x

Iklan

Rutmauli Hutagaol

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Optimalisasi Pelayanan Preventif dan Promotif Peserta BPJS

Slogan mencegah lebih baik daripada mengobati diakui kebenarannya oleh banyak orang. Sayangnya slogan ini hanya menjadi sebuah dongeng.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Slogan mencegah lebih baik daripada mengobati diakui kebenarannya oleh banyak orang. Sayangnya slogan ini hanya menjadi sebuah dongeng. Pelayanan BPJS dan politik anggaran kesehatan terbukti bias pada pelayanan kesehatan kuratif. Sedangkan optimalisasi pada pencegahan dan promotif penyakit menjadi anak tiri. BPJS dan pemerintah sudah seharusnya mewajibkan kesehatan masyarakat sebagai agenda utama pembangunan kesehatan agar SDM nya semakin produktif dan dapat menghemat pengeluaran dana untuk pembiayaan kesehatan. Mengubah sasaran utama dari pelayanan kuratif ke pelayanan primer agar memberi perhatian pada orang yang memiliki resiko tinggi sakit menjadi keharusan. Mengoptimalkan pelayanan preventif dan promotif khususnya bagi masyarakat yang berpotensi memiliki penyakit degeneratif.

Kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. UUD 1945 mengamanatkan bahwa jaminan kesehatan bagi masyarakat, khususnya yang miskin dan tidak mampu, adalah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia. Hingga 27 Januari 2017 tercatat sebanyak 172,9 juta jiwa tercatat sebagai peserta JKN. Itu berarti sekitar 70% penduduk Indonesia yang menjadi anggota peserta JKN (BPJS-kesehatan.go.id).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama ini BPJS belum cukup optimal dalam memberikan pelayanan preventif dan promotif kepada pesertanya. Dalam hal ini, peserta yang memiliki resiko tinggi untuk menderita penyakit degeneratif belum mendapatkan kesempatan untuk menerima pelayanan seperti medical check up (MCU) sebagai screening dini. Sementara penyebab utama morbiditas (kondisi yang mengubah kualitas hidup dan kesehatan) dan mortalitas (kematian) adalah  penyakit seperti hipertensi, penyakit jantung atau kardiovaskuler, diabetes, kanker dan ini merupakan penyakit degeneratif. Walaupun penyakit ini beresiko untuk diturunkan bukan berarti penyakit ini tidak dapat dicegah apabila dilakukan pencegahan. Data Riskesdas tahun 2013 bahwa jumlah penduduk yang menderita hipertensi sebesar 25,8%, artinya seperempat dari penduduk Indonesia mengalami hipertensi. Kemungkinan penyakit ini akan meningkat karena pola hidup masyarakat Indonesia yang cenderung kurang menjaga kesehatan sedangkan penyakit kardiovaskuler masih termasuk dalam 10 penyakit tidak menular dengan prevalensi tertinggi (Kemenkes.RI, 2014).

Data Riskesdas tahun 2013, penyakit kanker tertinggi pada umur dewasa tua, disusul pada usia dewasa muda, dan paling rendah pada anak kelompok umur 1-4 tahun. Hal ini berarti bahwa penyakit kanker tidak memandang usia. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja, dari anak-anak sampai pada dewasa tua. Sedangkan faktor risiko penyakit kanker adalah pola hidup seperti kurangnya konsumsi sayur dan buah, kebiasaan merokok, obesitas, kebiasaan konsumsi makanan berlemak, kebiasaan konsumsi makanan dibakar/dipanggang dan konsumsi makanan hewani berpengawet. Ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan perilaku dan pola makan pada masyarakat Indonesia sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan dan promosi kesehatan yang tepat untuk meminimalisir terjadinya penyakit.

Klaim BPJS tahun 2014 untuk 4,8 juta kasus penyakit jantung mencapai RP 8,189 triliun. Tahun 2015 hingga triwulan III terdapat 3,9 juta kasus dengan total klaim Rp 5,462 triliun. Klaim BPJS  tahun 2014 untuk 894 kasus penyakit kanker mencapai Rp 2 triliun (894 ribu kasus). Tahun 2015 terdapat 724 ribu kasus dengan total klaim Rp 1,3 triliun (Widoyono, S.B, 2016). Berdasarkan biaya kesehatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyakit degeneratif menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang saat ini telah mengalami surplus kurang lebih 9 tiriliun rupiah (BPJS-kesehatan.go.id).

Masalah ini dapat dicegah dengan menerapkan gaya hidup yang sehat melalui upaya preventif dan promotif. Upaya ini dapat dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan kepada peserta BPJS sebagai screening dini bagi peserta yang memiliki resiko tinggi untuk mengalami penyakit tersebut. Pelayanan kesehatan ini bertujuan untuk meningkatkan status kesehatan dan meminimalisir terjadi gangguannya kesehatan masyarakat. Sehingga  pada akhirnya individu yang beresiko tinggi penyakit tersebut diberi edukasi dan pemeriksaan dini agar tidak sampai kepada penyakit kronis tersebut sehingga produktifitas SDM Indonesia tetap maksimal dan tidak menyedot biaya yang cukup banyak dari APBD dan Iuran BPJS. Hal ini karena biaya yang dibutuhkan untuk kuratif lebih mahal dibandingkan biaya untuk preventif (Meertens, Van de Gaar, Spronken, & de Vries, 2013).

Tidak tepatnya sasaran BPJS semakin diperburuk oleh inefesiensi alokatif dan teknis. Alokasi pelayanan kesehatan primer Indonesia sangat kecil dibandingkan negara-negara ekonomi maju. Akibatnya penggunaan pelayanan tingkat lanjut (yang butuh biaya lebih mahal) kian melambung. Ini cerminan dominasi pada pelayanan kesehatan spesialistik yang cenderung pada pelayanan kuratif.

Biaya pengobatan menyedot porsi yang cukup signifikan yaitu > 40 persen dari total biaya kesehatan. Angka ini sangat tinggi dibandingkan angka serupa disejumlah negara maju yang hanya 10-20 persen. Tingginya proporsi belanja obat oleh peresepan obat yang tidak rasional. 

Perlu Perluasan Kebijakan 

Perluasan kebijakan sangat diperlukan untuk program pemberian pelayanan kepada peserta BPJS  yang berfokus pada promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Dimana saat ini sepertinya pelayanan kesehatan kepada para peserta hanya berfokus pada pengobatan (kuratif). Sedangkan upaya promosi kesehatan dan pencegahan yang saat ini telah dilakukan terbatas seperti pemberian imunisasi dasar, pemeriksaan kehamilan, dan pemeriksaan gla darah. Jika perluasan kebijakan dilakukan, dapat memberikan dampak yang cukup signifikan dalam mengurangi biaya untuk kuratif dan perbaikan status kesehatan masyarakat. Investasi ini berpotensi menyelamatkan nyawa dan menekan anggaran.

Investasi pemberian pelayanan preventif dan promotif kepada peserta yang memiliki resiko tinggi dapat menyelamatkan penduduk dan meningkatkan status kesehatan, meningkatkan kualitas hidup, serta memperoleh manfaat ekonomi dalam bentuk pengurangan biaya perawatan dan peningkatan produktivitas masyarakat. Investasi kesehatan masyarakat meningkatkan efektivitas intervensi kesehatan lain. Intervensi kesmas menyelamatkan 90% lebih banyak nyawa daripada program dan pendekatan kuratif saja. Ini bukti pendekatan kuratif saja tidak cukup.

Meningkatkan upaya promosi dan preventif berarti menghindari 70 % dari beban penyakit (WHO 2002). Oleh karena itu, upaya pemberian pelayanan preventif dan kuratif kepada peserta BPJS dengan resiko tinggi harus diberikan untuk mencegah menurunnya produktifitas SDM Indonesia dan mengurangi penggunaan iuran BPJS yang berlebih. 

 Penulis :

Ns. Rutmauli Hutagaol, S.Kep. Mahasiswa Pasca Sarjana Peminatan Kepemimpinan Dan Manajemen Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Email: rutmauli.ht.gaol@gmail.com

Ikuti tulisan menarik Rutmauli Hutagaol lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB