x

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apa yang Telah Ditentukan Tuhan

Cinta. Jodoh. Apakah memang merupakan takdir yang tak terelakkan, atau pilihan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kebelet kencing. Ya, kisahmu ini bermula dari kebelet kencing

Rasa yang datang tiba-tiba mencengkeram pantatmu, meremas, menggoda dan menyiksa sekujur tubuh. Segera bertumpu ke pangkal paha, menggerogoti si kecil.

Kamu berada di taman terminal bus. Gerombolan manusia di mana-mana. Klakson mobil bersaing dengan musik dangdut sumbang yang dimainkan sekelompok pengamen. Kamu bergegas ke belakang sebuah bus. Tanah basah dan bau pesing menguar menusuk hidung. Tapi kamu sudah tak tahan lagi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melepaskan retsleting celana, menariknya ke bawah dan mengangkat baju kaus untuk menurunkan celana dalam, semuanya dilaksanakan dalam lima detik. Mata tertutup, bibir berkedut-kedut, tangan menarik 'itu' keluar, naik turun. Menggigil lega.

Setelah selesai dengan urusan hajat kecil kamu menoleh dan melihat dia, berdiri tak jauh darimu. Mencengkeram ransel kecil ungu. Menatapmu.

Terkejut dan malu, kamu segera berlalu dari sana dengan muka lebih merah dari kepiting masak saus Padang.

***

Kamu cemas karena melihatnya berdiri di samping tempat duduk saat kamu dan penumpang lainnya masuk ke dalam bus AKAP.

"Ini kursi nomor 9?" dia bertanya pada seorang penumpang yang mendorong tasnya ke kompartemen di atas tempat duduk.

"Betul," sahut yang ditanya.

Nomor kursi di karcismu 10.

***

Satu jam perjalanan. Kalian berdua tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kadang-kadang kamu melirik sekilas, mencuri lihat. Dia duduk bersandar dengan mata tertutup. Tidur, mungkin. Gawaimu membunyikan nada pesan masuk. Saat meraih saku, roda bus masuk ke dalam lubang.

Caci maki dan nama Tuhan mengisi ruang bus.

"Sopir, santai dong!" teriak seseorang.

Kamu memeriksa pesan di gawai.

"Diskon..."

Kamu menggeram dan memasukkan benda itu kembali ke dalam saku.

"Sopir ini," dia berkata, "membahayakan nyawa penumpang."

Kamu tidak tahu dia berbicara denganmu atau bukan. Maka kamu diam saja.

"Aku tak menyalahkan sopirnya," sahut seseorang dari belakang. "Pemerintah kerjanya enggak bener. Lubang jalanan kok dibiarin."

"Sedikit-sedikit salah pemerintah," balasnya. "Apa sopir tidak bisa melihat lubangnya? Saya yakin kalau saya yang jadi sopirnya, saya bisa menghindari lubang tadi."

Seorang gadis mengemudikan bus? Kamu tersenyum. Perempuan selalu mengira mereka bisa melakukan apa saja.

"Aku setuju," mulutmu berkata.

Dia melihat kamu seolah untuk pertama kalinya dan tersenyum.

"Apa yang kamu setujui?"

"Kamu pasti lebih baik dalam hal mengemudi"

Dia tertawa. Hangat dan merdu di telinga.

"Itu bukan pujian," katamu.

"Saya tahu. Kamu terdengar jujur."

"Aku?"

"Iya."

"Bagaimana mengetahui ‘seseorang terdengar jujur’?"

"Ada ketegasan yang tulus dalam suara kamu."

Kamu tersenyum.

"Terima kasih. Dan maaf tentang tadi. "

Dia berpaling ke arahmu.

"Tadi apa?"

"Kamu tahu ... di taman tadi."

"Saya tak mengerti."

"Kamu tahu ... apa yang terjadi di taman di belakang bus. "

"Apa yang terjadi di taman?"

Kamu menatapnya bagai orang tolol. Apakah dia berpura-pura supaya kamu tak malu? Atau kamu salah orang?

"Apa yang terjadi di belakang bus?" desaknya.

"Aku... aku... maaf. Kurasa aku salah orang."

"Oh."

"Maaf."

"Tidak apa-apa," katanya. "Hal semacam ini sering terjadi, kok."

"Hal macam apa?"

"Kamu tahu, salah orang."

Dia tersenyum sekarang.

"Ya, kamu benar."

Kamu balas tersenyum. "Terima kasih."

"Ah, mengapa kamu berterima kasih pada saya?"

"Terima kasih atas pengertiannya."

Dia terkekeh.

"Terima kasih kembali."

Kalian berdua tertawa.

***

 

Dia memberitahumu namanya. Qisma.

"Apa artinya?"

 

"Takdir. Apa yang telah ditentukan Tuhan tak dapat diubah. "

"Nama yang indah."

"Terima kasih. Kamu tinggal di mana?"

"Bandung. Kamu?"

"Bandung juga. Saya mau ke rumah tante di Kebayoran. Saya ke sana sebulan sekali."

"Oh," katamu.

"Dan kamu?" tanyanya. "Ada apa ke Jakarta?"

"Orang tuaku. Sudah lama tak pulang. Aku merindukan mereka. "

"Hmmm. Anak yang baik. Orang muda sekarang jarang yang ingat orang tua. Sepertinya kita semua sibuk ... terlalu sibuk. "

"Betul. Betul. Betul."

"Saya yakin orangtuamu sangat menantikan kedatanganmu."

"Aku harap begitu."

"Jangan khawatir," katanya sambil tersenyum. "Aku yakin itu. Jadi kamu ... masih mahasiswa?"

"Mahasiswa? Apakah aku terlihat muda?"kamu bertanya cemas.

"Bagaimana aku bisa tahu?" balasnya sambil tertawa. " Jadi, aku tanya lagi: Apakah kamu masih kuliah?"

"Tidak, tante," katamu dengan nada sarkasme ."Aku seorang konsultan keuangan."

"Oh. Kapitalis. Kuharap kamu tidak sedang memikirkan grafik atau tabel saat ini."

Kamu tertawa

"Tidak. Kamu sendiri? Kamu justru terlihat seperti mahasiswi magang."

"Kamu kira begitu?"

"Jadi betul?"

"Pernah. Lima semester. Tak punya biaya."

"Oh …"

"Tapi saya tak pernah berhenti belajar. Meskipun bukan di dalam kelas, saya terus masih belajar. Seperti sekarang ini, saya belajar tentang kamu."

Kamu tersenyum.

"Kalau ada kesempatan, apakah kamu mau melanjutkan kuliahmu? Maksudku, jika ada uang..."

"Tentu saja, mengapa tidak? Jika ada kesempatan saya akan melanjutkan kuliah saya."

"Bagus. Mudah-mudahan kesempatan itu akan datang."

Kamu berdoa semoga kesempatan itu datang. Dia mengangguk, bagai mengaminkan doamu. Jeda sejenak yang membutamu takut dia akan tenggelam dalam keheningan lagi.

"Sudah pernah nonton video persekusi ustaz baru-baru ini?"

"Tidak," katanya. "Tapi saya ada mendengarnya. Sangat mengejutkan, bukan?"

"Betul," katamu. "Aku selalu mengira bangsa kita adalah bangsa yang damai."

"Ha! Dunia semakin kacau."

"Sedih. Aku juga melihat foto-foto anak Palestina ditembak oleh tentara Israel. Aku punya fotonya di—"

"Tidak terima kasih. Aku tidak sanggup melihat yang begituan."

"Mengapa?"

Hening sejenak, sebelum akhirnya dia tersenyum. Sambil menggelengkan kepalanya dia berkata:

"Kamu takkan percaya jika aku memberi tahumu.”

"Aku ingin tahu."

***

Momen yang takkan pernah terlupakan adalah saat kamu mengajak Qisma menemui orang tuamu.

Larut malam, ketika kamu yakin dia sudah tidur nyenyak, kamu ingin menyampaikan kabar tersebut. Sebelum itu, Mami telah berulang kali bertanya: Siapa dia? Siapa namanya? Apakah dia temanmu? Apa yang dia lakukan di sini bersamamu? Apakah kamu sudah buta?

Kamu meminta Mami untuk bersabar. Kamu akan menjawab semuanya pada waktunya.

Mami yang pertama memecahkan kesunyian yang mengungkung udara ruang keluarga saat kamu memberi tahu Papi dan Mami tentang niatmu. Dia melompat berdiri dan menggelengkan kepalanya dan berteriak:

"Tidak, tidak, tidak ... Tidak mungkin Mami membiarkanmu membuat malu keluarga ini.”

Kamu meminta Mami untuk tenang, agar tidak membangunkan dia, tamu di rumah di rumah orangtuamu. Mami menjawab:

"Persetan denganmu dan tamumu itu!"

Papi, setelah berhasil menggerakkan lidahnya yang kelu, bertanya apa yang salah denganmu. Dia bertanya apakah kamu tidak bisa menemukan gadis-gadis yang lebih baik di Bandung, gadis-gadis yang, katanya, lebih baik daripada yang kamu bawa pulang. Dia bilang, dia kecewa denganmu.

Kamu membiarkan kata-kata kasar mereka merasuk ke dalam benakmu, sebelum menjawab bahwa kamu banyak bertemu gadis-gadis lain, bahkan kamu lupa jumlahnya, dan mereka semuanya menginginkanmu.Tapi bukan mereka yang kamu cintai. Cintamu adalah Qisma.

"Papi dengar?" tanya Mami sambil menuding ke arahmu. Suaranya bergetar.

"Papi dengar sampah yang dimuntahkannya?"

Papi menggeleng

"Papi kecewa."

***

Orang tua Qisma menerimamu dengan baik. Ayahnya meraih tanganmu seolah-olah dia sedang menjabat tangan presiden. Ibunya bernyanyi dan menari-nari meminta tetangga, baik teman maupun musuhnya untuk datang dan melihatmu. Kamu, katanya, adalah anugerah yang telah dikirimkan Tuhan untuk menghapus kesengsaraan mereka. Kamu merasa diperlakukan sebagai barang berharga, sesuatu yang tadinya tak pernah mereka bayangkan akan mereka miliki.

"Kamu lapar?” tanya ibunya saat membimbingmu melalui lorong sempit dan gelap menuju ke rumah mereka. "Saya akan menyiapkan sesuatu untukmu."

Kamu ingin menjawab: tidak perlu repot-repot. Bahwa kamu telah makan sebelum ke sini, tapi dia pergi terburu-buru bersama putrinya sebelum kamu mengeluarkan sepatah suku kata.

"Saya telah mendengar begitu banyak hal baik tentang Anda." Kata ayahnya. Dia tersenyum padamu.

Kamu balas tersenyum.

"Senang mendengarnya."

"Anda orang yang baik," katanya. "Tidak banyak berani mengambil keputusan seperti yang Anda lakukan. Saya orang sepertimu, saya tahu seberapa keras keputusan yang Anda ambil ini. "

"Terima kasih pak, aku—"

"Apakah kamu mau makan ikan cue?" kepala ibunya muncul di pintu.

"Tentu saja, bu," jawabmu.

"Ah."

Wajahnya cerah. Kepalanya menghilang ke balik pintu dan kamu membayangkan dia tergesa0gesa kembali ke dapur. Dapur yang telah dikatakan putrinya berada di belakang, berhadap-hadapan dengan jamban.

Kamu mengekang gejolak dalam perutmu.

Pengorbanan.

Bukankah cinta adalah pengorbanan?

***

Cinta bukan tentang pengorbanan, akalmu memberi tahumu. Cinta seharusnya tentang kompromi: membuat orang tua bahagia dengan mengikuti kemauan mereka, menyelamatkan muka keluarga dari gangguan pertanyaan yang memalukan para mitra, yang menyesatkan perasaanmu dan membiarkanmu merasakan luka terhina yang menganga. Setengah dari dirimu mengatakan utamakan cinta untuk diri sendiri.

Tapi separuh hatimu yang lain mengingatkanmu pada Qisma. Perasaanmu untuknya. Apa yang tak bisa dia lakukan untukmu seumur hidup.

Kamu menghela napas panjang.

Kamu menghubungi KUA. Kemudian menghubungi Tatya Wedding Planner .

Tidak akan ada pernikahan.

 

Bandung, 13 Desember 2017

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler