x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bendera Tahlil dan Jamaah Tahlilan

Ada dua kondisi yang sangat kontras, antara mereka pemuja bendera tahlil dan jamaah tahlilan. Sebagai penganut tradisi tahlilan, saya sangat merasakan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin topik terhangat yang sedang ramai dibicarakan di media sosial adalah soal selembar kain berbentuk kotak bertuliskan lafadz tahlil, “Laa Ilaaha Illallaahu Muhammadur Rasuulullah” yang kemudian diklaim salah satu pihak sebagai bendera Rasulullah dan diyakini sebagai “panji agama” yang entah bagaimana, bahwa mengibarkan bendera ini mungkin dianggap sesuai dengan petunjuk yang pernah diamanatkan Nabi Muhammad SAW. Padahal, membaca ulasan para ulama hadis yang meriwayatkan dan membukukan soal hadis-hadis bendera (liwa’ atau royah) Rasulullah tidaklah sepenuhnya seragam, bahkan ada yang menyatakan bahwa sejarah soal bendera—termasuk penulisan lafadz tahlil pada bendera—dikategorikan “wahin” (sangat lemah periwayatannya) sehingga dikhawatirkan lekat dengan unsur-unsur kebohongan.

Dalam tradisi Islam, mengamalkan sebuah hadis yang dianggap lemah (dho’if) diperbolehkan, tetapi jika itu dalam rangka keutamaan beramal (fadloilul a’mal) sebagaimana yang dipersepsikan oleh Imam Nawawi, selain itu, cenderung harus dihindari. Terlebih jika informasi itu terkait dengan akidah atau keimanan, harus sangat berhati-hati dalam mengikuti atau me-nuqil (mengambil sebagai pendapat keagamaan) suatu hadis, haruslah dihindari dari periwayatan yang lemah. Saya tidak akan lebih jauh membahas soal kedudukan hadis-hadis soal bendera, karena permasalahan ini menjadi wilayah perbedaan pendapat para ulama, walaupun jika ditelusuri lebih jauh, hampir seluruh ulama dan ahli hadis menyatakan soal bendera ini dianggap banyak memiliki kelemahan riwayat.

Ada dua kondisi yang sangat kontras, antara mereka pemuja bendera tahlil dan jamaah tahlilan. Sebagai penganut tradisi tahlilan, saya sangat merasakan, bahwa tradisi mendoakan atas kematian seseorang ini jauh dari berbagai kecurigaan, unsur-unsur politis apalagi kebencian. Tahlil, tentu saja melafalkan kalimat tauhid, “Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah” secara berulang-ulang, termasuk didalamnya membaca serangkaian doa yang diwariskan oleh para wali penyebar agama Islam di Indonesia. Mereka yang senang dengan tradisi tahlilan, tentu saja menunjukkan wajah-wajah cerah, sumringah dan penuh kebahagiaan. Kontras dengan para pemuja bendera tahlil, yang ketika turun ke jalan-jalan dan mengibarkannya, tampak wajah-wajah gelisah, penuh amarah, bahkan siap jika harus aksi dengan ‘berdarah-darah’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jamaah tahlilan, tentu saja menangkap “simbol” tahlil bukan dalam artian fisik, tetapi jauh lebih dalam mengambil nilai-nilai substantif-aplikatif. Membaca rangkaian doa tahlil, tentu saja dilakukan penuh harapan, khidmat, dan kekhusyukan, mengakui dengan jujur seluruh dosa-dosa yang telah diperbuat, seraya mengharap keridoan Tuhannya agar seluruh dosa-dosa mereka diampuni. Tahlilan, tentu saja selaras dengan keinginan meringankan beban pihak lain yang dilanda musibah karena kematian, dihibur, didoakan, dan diingatkan, bahwa kematian adalah keniscayaan, sehingga tidak terlampau larut dalam kesedihan. Nilai-nilai kebersamaan, persatuan, dan solidaritas sosial, tumbuh subur dalam sebuah jamaah tahlil, tanpa pretensi keuntungan politik apapun dan tentu saja bekerja secara pamrih, tanpa harapan imbalan materi apapun.

Gambaran jamaah tahlilan merupakan potret kedamaian masyarakat dalam balutan nuansa doa dan harapan, jauh dari unsur-unsur politis yang menggerakannya. Rangkaian doa dan dzikir yang dibacakan, selaras dengan cita-cita para wali yang ingin mempersatukan Nusantara dalam suasana damai, tepo seliro, dan saling membantu dikala kesusahan. Saya terkadang merenungkan, sebuah doa seusai tahlilan yang sedemikian indah baitnya, mendoakan para “ulama yang bekerja” (wal-‘ulamaail ‘amiliin), “para penulis yang ikhlas” (wal mushonnifiin al-mukhlashiin) yang sejauh ini dilakukan para ulama demi meningkat pengetahuan keagamaan kepada masyarakat. Inilah doa warisan para wali, yang tanpa disadari memperkuat simpul-simpul kebersamaan dalam masyarakat.

Jamaah tahlilan tentu saja terbentuk sejak lama, jauh sebelum ribut-ribut soal bendera tahlil itu muncul. Mereka jelas mengaplikasikan makna kalimat tauhid secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, tanpa harus membawa-bawa simbol tahlil yang tertulis dalam sebuah bendera. Nilai-nilai substantif ajaran Islam yang mengajarkan kebersamaan, persatuan, dan kedamaian jelas tercermin dari wajah-wajah sumringah mereka, walaupun seusai tahlilan, mereka tak dibekali “berkat” (makanan dalam besek) yang biasa dihadiahkan selepas tahlilan. Lalu, kenapa soal bendera tahlil itu muncul belakangan? Bahkan yang paling menggelikan, perdebatan menyoal urusan bendera ini tidak lagi dalam suasana ilmiah yang saling menghargai perbedaan pendapat, tetapi sudah menyasar kepada penghinaan secara fisik yang kontras sekali dengan kegiatan tahlilan. Mereka tak pernah sadar, bahwa tahlilan tanpa simbol, sudah hadir di negeri ini, ratusan tahun yang lalu, mereka benar-benar memaknai tahlil bukan sekadar simbol, tetapi membaca, melantangkan, tanpa harus mencaci maki, menghinakan atau merendahkan pihak lain.

Itulah kenapa sebabnya, saya lebih suka tahlilan daripada bendera tahlil, karena nilai-nilai ajaran Islam melalui tahlilan benar-benar menyerap dalam sanubari, mengikat kuat simpul-simpul solidaritas, kebersamaan yang penuh kedamaian. Merekalah sesungguhnya yang sudah lebih dahulu memahami apa makna dibalik simbol “bendera Rasulullah” yang disebutkan dalam banyak sejarah. Bendera yang dipergunakan sebagai “pembeda” antara pasukan muslim dengan pasukan lainnya dengan warna yang berbeda-beda—terkadang putih, hitam, atau kuning—mewujud dalam semangat jamaah tahlilan yang menyatu dalam balutan perbedaan. Simbolisasi perbedaan ini dilebur dalam suatu kesatuan tujuan: pengakuan atas dosa-dosa, memohonkan ampunan kepada Yang Maha Kuasa, seraya mendoakan—bukan mencaci atau merendahkan—umat muslim lainnya, sejak dari generasi terawal sampai generasi terakhir.

Memang, simbol dan tanda itu sangat penting, terutama di awal-awal sejarah pengumpulan ayat-ayat suci Al-Quran kedalam satu mushaf. Simbol dan tanda ini—yang berbentuk titik maupun harakat—yang ditambahkan dalam setiap huruf dalam ayat suci bertujuan untuk “penyeragaman” karena dialek Al-Quran yang berasal dari bahasa Arab. Tentu teramat sulit membacanya, bagi mereka yang tidak paham bahasa Arab, ketika bait-bait Al-Quran tanpa titik maupun harakat. Maka dibuatlah simbol dan tanda dengan tujuan agar pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran seragam dan tak ada klaim salah satu pihak, bahwa bacaan dirinya atau kelompoknyalah yang paling benar. Selain itu, simbol dan tanda hanyalah “hiasan” yang tak memiliki arti penting dalam perjalanan meneladani prinsip-prinsip ajaran Islam yang agung yang dibawa dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi, masih perlu berdebat soal bendera tahlil? Kalau saya akan lebih memilih tahlilan daripada ikut larut berdebat soal bendera tahlil yang jelas-jelas lemah dari sisi periwayatan sejarahnya.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu