x

Iklan

Rahman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

MITOS “KUDETA” PERGANTIAN PANGLIMA TNI

TNI tidak boleh berpolitik praktis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memasuki bulan Desember 2017 kita telah disuguhkan berita pergantian Panglima TNI. Jenderal Gatot Nurmantyo resmi diberhentikan secara hormat dari jabatannya sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia pada Jumat (8/12/2017). Sementara itu   purnatugasnya dijadwal rampung Maret 2018. Namun Presiden Jokowi pada Senin (4/12), mengeluarkan surat percepatan purnatugas Panglima Gatot. Dalam surat itu presiden pun menyebut Gatot diberhentikan dengan hormat.

Dengan keadaan seperti ini masyarakat akan bertanya-tanya, ada apa? Karena dalam sejarah pergantian Panglima TNI, baru kali ini seorang Panglima TNI diberhentikan dengan hormat padahal masa pensiunnya masih tersisa sekitar 3 tiga bulan lamanya. Kita tahu TNI tidak pernah melakukan tindakan kudeta yang bertabrakan dengan UU. Isu tersebut hanya dugaan yang tidak memiliki fakta dan data yang akurat. Apalagi saat ini TNI menempati posisi teratas dalam berbagai lembaga survei sebagai institusi terbaik. Dan, tidak mungkin TNI melakukan kudeta.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal Hadi Tjahjanto pun naik ditunjuk presiden sebagai pengganti Panglima TNI. Jokowi beralasan penunjukkan Hadi Tjahjanto dianggap mampu membawa perubahan di tubuh TNI. Namun banyak mempertanyakan langkah presiden mempercepat purnatugas Jendral Gatot ini. Asumsi yang berkembangpun dianggap strategi politik Jokowi, khususnya jelang tahun politik 2018 dan 2019.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Asumsi ini bukanlah suatu kesalahan. Karena fakta sejarah, relasi politik pemerintahan dan Panglima TNI memang sering terjadi. Dalam sejarahnya selama 72 tahun merdeka, Indonesia telah memiliki 19 Panglima TNI dan dua Gabungan Kepala Staf. Sejak Indonesia merdeka pula jabatan Panglima TNI sebagai komandan militer tak lepas dari singgungan kepentingan politik kepala negara.

Sebagai contoh, perbedaan pandangan politik pernah terjadi antara Soekarno dan Soedirman saat revolusi dan perang gerilya. Ketika pemerintah diberi pilihan menyerah pada Sekutu. Jendral Besar Soedirman memilih tetap bertempur cara gerilya melawan agresi militer ke dua pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta.

Namun sikap berbeda Soedirman ini tetap ia tunjukkan dengan etika kepada panglima tertinggi, Presiden Soekarno saat itu. Soedirman tak lantas bermanuver politik mengambil pemerintahan, sesaat sebelum Soekarno ditahan Belanda. Soedirman memilih berpamitan sambil memeluk Soekarno di Gedung Agung Yogyakarta.

Tuduhan soal keinginan mengkudeta bukan tidak pernah dialamatkan ke Soedirman. Dalam buku 'Kesaksian Bung Karno 1945-1947', disebutkan adanya tuduhan Soedirman akan mengkudeta Soekarno. Ini berdasar surat yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan saat itu Amir Sjarifoeddin memerintahkan pemeriksaan kepada Soedirman. Namun semua itu tidak terbukti, karena tak pernah terbesit akan dilakukan seorang Soedirman.

Bahkan ketika perjanjian Roem-Royen pada 14 April 1949, Soedirman memiliki sikap tidak sepakat dengan pemerintah. Namun Soedirman menunjukkan perbedaan sikap ini bukan berarti mengkudeta atau merebut pemerintahan yang sah. Soedirman justru memilih mengundurkan diri dari jabatan Panglima TNI atau TKR saat itu. Walaupun tidak pernah dia jalankan demi menjaga kestabilan negara.

Sikap Soedirman tetap menghormati keputusan pemerintah. Sikap Panglima Besar ini menjadi contoh terbaik dalam menjaga relasi antara militer dan politik pemerintahan. Di mana hubungan militer dan politik dalam perjalanan sejarah kemudian, seringkali saling mengintervensi.

Oleh karennya tidak mungkin TNI melakukan tindakan bunuh diri dengan melakukan kudeta kepada pemerintah yang sah. Apalagi zaman sekarang pengangkatan Prisiden dilakukan dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Apalagi berbagai survei menempatkan TNI pada peringkat  terbaik  yang    ada di tanah air saat ini. Politik TNI adalah politik negara yang harus sejalan dengan kebijakan pemerintah syah. TNI tidak boleh ikut dalam berpolitik praktis tapi tidak boleh buta politik.  Dugaan adanya kudeta dalam pergantian Panglima hanyalah persepsi yang tidak memiliki data dan  fakta.

Ikuti tulisan menarik Rahman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler