x

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Para Pembaca Buku Bicara

Pembaca buku tidak boleh terganggu mood dan emosinya, agar buku yang dihasilkan memiliki sensasi yang dapat dinikmati Tunanetra.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mbak Indah, begitu saya memanggilnya, selalu menyapa ramah setiap kami bertemu di lorong musholla di Yayasan Mitra Netra, ketika waktu sholat tiba. Dia selalu terdengar terburu-buru seusai menyapa saya atau ketika aktivitas sholat selesai dilakukan. Pemilij suara berartikulasi jelas ini mampu memberikan pengertian kepada saya yang Tunanetra, bila si empunya suara sedang banyak pekerjaan. Ia selalu menyertakan permintaan maafnya, bila harus meninggalkan saya di tengah percakapan, karena tugasnya.

 

Saya sempat bertanya-tanya, mengapa Mbak Indah selalu terburu buru di kantornya yang menurut saya tidak terlalu besar. Dan saya baru mendapatkan jawabannya kemarin. Mbak Indah, merupakan salah satu pembaca buku digital atau dikenal dengan nama Digital Talking Books (DTB) di Yayasan Mitra Netra. Sekilas, orangmungkin berpikir, pekerjaannya enak sekali. Membacabuku buku dan merekamnya. Kenyataannya, memang enak tapi beban dan tanggung jawab Mbak Indahberton ton pula beratnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

“Satu buku itu tidak bisa dibacakan sembarangan, harus dijaga konsistensisuara, dialek dan sampaihalaman terakhir,” ujar Mbak Indah, di suatu sore,usai saya mengikutikursus komputer untuk Tunanetra di lembaga tersebut. “Bila konsistensi itu tidak dijaga, akan sulit nantinya, terutama untuk proses editing,” ujar Mbak Indah.

 

Pembacaan buku yang tidak direkam secara baik sama saja usaha sia-sia. Buku malah jadi tidak dapat terpakai karena hasil akhirnya berantakan. Buku juga harus dibacakan di sebuah studio kedap suara. Proses perekamannya pun menggunakan alat digital recording yang terintegrasi dengan sistem perpustakaan elektronik di Mitra Netra. Karena itu, demi menjaga kosistensi suara pada buku digital ini, Mbak Indah, tidak menyarankan peergantian orang dalam satu proses pembacaan buku.

 

Selama seharian, Mbak Indah atau koleganya staf pembaca di Yayasan Mitra Netra, Mbak Yuni dikurung dalam studio kecil kedap suara. Bila bukan orang yang sabar atau konsisten saya rasa, tidak akan sanggup menjalani pekerjaan tersebut. Hebatnya, Mbak Indah dan Mbak Yuni sendiri yang mengedit hasil rekaman mereka. Tentu kedua tugas ini tidak mudah bukan? Apalagi bila buku yang akan dibacakan mengantri panjang.

 

Dan di suatu siang, saya yang diajak mengunjungi studio pembacaan buku digital dibuat tercengang. Pasalnya, daftar buku yang akan dibacakan bukan satu atau dua buku. Saya memang tidak dapat menghitung jumlahnya. Tapi ketika saya raba, buku yang mengantri selebar meja makan. Dari atas ke bawah sekitar ratusan buku.

 

Lalu siapa yang menitipkan buku buku tersebut? Adalah klien Tunanetra di Yayasan Mitra Netra. Prosedurnya, teman Tunanetra memasukkan buku ke staf perpustakaan, untuk diteruskan keapada Mbak Indah atau Mbak Yuni. Lalu oleh divisi mereka, buku buku tersebut dibacakan sambil direkam suaranya. Proses perekaman dapat berlangsung lebih dari satu hari. Karena jumlah buku sangat banyak, sedangkan sumber daya terbatas, maka buku yang sudah masuk harus antri dibacakan.

 

Proses pembacaan buku tidak boleh sembarangan. Ada proses editing dan mixing seperti perekaman lagu pada umumnya. Pembaca buku juga harus pandai menjaga emosi serta mood-nya, agar pembacaan buku tidak terputus di tengah jalan. Intonasi dan dialek pembaca selama buku dibacakan juga harus konsisten. Meskipun, ada beberapa pembaca yang sempat menyertakan naik turun suara seperti drama radio, konsistensi pembacaan buku tetap diutamakan. Tujuannya, tentu agar pembaca tidak cepat lelah atau bosan, dan sensasi isi buku tetap dapat dinikmati Tunanetra.

 

 

Bahkan, pada buku yang banyak menggunakan istilah asing,pembaca buku digital tidak boleh salah pengejaan. Salah satu buku yang cukup banyak istilah bahasa asing adalah Pengantar Ilmu Hukum. Buku ini banyak dibutuhkan teman Tunanetra yang sedang menempuh kuliah hukum. Istilah hukum itu tidak hanya sebatas kata. Beberapa azas hukum berbentuk kalimat panjang. Terjemahan per katanya berbeda sekali dengan terjemahan harafiah bahasa Indonesia. Bila tidak rajin mencari referensi pengucapan, tentu buku digital jenis ini akan sulit dimengerti Tunanetra pembacanya.

 

Pekerjaan Mbak Indah dan Mbak Yuni tidak hanya sampai di situ. Sebab, mereka juga wajib teliti dalam membaca identitas buku. Semisal judul, nama penulis, penerbit, tanggal penerbitan hingga riwayat penulis harus dieja dan disebutkan secara benar. Mereka juga tidak boleh lupa, ada kepentingan Tunanetra yang harus ikut dibacakan dalam proses perekaman, agar tidak terjadi pelanggaran hak cipta. Walau sebenarnya, sudah ada undang-undang yang mengatur proses dan kepentingan pembacaan buku digital untuk Tunanetra.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler