasi membawa angin segar bagi perempuan untuk masuk kedalam segala bidang kehidupan sosial ataupun politik. Perempuan dan laki-laki disejajarkan pada posisi yang sama dimata demokrasi. Setelah kesetaraan hak pilih pria dan perempuan disetarakan oleh UUD 1945, diawal kemerdekaan juga muncul beberapa pemimpin perempuan.

Pertemuan Internasional yang bertemakan perempuan dan pembangunan diadakan, seperti salah satunya United Natio Decade for Women (1975-1985) yang bertemakan “Persamaan, Pembangunan dan Perdamaian”, kontribusi perempuan bagi kemajuan bangsa terus berlangsung. Di Indonesia sendiri, perempuan terus mengalami perkembangan. Pemahaman tentang domestifikasi lambat laun mulai dikikis oleh perempuan-perempuan hebat baik dari aksi maupun diskusi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Analisis yang menarik muncul dalam buku Khofifah Indar Parawansa. Dia salah satu tokoh perempuan NU yang dikenal dengan pemikirannya tentang kesetaraan gender dan partisipasi perempuan dalam politik formal. Dia mengidentifikasi faktor apa saja yang menghambat perempuan untuk berperan dalam politik: (1) budaya patriaki sangat menentukan arena politik adalah untuk laki-laki, (2) proses seleksi dalam partai yang hanya dilakukan oleh elit partai yang mayoritas laki-laki, (3) media yang belum berpihak pada perempuan, (4) Kurangnya jaringan antar organisasi massa, LSM, dan partai politik untuk memperjuangkan representasi perempuan, (5) kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan perempuan, (6) faktor keluarga yang menghambat aktivitas politik perempuan. Dalam tulisan ini, faktor yang ke-5 dan ke-6 akan menjadi fokus perbincangan, namun faktor yang lainnya juga berkaitan secara tidak langsung.

Menjadi pertanyaan, bagaimana konteks perempuan kebangsaan hari ini? Dari sini “pahlawan” harus didefinisi ulang sesuai jaman. Jika dahulu lawan adalah penjajah, hari ini lawan dari bangsa sangatlah kompleks. Internet salah satunya, teknologi ini bisa dikatakan dua mata pisau yang berbeda. Dilain sisi bisa menjadi guru, dilain sisi internet bisa menjadi pembunuh berdarah dingin bangsa. Maka dari itu harus ada konsep kebangsaan yang benar agar tidak tercabik mata pisau yang salah.

Kebangsaan merupakan hal yang mutlak bagi kedaulatan Indonesia. Isu kekerasan, radikalisme dan intoleransi, main hakim sendiri atau persekusi serta pengaruh narkoba pada anak muda saat ini adalah bentuk dari rasa kebangsaan yang kurang dimiliki. Dampak dari kekurangan ini adalah pergeseran nilai anak-anak menjadi kurangnya penghormatan kepada guru, orangtua, bahkan kecintaan kepada bangsa dan negara.

Karakter ini harus ada disetiap perempuan Indonesia. “Ibu Bangsa” berperan melakukan pendidikan di dalam keluarga. Dalam konteks ini, peran laki-laki sangatlah dibutuhkan. Pra kondisi Ibu Bangsa adalah laki-laki yang lepas dari kungkungan patriaki. Memiliki wawasan kebangsaan yang cukup sehingga perempuan dan laki-laki dapat terintegrasi untuk mendidik anak-anaknya.

Konsep ini berulang kali disematkan dalam setiap diskursus oleh Khofifah Indar Parawangsa. Menurutnya pendidikan formal memang membuat anak menjadi pintar, namun lingkungan edukatif paling efektif tetaplah keluarga. Didalam keluarga anak akan mendapatkan budi pekerti, pendidikan kebangsaan dan jati diri. Intensitas komunikasi kebangsaan terhadap anak harus dilakukan. Disinilah proses edukasi kebangsaan berlangsung.

Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Jakarta pada tahun 1928 dan kedua di Yogyakarta pada tahun 1935 berulangkali membahas pandangan tentang pentingnya keutuhan rumah tangga dengan perkawinan yang bahagia. Banyak permasalahan sosial waktu itu seperti pergundikan, prostitusi atau kawin paska diperbincangkan dalam kerangka pentingnya membangun institusi perkawinan dan kerumahtanggaan yang seha dan kuat demi kemajuan dan keadaban bangsa.

Perempuan dan pembangunan selanjutnya menilik peran wanita pada dunia politik. Negara yang menganut sistem patriaki seperti Indonesia, perempuan relatif terbatas untuk menjadi politisi karena perpsepsi masyarakat tentang pembagian peran antara pria dan perempuan, terlihat bias. Peran perempuan wanita hanya pada urusan domestik rumah tangga.  Seharusnya, perempuan paham akan sejarah para pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam pengobatan, pendidikan dan pengelolaan logistik.  Hal ini akan memberikan kesempatan dan memberi kemudahan bagi perempuan untuk memperjuangkan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan mereka.

Posisi politik perempuan sebagai ibu bangsa memiliki dua unsur yaitu keperempuanan dan kebangsaan yang terikat dengan kemampuan biologis perempuan sebagai ibu dan peran sosial sebagai ibu rumah tangga. Ibu Bangsa ini bisa dikatakan sebagai strategi gerakan perempuan dengan tidak menimbulkan pertentangan dari kaum laki-laki. Namun,  disisi lain strategi “Ibu Bangsa” ini memperkuat pembedaan peran antara laki-laki da perempuan dalam masyarakat.

Ikuti tulisan menarik Fariza Hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler