x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dukungan ICMI Kepada Jokowi, Ada Masalah?

Melihat dukungan Ketua Umum ICMI kepada Jokowi di acara Pembukaan Silaturrahim Kerja Nasional ICMI se-Indonesia dan HUT ke-27 ICMI di Istana Kepresidenan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagi saya, dukungan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshidiqie terhadap Presiden Jokowi agar bisa menjabat dua periode adalah hal yang wajar. Sudah sejak kelahirannya, ICMI merupakan organisasi yang diasuh dan dibesarkan dalam lingkungan birokrasi politik pemerintahan. Ketua umum pertamanya BJ Habibie adalah Mentri Riset dan Teknologi yang waktu itu masih menjabat aktif dalam pemerintahan Soeharto. Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa keberadaan ICMI memang selalu akomodatif terhadap kekuasaan, bagaimana tidak, hampir orang-orang penting di dalamnya adalah para birokrat atau mantan birokrat yang lekat sekali dengan kekuasaan. Jika keberadaan ICMI sebagai organisasi yang memiliki “kaki” dan mampu menembus akses-akses terhadap kekuasaan politik, lalu kenapa ungkapan ketuanya soal dukungan kepada pemerintahan Jokowi dianggap bermasalah?

Tak bisa dipungkiri, kelahiran ICMI dibidani oleh suasana politik yang kental akan sebuah perubahan perlakukan (reversed treatment) atas negara terhadap komunitas Islam. Belakangan yang terjadi juga demikian, bagaimana pemerintahan Jokowi di satu sisi, juga dekat dengan berbagai kalangan cendekiawan muslim dan berbagai ormas Islam moderat, termasuk memberi akses yang luas terhadap ruang artikulasi keislaman dan keindonesiaan, baik melalui jalur struktural maupun kultural. Beberapa cendekiawan muslim ditempatkan secara strategis dibawah lembaga kepresidenan, sebut saja Yudi Latif yang menjadi ketua UKP-PIP dan Din Syamsudin sebagai utusan khusus presiden untuk dialog dan kerjasama antaragama dan peradaban. Sebagaimana diketahui, keduanya merupakan anggota dewan penasehat ICMI yang masih aktif.

Melihat dukungan Ketua Umum ICMI kepada Jokowi di acara Pembukaan Silaturrahim Kerja Nasional ICMI se-Indonesia dan HUT ke-27 ICMI di Istana Kepresidenan, Bogor (8/12/2017) adalah sikap akomodatif organisasi cendekiawan muslim ini yang lumrah dilakukan dan sudah seharusnya memang demikian, sebagai wujud penegasan atas “politik identitas” ICMI yang sejauh ini sulit untuk tidak berpijak diluar konteks kekuasaan. Sebuah identitas, tentu saja—meminjam istilah yang diungkapkan Levi-Strauss—merupakan sebuah “gerak menuju” bukan “kembali ke”, sehingga sebuah identitas tentu saja senantiasa terbuka, bukan tertutup; senantiasa berinteraksi, bukan menutup diri; senantiasa kreatif, bukan menelan mentah-mentah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menarik membaca arah dukungan yang diugkapkan Jimly—baik secara pribadi atau mengatasnamakan ICMI—terhadap kepemimpinan pemerintahan Joko Widodo. Dukungan tentu saja bukan berlandaskan pada sebuah angan-angan kosong, apalagi didorong oleh pengaruh kuat isu “politisasi agama” yang sedikit banyak berdampak terhadap cara pandang umat muslim Indonesia terhadap kekuasaan. Cara pandang Jimly saya kira, dapat mewakili politik identitas ICMI yang akomodatif yang tentu saja diperkuat oleh alasan-alasan logis berdasar fakta sosial, dimana arah dan gerak perubahan yang dimanifestasikan oleh pemerintahan Jokowi dalam banyak hal, menunjukkan eskalasi peningkatan ke arah yang lebih baik.

Terlepas dari soal penolakan internal ICMI sendiri, karena Jimly dianggap sedang berpolitik dan membawa-bawa ICMI seakan seperti sedang berpolitik praktis, perlu kiranya melihat lebih jauh dari proses kesejarahan ICMI sendiri di Indonesia. Bagi saya, kedekatan ICMI dengan para birokrat politik, bukan saja organisasi ini tak sepenuhnya sepi dari beragam kepentingan kekuasaan, tetapi jauh dari itu bahwa ICMI sebagai leverage politik, memiliki sumber daya yang dapat “menekan” dan mempengaruhi beragam kebijakan penguasa, sehingga diperlukan sikap politik yang akomodatif termasuk memberikan dukungan penuh kepada kekuasaan. Apalagi sikap Jimly bukan sekadar angan-angan tetapi berpijak pada rasionalitas dan fakta politik secara keseluruhan.

Dukungan Ketua Umum ICMI terhadap kepemimpianan Jokowi dua periode, memang erat dengan semakin dekatnya kontestasi politik nasional 2019 mendatang, walaupun pandangan Jimly harus ditangkap sebagai sesuatu hal yang “genuine” tanpa pengaruh isu dan tekanan politik dibelakangnya. Jimly benar-benar menyadari, bahwa kepemimpinan Jokowi harus dilanjutkan, mengingat masih banyak pekerjaan rumah yang belum terealisasikan. Jika kemudian terjadi pergantian kepemimpinan, alih-alih dapat memperkuat struktur leverage politik, ICMI bisa-bisa tak lagi mendapat tempat dalam kekuasaan sebagai pengusung citra moderatisme Islam. Para pakar dan cendekiawan muslim yang saat ini mampu menembus struktur kekuasaan dan memiliki pengaruh kuat dalam mengkritisi berbagai kebijakan, harus dilanjutkan dan itu hanya mungkin ketika periode kepemimpinan Jokowi diperpanjang.

Peneguhan identitas politik ICMI, terletak pada sebuah upaya menarik kesejarahan masa lalu dan disesuaikan atau diartikulasikan kembali di masa sekarang, yang secara obyektif dan kreatif dijalankan melalui dukungan penuh terhadap kekuasaan. Pengaruh nyata ICMI dalam aspek pemerintahan dan negara, jelas tercermin dari beberapa tokohnya yang kemudian diakomodasi dalam pemerintahan Joko Widodo. Sungguh aneh kiranya, jika kemudian ungkapan Jimly dalam sebuah perhelatan besar ICMI yang mengungkapkan dukungan secara langsung kepada Presiden Jokowi, lalu dianggap menjadi “bias” dan berdampak negatif bagi keberadaan ICMI sendiri. Padahal, Jimly sebenarnya sedang meneguhkan kembali identitas politik ICMI yang tentu saja tidak konservatif, namun terus mencipta dan berubah, agar ICMI tetap mempunyai daya tawar politik yang semakin kuat dalam proses-proses kekuasaan.

Akan semakin menggelikan lagi, jika seandainya pernyataan Jimly ini kemudian ditarik terlebih meminta maaf kepada publik, atas desakan berbagai kalangan yang justru tidak memahami bahwa kesejarahan ICMI lekat dengan unsur birokrasi kekuasaan. Mendukung kepemimpinan Jokowi bukan berarti ICMI berpolitik praktis, apalagi disebut sebagai ajang mencari keuntungan politik, tetapi inilah strategi genuine yang sedang dijalankan ICMI ditengah derasnya isu yang belakangan semakin menjurus pada upaya mendiskreditkan pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo. ICMI, tentu saja menjaga sikap akomodatif terhadap kekuasaan, bukan dalam rangka “membela” dengan mencari berbagai keuntungan politik secara membabi-buta.

Saya justru mengapresiasi pernyataan Jimly Asshidiqie yang akan mengusung kembali Presiden Joko Widodo agar dapat melanjutkan kepemimpinannya dalam dua periode. Alasan yang diungkapkan Jimly, setali tiga uang dengan arah pemerintahan Jokowi yang mendukung aspek moderatisme Islam yang sejauh ini jelas digaungkan organisasi semacam ICMI. Terlebih, ICMI merupakan sekumpulan cendekiawan muslim yang sudah seharusnya mewujud sebagai para “creator” bagi dinamisasi pemikiran Islam, ditengah arus deras “konservatisme” agar Islam kembali pada posisi kesejarahan masa lalu yang jumud dan stagnan. Keberadaan ICMI dalam konteks ini menjadi penting—yang berbeda dengan banyak ormas Islam lainnya—karena didalamnya memiliki stok sumber daya yang mumpuni dalam rangka membawa Islam berkemajuan, dinamis, dan progresif di Indonesia. Para teknokrat dan birokrat muslim hanya ada di ICMI, yang sulit ditemukan dalam organisasi berbasis Islam lainnya. Jadi, masih bermasalah dukungan ICMI terhadap kemimpinan Jokowi?      

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB