x

Iklan

Lestantya Baskoro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Modus ATM Pejabat Serakah

Dari fakta yang dihadirkan jaksa, kita melihat bagaimana “Ali sang auditor utama” ini terus menerus menumpuk harta entah untuk apa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Persidangan kasus suap auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan Ali Sadli semakin membuktikan pada kita bahwa pada lembaga yang mestinya menegakkan aturan pengelolaan keuangan negara pun kita perlu menyisakan sangsi. Jika auditor yang diberi kewenangan dan kekuasaan untuk menentukan benar tidaknya pengelolaan negara bisa disuap, apa yang harus kita katakan? Mungkin –meminjam kata-kata Wiji Tukul-  hanya satu kata: memalukan!

Lihat persidangan Ali Sadli, auditor yang didakwa menerima uang sogok Rp 250 juta dari Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Sugito,  demi menyematkan predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian untuk laporan keuangan Kementerian itu pada  2016. Pada sidang terungkap, dari laporan anggota tim auditornya, Kementerian ini agak berat untuk mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian. Itu karena, demikian ujar sang auditor yang menguprek-uprek laporan keuangan Kementerian tersebut, ada sekitar 40 temuan laporan keuangan yang tak sesuai. Dalam persiangan, Jaksa membacakan bagaimana komentar  “Ali sang auditor utama”  dengan anak buahnya. “Gila, ini mah nggak bakal bisa WTP.”

Selanjutnya kita tahu, suap itu terjadi. Dan itu gampang ditebak: suap itu, siapa pun yang mendahuluinya, adalah sebagai win-win solution yang tentu saja melanggar sumpah para pejabat itu yang saat dilantik berjanji –atas nama Tuhan-  menjadi aparatur negara yang bersih. Auditor menyelewengkan hasilnya yang semestinya C jadi B, dan instansi  -yang khawatir mendapat sorotan dari atasannya, termasuk Presiden- aman karena lolos dari ponten merah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Betapa rendahnya moralitas dan serakahnya auditor semacam ini.

Dari fakta yang dihadirkan jaksa, kita melihat bagaimana “Ali sang auditor utama”  ini terus menerus menumpuk harta entah untuk apa. Dia misalnya, selama dua tahun terakhir membeli sejumlah mobil: Honda CRV, Mercedes Benz, Fortuner hingga Rubicon. Mobil-mobil senilai Rp 200 juta hingga Rp 500 juta tersebut, tentu saja (karena itu bisa berbahaya) di atas namakan orang lain. Ia lupa, para penyelidik KPK  -dalam urusan semacam-  ini cukup terlatih mengendus dan menelusuri barang mewah dengan modus seperti ini.  Dan seperti halnya sejumlah tersangka koruptor lain yang selalu memakai ilmu jaga-jaga, Ali juga menggunakan ATM orang lain untuk membeli barang-barang mewah itu. Dengan modus ini, memang  PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan),  besar kemungkinan hanya  “menangkap angin” jika  menelusuri rekening atas nama Ali.

Ali tentu punya sejuta alasan kenapa ATM orang lain ada di tangannya. Ia juga bisa bekerja sama dengan pemberi ATM untuk menciptakan cerita logis kenapa ATM berpindah tangan. Dalam kasus Ali, pemilik ATM, Amin, menyebut ia memiliki utang pada Ali sebesar Rp 1 miliar. Tapi, kejanggalan selalu muncul dalam cerita kejahatan yang disusun mulus. Dalam kasus ini, terungkap pula ternyata rekening ATM itu juga mendapat kiriman duit dari Badan Nasional Penanggulan Bencana BNPB, Instansi  yang pengelolaan keuangannya juga diperiksa Ali. Artinya kisah Ali dan  pemberian opini wajar tanpa pengecualian Kementerian Desa  itu bisa jadi juga ada di lembaga tersebut.

*

MODUS menerima suap dengan kamuflase ATM (atas nama orang lain) hingga kini memang salah satu yang tampaknya dinilai paling aman –serta praktis- oleh para koruptor.  Rekening asal ATM ini bisa macam-macam  -dan pemegangnya bisa jadi juga tak peduli. Tidak mesti atas nama pemberi suap, bisa atas nama karyawan penyuap, teman pemberi suap, dan sebagainya.  Itu karena yang diperlukan di sini hanya mengetahui nomor PIN ATM  dan ada isinya. Itu saja! Jika pun bertransaksi secara dengan debet, pemilik toko (toko apa pun: toko emas, toko elektronik) kita tahu, juga tak pernah mengecek atau mempertanyakan: apakah ATM ini milik kita apalagi menanyakan buktinya.  

Modus ATM sebagai alat suap juga muncul dalam kasus korupsi pada Direktorat Perhubungan Laut dengan tersangkanya, antara lain, Dirjen Perhubungan laut, Antonius Tonny yang ditangkap KPK dengan bukti duit Rp 189 miliar yang tersimpan dalam 33 tas di  Mes Perwira Gunung Sahari. Persidangan 5 Desember lalu memunculkan dua saksi, Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Perak, Mauritz Sibarani dan Kepala Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Pulangpisau , Otto Patriawan. Kepada hakim kedua pejabat ini mengaku menerima kartu ATM dari  pengusaha Adi Kurniawan –penyuap Antonius Tonny- dengan isi ATM masing-masing antara Rp 100 juta dan Rp 800 juta. Ketika Antonius ditangkap kartu ATM itu mereka lenyapkan. Tindakan itu membuktikan, mereka tahu yang mereka peroleh adalah sebuah kejahatan.

Demikianlah keserakahan telah melahirkan modus memilki ATM pihak ketiga  dalam perkara korupsi kita. Dan para pejabat di atas itu, mungkin hanyalah segelintir dari para pelaku korupsi yang tertangkap. (Lestantya R. Baskoro –LAWMAG)

Ikuti tulisan menarik Lestantya Baskoro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler