x

Presiden Donald Trump, berjabat tangan dengan warga saat bersama Melania Trump dan Wakil Presiden Mike Pence membagikan makanan pada korban badai Irma di Naples, Florida, 14 September 2017. AP

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Trump dan Kekuasaan di Tangan yang Salah

Trump menikmati kekuasaan besar yang berada dalam genggamannya dan mungkin terpukau melihat bagaimana dunia bereaksi terhadap keputusannya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meskipun banyak pemimpin Timur Tengah yang dihubungi Presiden AS Donald Trump dikabarkan menolak rencana pemerintah AS untuk mengakui Jerusalem sebagai Ibukota negara Israel, Trump jalan terus. Di Gedung Putih ia mendeklarasikan pengakuan AS atas Jerusalem—tindakan yang tidak diambil oleh para pendahulunya selama puluhan tahun. Menyusul pengakuan itu, AS akan memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerusalem.

Seruan pemimpin lainnya, termasuk Paus Franciscus, tidak mampu mengubah pendirian Trump. Sebagai pebisnis, Trump memang dikenal sebagai orang yang pantang menyerah untuk mewujudkan keinginannya. Watak inilah yang dibawa Trump ke Gedung Putih, tempat ia mengendalikan sebuah negara yang besar pengaruhnya terhadap dunia, bukan sekedar perusahaan perhotelan.

Trump barangkali tidak menyadari betapa besar dampak yang ditimbulkan oleh keputusannya, atau ia tidak peduli dengan efeknya karena ia ingin menciptakan sejarah sebagai Presiden AS yang pertama mengakui Jerusalem. Bisa jadi pula, Trump menikmati kekuasaan besar yang berada dalam genggamannya dan mungkin terpukau melihat bagaimana dunia bereaksi terhadap keputusannya. Banyak pemimpin yang ingin tercatat dalam sejarah dengan berusaha meninggalkan jejak-jejak yang sukar dilupakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Trump tampak tidak mempedulikan peringatan pemimpin-pemimpin dunia bahwa keputusannya mengenai Jerusalem berpotensi menjadi amunisi bagi pihak-pihak tertentu untuk bertindak destruktif yang mengancam keamanan dunia, bukan hanya kepentingan AS semata dan mungkin bukan hanya di Timur Tengah. Trump telah membuka kotak Pandora konflik yang berpotensi memicu kembali pertikaian yang keji dan berkepanjangan. Dengan kekuasaan di tangannya, ia telah memprovokasi dan mendorong laju eskalasi konflik yang selama ini bagaikan api dalam sekam.

Trump mungkin tidak memiliki pengetahuan mengenai sejarah panjang kota Jerusalem atau seandainya ia memiliki pengetahuan, setidaknya ia tidak peduli mengenai sejarah kota yang sangat dihormati oleh kaum Yahudi, Nasrani, dan Muslim itu. Trump ingin menciptakan sejarahnya sendiri dengan menolak posisi status quo Jerusalem sebagai kota suci bersama penganut agama-agama dunia. Kekuasaan telah memerangkap seorang Trump bagaikan cincin kegelapan dalam dongeng The Lord of the Rings.

Dengan mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel, pemerintahan Netanyahu akan lebih leluasa melakukan pembatasan bagi siapapun yang tidak dikehendaki untuk memasuki kota suci itu, khususnya kaum Muslim Palestina. Netanyahu semakin memperoleh pembenaran untuk membangun permukiman di wilayah yang masih dipersengketakan. Dengan memberi hadiah besar akhir tahun kepada Israel, Trump telah mengingkari pernyataannya untuk menemukan perjanjian damai Timur Tengah. Langkah pengakuan atas Jerusalem telah menciptakan rintangan lebih besar di jalan menuju perdamaian.

Saat ini, dunia tengah dihadapkan pada pemimpin-pemimpin yang menggenggam kekuasaan nyaris tanpa tandingan. Sebagian di antaranya pemimpin negara besar yang terpilih melalui sistem demokrasi dengan lubang-lubang kelemahan di dalamnya. Di AS, meskipun Hillary Clinton memperoleh suara lebih banyak, namun sistem pemilihan presiden di negeri ini telah ‘mengalahkan’ Hillary dan justru menyerahkan kekuasaan kepada orang yang cenderung kurang berhati-hati menggunakan kekuasaannya.

Kita akan menyaksikan apakah rakyat AS akan bersikap menolak dan berusaha membatalkan keputusan Presidennya, atau diam seribu bahasa dan bersikap acuh tak acuh. Lebih dari itu, apakah rakyat AS akan mengoreksi hasil dari sistem demokrasi yang telah menyerahkan kekuasaan besar kepada orang yang tidak tepat, yang memakai kekuasaan untuk membenarkan egonya sendiri. Meskipun Yahudi sangat berpengaruh dalam masyarakat Amerika, namun tak semua setuju tentang cara-cara negara Zionis ditegakkan.

Pada akhirnya, sekeras apapun penduduk dunia memprotes keputusan Trump, ia akan berjalan terus dengan keputusannya, kecuali rakyat AS sendiri yang menghentikannya. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler