x

Iklan

Labib Nubahai

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Konsep Pajak Menurut Abu Yusuf Dan Relevansinya Pada Masa Sekarang

Artikel ini menjelaskan mengenai pemikiran abu yusuf tentang pajak dan relevansinya pada masa sekarang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang harus dikelola dengan baik, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan pajak telah ada sejak masa nabi Muhammad saw dan penerapannya masih terus berlanjut. Pada masa Abbasiyah, hadir seorang ulama bernama Abu Yusuf yang diminta untuk menulis sebuah buku komprehensif yang dapat digunakan untuk permasalahan perpajakan. Abu yusuf sendiri telah mengemukakan prinsip-prinsip tentang perpajakan dengan sangan jelas yang kemudian dikenal sebagai canons of taxation oleh para ekonom.

Abu yusuf dalam kitabnya al-kharaj memiliki pemikiran untuk mengganti system pajak dari wazifah ke muqasamah. Menurutnya, muqasamah lebih adil jika diterapkan karena muqasamah merupakan system pemungutan pajak yang dilaksanakan berdasarkan nilai yang tidak tetap atau berubah dengan mempertimbangkan pada presentase penghasilan dan tingkat kemampuan. Lain halnya dengan wadzifah yang pemungutannya ditentukan berdasarkan pada nilai tetap. Pergantian system tersebut adalah dalam rangka untuk mencapai ekokomi yang berkeadilan.

Abu yusuf dalam kitabnya al-kharaj telah menjelaskan kondisi dan hal-hal yang berkaitan dengan perpajakan, diantaranya charging a justifiable minimum, no oppression of tax-payers, maintenance of a healthy treasury, benefiting both government and tax-payers dan in choosing between alternative policies having the same effects on treasury,preferring the one that benefits tax-payers.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Disamping itu dalam Islam, macam-macam jenis pemungutan pajak juga telah dijelaskan. Dalam Islam klasik jenis pemungutan pajak sebagai berikut:

  1. Jizyah adalah pajak yang ditunjukan kepada kafir dzimmi, yaitu kelompok non muslim yang menetap di negara Islam dan menaati peraturan yang telah diterapkan oleh negara tersebut. Terdapat tiga pilihan yang ditawarkan Islam kepada non muslim, yaitu masuk Islam, membayar jizyah atau diperangi. Bagi yang tidak mau masuk Islam maka harus membayar jizyah.
  2. Kharaj, yaitu pajak bumi.
  3. Usyur, yaitu bea cukai (pajak ekspor dan import). Usyur adalah harta yang diambil dari hasil perdagangan ahludzzhimmah dan penduduk darul harbi yang telah melewati daerah perbatasan negara Islam sebagai hak kaum muslimin. Adapun mengenai tarif usyur disesuaikan pada status pedagang. Jika pedagang adalah seorang muslim maka dikenakan zakat perdagangan 2,5% dari barang bawaannya, dan jika pedangang adalah ahludzzimmah maka dikenakan tarif 5%, sedangkan kafir harbi tarifnya 10%.
  4. Rikhaz yaitu pajak atas barang tambang. Jika ditemukan barang tambang yang ada pada tanah seorang muslim maka dikenakan pajak sebesar 20% atau seperlima.

Dengan mengetahui konsep perpajakan yang telah dikemukakan diatas, kiranya perlu untuk melihat realita yang terjadi pada masa sekarang ini, apakah pemikiran yang tawarkan oleh abu yusuf diatas mengenai relevan pada masa sekarang ini? Mari kita simak bersama-sama:

Tarif Proporsional atau dengan Muqasamah

Menurut Abu Yusuf, metode pajak dengan proporsional bisa memberikan peningkatan pendapatan negara dari segi pajak tanah dan juga bisa mendorong para penanam dalam meningkatkan produksinya. System ini dinilai memberikan rasa adil serta dapat menjadi automatic stabilizier untuk perekonomian yang selanjutnya tidak akan membuat perekonomian berfluktuasi terlalu tajam. Dengan demikian dapat terlihat dari paparan diatas bahwa Abu Yusuf menginginkan adanya keadilan bagi seluruh warga negara. Di Indonesia sendiri tarif pajak sangat beragam, ada tarif progresif yang di terapkan pada PPh, proporsional yang di tarapkan pada PBB dan PPN.

Self Assesment atau dengan sistem Qabalah

Pemungutan pajak dengan prinsip self assesment bias diartikan memberikan kepercayaan dan tanggungjawab kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar serta melaporkan secara mandiri jumlah besaran pajak yang harus dibayarkan. Sedangkan system yang berlaku sebelumnya adalah Qabalah seperti yang dijelaskan dalam al-kharaj, menurutnya system tersebut hanya akan menyebabkan terjadinya kedzaliman di masyarakat. Dengan demikian solusinya yang diberikan Abu Yusuf adalah seharusnya pemerintah memiliki lembaga khusus yang mengurus tentang pajak dan memiliki petugas pajak yang professional.

Sistem yang dikemukakan oleh abu yusuf jika diterapkan pada masa sekarang masih sangat relevan, lebih-lebih self assesment system yang saat ini berlaku di Indonesia memungkinkan terjadi kecurangan-kecurangan oleh wajib pajak.

PBB atau dengan Kharaj

Pajak Bumi dan Bangunan pertama kali diatur dalam UU No. 12 tahun 1985, kemudian diubah di dalam UU No. 12 Tahun 1994. Di dalam PBB terdapat NJOP yaitu harga rata-rata yang didapatkan dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar. NJOP dijadikan dasar pengenaan pajak yang setiap tiga tahun ditentukan oleh menteri keuangan. PBB mempunya perbedaan dengan al-kharaj yang ditulis oleh abu yusuf. PBB untuk semua jenis tanah sedangkan al-kharaj untuk lahan pertanian. Perbedaan lainnya adalah pada hukum asal al-kharaj yaitu pengenaan pajak tanah yang dikelola oleh orang kafir yang kalah perang dan tidak masuk Islam sedangkan PBB untuk semua warga negara yang memiliki objek pajak bumi dan bangunan. Apabila konsep pajak al-kharaj - sebagaimana yang telah dijelaskan abu yusuf - dengan system muqasamah diterapkan di Indonesia yang karakternya adalah negara agraris, maka pendapatan negara dari sector pertanian sangatlah potensial.

Bea Cukai atau Usyur

Bea adalah suatu pungutan yang dibebankan atas perbuatan atau kejadian berkaitan dengan lau lintas barang dan lainnya berdasarkan ketentuan perundang-undangan, sedangkan cukai merupakan pungutan negara yang dibebankan terhadap barang-barang tertentu dengan sifat dan karakteristik yang telah di tetapkan oleh undang-undang, yaitu barang yang perlu dibatasi atau diawasi pemakaiannya.

Dalam istilah abu yusuf, pajak bea cukai adalah usyur. Usyur dilakukan pertama kali pada masa khalifah umar bin al-khattab. Saat itu Musa al-Asyari menulis surat kepada khalifah umar mengenai persoalan pedagang muslim dikenakan usyur 1/10 ketika mendatangi wilayah kafir harbi, maka khalifah memerintahkan kepada abu Musa untuk melakukan hal yang sama, yaitu mengambil pajak yang sama dengan ketentuan dari ahludz dzimmi 5% dan dari muslim 2,5% dengan batas minimal barang mencapai 200 dirham.

Jika ditarik pada masa sekarang ini, relevansi dari usyur dengan bea cukai dapat disimpulkan dalam beberapa hal, yaitu: Pertama, usyur merupakan bentuk pajak niaga yang dibayarkan pada negara untuk kemaslahatan umum, Kedua, usyur adalah bentuk pajak yang melihat pemiliknya secara pribadi, karena jumlah pajak yang dibebankan akan berbeda berdasarkan agama sedangkan bea cukai saat ini tidak melihat dari sisi pribadi pemiliknya, Ketiga, usyur adalah bentuk pajak tidak langsung sebagaimana dengan bea cukai saat ini, sebab dibebankan atas barang perniagaan dengan pembayarannya dilakukan di pos perbatasan Negara, Keempat, usyur merupakan pajak nominal yang dihutung berdasarkan ukuran tertentu sedangkan bea cukai mengambil dari dasar nominal terhadap sebagian barang perniagaan dengan standar barang lain.

Barang Tambang atau Rikhaj

Pasal 129 UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara menyebutkan pemegang operasi produksi untuk pertambangan mineral logam dan batubara diwajibkan untuk membayar 4% kepada pemerintah dan membayar 6% kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak melakukan aktifitas produksi. Sehingga jika dijumlahkan pajak pertambangan mencapai 10%.

Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam baik di darat ataupun di laut. Maka sudah sepatutnya rakyat merasakan kemakmuran negara ini sesuai dengan  UUD 1945 pasal 33 Ayat 3.  BUMN dan BUMD yang ditugaskan oleh negara untuk mengelola sumber daya alam di negara ini, sudah sepantasnya memberikan royalti sepenuhnya kepada negara, bukan sebaliknya membebani negara dengan sering merugi. Begitu juga BUMS khusunya yang mengelola keakayaan alam berupa pertambangan di indonesia saharusnya dibebankan pajak sebesar 20%.  Apabila pemerintah berani untuk menerapkan konsep pajak pertambangan seperti yang dikemukakan abu yusuf yaitu sama dengan rikhaj dengan tarif 1/5 maka pendapatan negara akan melampai target dan kemungkinan dapat menjadi surplus anggaran, tidak seperti sekarang yang sering terjadi defisit anggaran.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: Pertama, tarif pajak muqosamah yang dijelaskan abu yusuf atau tarif pajak proporsional telah berlaku di Indonesia seperti halnya pajak PBB dan PPN, Kedua, self assesment system yang dijalankan di Indonesia hampir sama dengan qabalah yang dikemukakan oleh abu yusuf, dan sepatutnya penggunaan system ini dibatasi begitu juga untuk perusahaan besar sepetutnya menggunakan system official assessment, Ketiga, kharaj berdasarkan tingkat kesuburan sedangkan PBB berdasarkan luas wilayah dan NJOP, jika Indonesia menginginkan pajak PBB lebih besar maka sebaiknya menerapkan kharaj karena Indonesia adalah negara agraris, Keempat, letak perbedaan usyur dan bea cukai terdapat pada kepemilikan objek pajak, Kelima, pemerintah harus berani ekstensifikasi dan diversifikasi pajak bukan hanya intensifikasi pajak, terutama pada bidang pertambangan yang punya potensi pajak sangat besar karena sudah banyak sekali perusahaan asing yang mengambil kekayaan alam di negara ini tetapi hanya membayar pajak yang relative kecil.

 

Ikuti tulisan menarik Labib Nubahai lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler