x

Iklan

Adiani Viviana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kado Pahit Desember bagi Anak-anak Papua

Hak anak adalah hak asasi manusia. Apa yang dialami Puti dan Thomas merupakan potret yang mewakili masalah yang dialami anak-anak di Papua pada umumnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ia menunduk. Saya berlutut di lantai kamar itu, tapi dia tidak mau menjabat tangan saya yang sudah saya ulurkan. Kedua tangannya terus ia lipat ke belakang. Saya tidak lagi kuasa menatap sorot mata dan wajahnya. Akhirnya saya melangkah pergi, meninggalkan dia siang itu, Sabtu 11 November 2017. Sambil menghapus air mata saya yang spontan jatuh, saya menoleh ke belakang. Ternyata dia melangkah ke teras. Saya lihat dia sedang tersenyum sambil melambaikan tangan di teras. Hati saya bergemuruh, air mata terus terjatuh, tak sanggup lagi melihat wajahnya. Kubalas senyum dan lambaian tangannya. Seorang teman saya bilang, saya hanya terlalu “Baper” – Bawa Perasaan. Mungkin?! Tapi........, tidak!!

Saat itu hanya satu hal yang terfikir oleh saya: “Bagaimana dia, mereka, nanti setelah kembali ke Korowai?” Dan pada 29 November 2017 saya mendapat kabar, dia akan kembali ke Korowai pada 30 November 2017. Akhirnya dia kembali ke Korowai pada 1 Desember 2017. Masih dengan luka jahitan di pipinya?! Dia adalah Puti Hatil, anak Korowai-Papua, yang belakangan menjadi pembicaraan dan “kesibukan kecil” pemerintah. Puti, anak berusia tiga tahun itu dipindahkan dari Korowai pedalaman ke Jayapura karena luka akut bernanah dan lubang menganga di pipinya. Ketika itu ia mengalami malaria, sangat kekurangan gizi, dan sakit-sakit lain. Tubuhnya ringan sekali. Tanpa perawatan medis, Puti bertahan hingga tiba di Rumah Sakit Dian Harapan Jayapura pada 3 Oktober 2017.

Rabu, 8 November 2017, untuk pertama kalinya saya berjumpa Puti dan keluarganya. Hanya empat hari saya berkomunikasi dengan mereka. Saat itu, luka Puti masih ditutup perban. Secara kebetulan, kami menginap di tempat yang sama, Kesusteran Maranatha. Pada 8 November itu, Puti dipindah dari RS Dian Harapan ke Maranatha. Perawatan jalan. Dan saya sedang menginap di Kesusteran Maranatha untuk menyelenggarakan diskusi ELSAM Jakarta, dan riset bersama alumni pendidikan HAM ELSAM-PBI.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di Rabu malam itu, hujan turun sangat lebat di Jayapura dan sekitarnya. Daerah Tanah Hitam kabarnya sampai banjir. Saya dan keluarga Puti duduk-duduk di depan kamar sambil menatap hujan yang mengguyur taman depan kamar.  Bapa Daniel, Mama Lanol, Thomas, Bertha, pandangan mereka menerawang menghadap taman dan hujan. Puti juga. Juga saya. Sementara Jefry, pekerja kesusteran, sibuk dengan telepon genggamnya. Saya mengajak Puti untuk masuk kamar saja. Karena perban di pipinya terlepas. Saya takut debu dan percikan air hujan atau serangga malam masuk ke bekas jahitan yang belum rapat itu. Tapi ia menggelengkan kepala. Dan saya pikir, sayalah yang telah keliru. Saya mengelus punggung dan kepalanya. Mungkin dia merindukan suara hujan yang menari di atas pepohonan, atau ingin hujan-hujanan, bermain dengan air?

Esok paginya, ia terus tersenyum sampai menampakkan gigi putihnya, saat seorang suster memandikan dia. Saya datang membawa boneka beruang dan gajah untuk menjemput Bertha berganti pakaian ke teras kamar dan ruang tamu. Saya menggendong Bertha, adik Puti yang berusia dua tahun. Beruang dan gajah ikut serta gendongan. Puti memberi isyarat minta ditunggu. Jefry tidak setuju karena saya membawakan boneka. Di mana kekeliruannya, Jef? “Laki-laki tidak main boneka”, katanya. Mari Jef, sa kastau. Jefry mengekor saya, Bertha, beruang dan gajah. Kami beriringan menuju ruang tamu. Di samping ruang tamu, Thomas sedang belajar dengan suster kepala.

Suster kepala mengira saya adalah seorang biarawan. Bukan Ibu, saya muslim. Lalu dia bertanya lagi, apakah saya seorang guru? Bukan juga, Ibu. Kemudian masih lanjut bertanya, “Mace, masih cewek atau sudah Ibu?” Saya masih cewek (belum menikah).

Saya bawakan buku-buku mengenal angka dan huruf untuk Thomas, serta alat tulis dan mewarnai. Juga buku mewarnai bergambar hewan-hewan laut dan tumbuhan. Mata Thomas berbinar. Tapi suster kepala kurang setuju dengan buku mewarnai dan menggambar yang saya bawa. Menurutnya yang utama adalah calistung. Thomas, kakak Puti, berusia sekitar 12 tahun belum bisa baca tulis hitung. Bukan karena bodoh atau tidak mau belajar. Tapi karena tidak ada sekolahan dan pendidik di sana. Tapi menggambar juga penting Ibu, untuk merangsang imajinasi dia, juga kreativitasnya. Pada akhirnya suster kepala sefikiran dengan saya. Benar, biar dia juga tidak bosan belajar calistung yaa. Benar Ibu. Sekarang, saya dengar Thomas sudah mulai bisa calistung. Saya sangat senang mendengarnya.

Anak-anak sebagaimana manusia dewasa juga memiliki seperangkat hak asasi yang wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. Hak anak adalah hak asasi manusia. Bermain, mendapatkan pendidikan sesuai kebutuhan, memperoleh pelayanan kesehatan secara baik dan manusiawi, merupakan bagian dari hak-hak anak itu, tak terkecuali bagi Puti, Bertha, dan Thomas. Apa yang dialami Puti dalam hal kesehatan, dan Thomas soal pendidikan, adalah salah satu potret yang mewakili situasi anak-anak di Papua umumnya, khususnya di Korowai dan sekitarnya.

Bencana kurang gizi dan penyakit-penyakit akut khususnya di wilayah seperti Korowai, Yahukimo dan sekitarnya layaknya sebuah siklus tahunan. Setidaknya setelah 1998, kita kerap mendengar terjadi bencana kemanusiaan itu di Yahukimo bukan? (sebelum 1998, informasi demikian sangat tabu untuk disiarkan. Akses media juga ditutup rapat). Mengapa situasi seperti itu hingga kini belum juga di/ter-atasi? Minimal terdapat langkah-langkah meminimalisir? Semacam standar operasional prosedure (SOP) atau mitigasi jika terjadi?

Berdiskusilah dengan Soleman Itlay dan timnya di KOPKEDAT dan TPKP Rimba Papua. Banyak-banyak mendengarlah dari dia. Bagaimana Puti Hatil dievakuasi dari Korowai ke Jayapura, termonitoring agar mendapat pengobatan intens dan perawatan yang manusiawi, lalu dapat kembali tersenyum, lubang menganga di pipinya terjahit? Bagaimana orang-orang kemudian tahu tentang Puti, dan masih banyak Puti-Puti dan Thomas-Thomas lainnya di Papua? Soleman Itlay adalah orang dibalik itu semua. Perjuangannya cukup berat. Ia menjangkau apa yang tidak di/ter-jangkau oleh pemerintah, oleh negara. Namun Soleman konsisten, komitmen terus bergerilya untuk peradaban, untuk kemanusiaan yang bermartabat di pedalaman-pedalaman Papua, melalui penyelenggaraan pendidikan atau komunitas belajar dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan di daerah terpencil. Memang, jika tidak berat, bukan perjuangan namanya. Tapi sekali lagi, perjuangan Soleman dan timnya sangat berat. Tapi mereka tahu, tak pernah ada yang sia-sia dari sebuah langkah dalam perjuangan. Perjuangan berat dia untuk Puti Hatil berbuah. Satu nyawa telah terselamatkan. Ia telah menyelamatkan satu generasi bangsa.

Kini tiba saatnya Soleman berpisah jarak dengan Puti. Informasi tentang pemulangan Puti sekeluarga sangat mendadak. Pada 29 November 2017, pihak Dinas Kesehatan memberi informasi pada Soleman, bahwa mereka telah menyiapkan transportasi udara untuk memulangkan Puti, menyewanya senilai 45 juta rupiah. Soleman bukannya pasrah. Secara medis Puti masih membutuhkan perawatan. Ia melakukan loby dan negosiasi pada Dinas Kesehatan Papua. Ia berdiskusi dan meminta saran pada jaringannya. Ia melawan. Tapi pada akhirnya, mereka tetap memulangkan Puti.

Ada tiga tuntutan yang dilayangkan oleh Soleman dan timnya kepada Dinas Kesehatan Papua. Pertama, Soleman minta agar Dinas Kesehatan Papua membuat pernyataan tertulis bahwa Puti Hatil akan aman di Danowage atau Afimabul. Untuk memastikan itu, mereka harus mencantumkan nama-nama tim perawat, bidan dan dokter yang akan menangani Puti, serta obat apa saja yang akan dikonsumsi oleh Puti hingga Maret 2018 nanti. Kedua, Soleman meminta agar Dinas Kesehatan Papua memberikan dukungan padanya untuk mendapatkan surat keterangan dari RS Dian Harapan yang jelas setelah Soleman menerima surat rujukan rawat jalan pada 30 November 2017. Ketiga, Dinas Kesehatan juga harus memberi dukungan pada Soleman dan Bapa Daniel agar mereka mendapat keterangan yang jelas terkait nama penyakit yang diderita Puti berdasarkan pemeriksaan medis oleh tim RS Dian Harapan Jayapura.

Ketika terbentur dengan sistem dan birokrasi, pergerakan akan jadi lebih rumit. Soleman telah “berkawan” dengan situasi itu. Pemerintah pusat, Kementrian Kesehatan, apakah kalian tahu tentang penderitaan Puti dan anak-anak lainnya di daerah terpencil itu? Jangan angkat tangan atau cuci tangan, dengan dalih Otonomi Khusus. Tahu juga kah tidak, tentang perjuangan mandiri Soleman dan orang-orang muda lainnya di sana? Soleman dan orang-orang muda Papua lainnya tersebut sesungguhnya sedang berjuang menciptakan kehidupan yang damai. Sebuah kehidupan dimana segenap hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. Kehidupan untuk anak-anak, generasi bangsa, agar dapat menikmati massanya, serta melindungi mereka dari konflik dan kekerasan. 

Hari itu, setelah Soleman mendapatkan informasi mendadak dari Dinas Kesehatan Papua, ia sangat sibuk. Di tengah kesibukan itu, sesungguhnya hatinya hancur. Ia yang setia bercumbu dengan penderitaan rakyat Papua, telah sangat jatuh hati pula pada penderitaan Puti. Sampai-sampai Soleman lupa, kalau esok pagi adalah 1 Desember. Hari di mana Bintang Kejora berkibar, dan “Hai Tanahku Papua” menggema, serta banyak orang di Papua, di kota-kota di Indonesia, merayakannya, meski merayakan dalam keterbatasan dan tekananan, sebab polisi dan TNI membatasinya yang kerap disertai aksi kekerasan. Perayaan tidak bebas, setidaknya tak sebebas pada rezim pemerintahan Abdur Rahman Wahid atau Gus Dur saat itu. Namun begitu, pada 1 Desember 2017, hingga masyarakat international juga merayakannya untuk Papua melalui aksi dan tindakan nyata. 

Padahal tindakan-tindakan yang telah dilakukan Soleman itu, justru lebih dari sekadar ingat pada hari kemerdekaan bangsanya. Tindakannya menjadi bukti bakti suci pada tanah airnya. Jika saja terdapat 5-10 Soleman pada tiap distrik di Papua, penderitaan rakyat akan terkurangi. Akan semakin banyak anak yang dapat tersenyum, bermain, belajar, dan tidak terluka. Berharap dan berpangku tangan pada pemerintah, bukan pilihan yang strategis dan efisien. Kondisi darurat! Respon dari pemerintah sangat kerap terlambat. Dalam membuat putusan dan langkah-langkah menyelesaikan masalah juga sering tidak berkesesuaian dengan kebutuhan masyarakat, karena tidak melibatkan masyarakat dalam proses itu. Jika pemerintah belum mampu menyelesaikan persoalan yang ada, minimal jangan persulit kelompok-kelompok pemberdaya masyarakat seperti Soleman dkk. Jangan halangi perjuangannya. 

Saya tidak tahu, apakah luka jahitan di pipi Puti kelak akan bisa hilang atau meninggalkan bekas? Jikapun membekas, mungkin biar jadi pengingat Puti yang kelak akan membesarkan jiwa dan pemikirannya. Bahwa tak boleh ada lagi anak-anak yang menanggung luka, yang tak bisa bermain, karena kelalaian negara.

Kini, jarak saya dengan Puti, Bertha, dan Thomas juga semakin jauh. Pada Thomas, saya tidak sempat bertanya, apakah dia ingin sekolah atau tidak? Saya tidak tahu, belajar seperti apa yang ada dalam fikiran dan imajinya? Belajar seperti apa yang ia inginkan? Apakah ia punya mimpi? Bertha, jika ia dapat melewati kehidupan di sana dan melawan, saya berkeyakinan kelak dia akan jadi perempuan Melanesia yang kuat. Dan Puti, Tuhan dan Semesta akan menjaganya, serta memberi peran kehidupan yang penting dalam hidupnya.

Sampai jumpa lagi Puti, Bertha, dan Thomas. Saya dapat merasakan kesedihan Soleman yang mendalam itu. Saya hanya empat hari bersama keluarga Bapa Daniel saja sungguh sedih mendapat kabar ini. Saya berduka dan malu, di hari kemerdekaan bangsamu, Pemerintah Indonesia telah mengekang kemerdekaanmu, Puti. Kemerdekaanmu sebagai seorang anak bangsa. Kau dipulangkan paksa, saat luka itu belum rapat. Saat kau masih membutuhkan perawatan kesehatan, kasih sayang, dan perhatian. Tapi Puti, Bertha, Thomas, biarlah sudah, kembalilah ke Korowai. Tanah yang membesarkanmu, sekolah dan taman bermain raksasa yang memberimu pelajaran lebih daripada sekadar pelajaran di ruang-ruang kelas seperti anak-anak kota yang tidak bisa membedakan laut dengan sungai, dan mungkin tak tahu juga mana pohon kelapa mana pohon pinang. Teruslah bernafas, Puti. Bernafaslah yang panjang agar kelak kau bisa melawan.

 

Purbalingga, 1 Desember 2017

Ikuti tulisan menarik Adiani Viviana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB