x

Iklan

Fachrul Khairuddin

Akuntan & Blogger
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Politik dari Empat Abdullah Terbaik di Jaman Nabi

Orang yang menguasai Qur'an dan Hadits pun bisa memiliki perbedaan pandangan dan sikap dalam urusan politik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada jaman Nabi Muhammad, ada empat sahabat muda Nabi yang bernama Abdullah. Mereka adalah Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Zubair bin Awwam.

Keempat Abdullah tersebut semuanya sahabat Nabi. Tiga di antaranya bahkan keluarga dekat Nabi. Abdullah bin Umar adalah ipar Nabi karena bersaudara kandung dengan salah satu istri Nabi, Hafsah bintu Umar. Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Zubair adalah keponakan Nabi karena ibu dari keduanya bersaudara kandung dengan Maimunah dan Aisyah, dua istri Nabi yang lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keempat Abdullah tersebut semuanya penghapal Qur'an. Setelah Nabi wafat, mereka menjadi bagian dari panitia pengumpulan ayat-ayat Qur'an dan pembukuannya. Abdullah bin Zubair terpilih menjadi ketua panitia.

Keempat Abdullah tersebut juga penghapal hadits. Abdullah bin Umar (meriwayatkan 2.630 hadits) dan Abdullah bin Abbas (1.660 hadits) bahkan masuk dalam empat besar periwayat hadits bersama Abu Hurairah (5.374 hadits) dan Anas bin Malik (2.266 hadits).

Bisa disimpulkan, keempat Abdullah tersebut adalah generasi terbaik Islam di jamannya. Mereka hidup dan dekat dengan Nabi, menguasai Qur'an dan hadits. Namun ada yang menarik, mereka ternyata berbeda pendapat dan sikap dalam satu urusan, yaitu politik.

Perbedaan Politik Pertama

Semuanya berawal ketika Ali bin Abi Thalib naik menjadi Khalifah menggantikan Utsman bin Affan yang wafat ditikam pemberontak. Ummat Islam kala itu menginginkan Khalifah Ali memroses hukum para pemberontak itu, namun proses hukum berjalan lambat.

Dalam perjalanannya, muncullah hoax: Khalifah Ali difitnah punya keterkaitan dengan kematian Khalifah Utsman, makanya proses hukum berjalan lambat. Mendengar hoax tersebut, ummat Islam terpecah, termasuk keempat Abdullah. Ada yang melawan (kontra) Ali; ada yang memihak (pro) Ali.

Abdullah bin Zubair memilih kontra Ali. Turut bersamanya tokoh-tokoh Islam senior: ayahnya Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Muawiyah bin Abu Sofyan, dan istri Nabi Aisyah bintu Abu Bakar. Di sisi lain, Abdullah bin Abbas memilih pro Ali; dia bahkan menjadi Komandan Tentara Kekhilafahan Ali.

Dua Abdullah lain, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Amr, memilih diam dan bersikap netral. Abdullah bin Amr bilang, "Rasulullah telah mengamanatkan kepadaku agar tidak menaruh pedang di leher orang Islam untuk selama-lamanya."

Pertikaian pihak kontra dan pro Ali akhirnya berujung pada perang pertama antarsesama Muslim. Dalam perang yang dinamai Perang Jamal itu, ribuan Muslim menjadi korban, salah satunya Zubair bin Awwam, ayah Abdullah bin Zubair.

'Tak berhenti sampai disitu, pertikaian kemudian berlanjut ke perang kedua, yaitu Perang Shiffin. Ribuan Muslim kembali menjadi korban. Ujung dari perang Shiffin adalah diadakannya perundingan untuk mendamaikan kedua belah pihak. Hadir sebagai juru damai adalah Abdullah bin Amr.

Meskipun perdamaian telah terwujud, pertikaian tetap terjadi. Pihak yang membenci Ali secara berlebihan (cikal bakal Khawarij) dan yang memuja Ali secara ekstrim (cikal bakal Syiah) terlanjur eksis. Akhirnya, Khalifah Ali pun tewas ditikam oleh seorang Khawarij.  

Perbedaan Politik Kedua

Setelah Khalifah Ali wafat, anaknya Husein bin Ali tampil menggantikannya. Namun 'tak lama dia menjabat, Muawiyah bin Abu Sofyan yang memiliki kekuatan politik sebagai Gubernur Syam naik menggantikannya. Maka dimulailah era Dinasti Umayyah.

Entah lobi-lobi apa yang disampaikan Muawiyah bin Abu Sofyan kepada Husein bin Ali sehingga terjadi penyerahan jabatan Khalifah. Sejarahwan menduga, Muawiyah bin Abu Sofyan berjanji akan menyerahkan jabatan itu kembali kepada keluarga dekat Nabi (ahlulbait) setelah dia 'tak lagi menjabat.

Namun, sesaat sebelum wafat, Muawiyah ternyata mewariskan kepemimpinannya kepada anaknya Yazid bin Muawiyah. Hal tersebut membuat marah para ahlulbait, seperti Husein bin Ali, termasuk Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar. Pertikaian pun kembali terjadi.

Lobi-lobi kembali dilakukan Khalifah Yazid, sebagaimana yang dilakukan ayahnya dulu. Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas luluh dan memilih berbaiat, sedangkan Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair memilih memberontak. Perang pun 'tak terhindarkan.

Dalam sebuah perang yang tidak seimbang di Karbala, pasukan pemberontak yang dipimpin Husein bin Ali 'tak kuasa melawan tentara Kekhilafahan Yazid. Pemberontak pun kalah. Husein bin Ali terbunuh; kepalanya dipenggal dan dihadapkan ke Khalifah Yazid.

Sepeninggal Husein, pemberontakan dilanjutkan oleh Abdullah bin Zubair. Hingga Dinasti Umayyah dipimpin Khalifah Abdul Malik bin Marwan, pemberontakan tetap berjalan. Hingga pada suatu momen, Tentara Kekhilafahan Abdul Malik yang dipimpin Al Hajjaj bin Yusuf mempersekusi Abdullah bin Zubair di rumahnya di Mekkah. Abdullah bin Zubair pun akhirnya wafat terbunuh.

Sementara itu, tiga Abdullah lainnya, hidup damai dalam naungan ilmu Islam hingga akhir hayatnya masing-masing.

Ikuti tulisan menarik Fachrul Khairuddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler