x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Max Born dan Penolakan Atas Kemutlakan

Dalam perkembangan fisika modern, Max Born memberi sumbangan khas dengan mengusung pendekatan statistik ke dalam fisika.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Belum lama ini, wajah Max Born menghiasi Google Doodle. Born salah seorang fisikawan yang bersama-sama Max Planck, Niels Bohr, Werner Heisenberg, Louis de Broglie, dan beberapa nama lain membangun fisika kuantum. Awal abad ke-20 memang penuh dengan figur yang memberi kontribusi unik terhadap perkembangan fisika yang waktu itu tengah memasuki era baru—era kuantum.

Banyak gagasan menarik yang berkembang pada masa itu, sebagian di antaranya merupakan kontribusi Max Born. Fisikawan ini menggunakan pendekatan probabilitas untuk memprediksi lokasi partikel di dalam sistem kuantum. Sebelum Born mengusulkan gagasannya, para fisikawan berasumsi bahwa jika kita ingin mengetahui lokasi sebuah partikel, kita harus mengukur secara tepat dengan memakai serangkaian eksperimen fisika dan banyak kalkulasi yang rumit. Born menawarkan pendekatan baru, yakni penafsiran statistik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gagasan dasar Born seperti ini: ‘Kita dapat menghitung probabilitas keberadaan suatu partikel di tempat tertentu.’ Mengapa? Karena setiap partikel memiliki persamaan yang disebut fungsi gelombang, yang menggambarkan perubahan perilaku partikel menurut waktu. “Tidak ada kepastian yang mutlak,” kata Born menarik kesimpulan filosofis atas pemikiran fisikanya, “melainkan probabilitas.”

“Saya percaya bahwa gagasan seperti ketepatan yang mutlak dan sebagainya hanyalah khayalan imajinasi yang seharusnya tidak diterima di ranah sains apapun,” kata Born. Mekanika kuantum bukan dimaksudkan untuk membuat pengukuran yang eksak terhadap partikel gelombang, tapi lebih merupakan upaya untuk memperkirakan keberadaan partikel melalui penggunaan statistik.

Masing-masing fisikawan pada awal abad ke-20 itu memberi kontribusi yang khas. Selain Born ada Werner Heisenberg yang mengajukan Teori Ketidakpastian, lalu Niels Bohr dengan teorinya mengenai struktur atom, lalu Louis de Broglie yang mendiskusikan dualitas watak elektron sebagai partikel dan gelombang—meneruskan apa yang telah dipikirkan oleh Einstein sebagai foton atau kuanta cahaya.

Para ‘senior’ fisikawan muda ini tidak lain adalah Max Planck yang dianggap sebagai pencetus teori kuantum serta Albert Einstein yang menerapkan gagasan Planck dan menjelaskan ‘efek fotolistrik’—terbebaskannya elektron dari permukaan logam bila disinari cahaya. Planck mengajak manusia memasuki relung rahasia di dunia atom dan subatom, sedangkan Einstein—di samping kontribusinya mengenai efek fotolistrik—mengubah pemahaman manusia mengenai ruang dan waktu melalui teori relativitasnya.

Bersama fisikawan yang lebih muda, mereka mengusung gagasan revolusioner yang memberi wajah baru pada fisika. Sebelum Perang Dunia II pecah, jagat akademis Eropa memang diramaikan oleh gagasan-gagasan yang mengguncang. Bukan saja di ranah sains, tapi juga di ranah ilmu sosial, misalnya saja pikiran-pikiran yang dilontarkan para ilmuwan sosial yang kerap disebut sebagai Mazhab Frankfurt telah mengilhami banyak gerakan di berbagai belahan dunia. Di dalamnya ada nama-nama seperti Max Horkheimer, Theodor Ardono, dan Herbert Marcuse.

Perjalanan ke dalam dunia subatomik yang begitu mengejutkan telah menggelisahkan para fisikawan di awal abad 20 itu. Mereka tertegun ketika memasuki dunia atomik dan sub-atomik, yang ternyata berbeda sama sekali dengan apa yang mereka bayangkan. Di dalam dunia yang amat mikro itu tersimpan paradoks bahwa pada tingkat subatomik, zat dapat dipandang sebagai partikel dan gelombang sekaligus. Ini melumpuhkan pengertian klasik mengenai obyek. “Mungkinkah alam ini absurd sebagaimana tampak pada kita dalam eksperimen-eksperimen ini?” tanya Werner Heisenberg.

Penafsiran para fisikawan muda seperti Heisenberg, Bohr, de Broglie, maupun Born itu bahkan mengejutkan senior mereka, Einstein. Ketidakpastian Heisenberg berimplikasi pada indeterminasi yang mengejutkan Einstein, yang menggagas teori fotolistrik dan pencetus teori relativitas. Apa yang dipikirkan Einstein dan yang dibayangkan oleh generasi fisikawan yang lebih muda seakan berbenturan. Keduanya memberi gambaran yang berbeda mengenai dunia kita, dan mengalami ketegangan sebagaimana cahaya dapat dimaknai sebagai partikel dan sebagai gelombang. Tatkala realitas fisika menjadi sangat besar dan amat kecil, realitas itu seperti bukan satu, melainkan dua—dan terlihat kontradiktif.

Materi subatomik, menurut Bohr, tak bisa dipahami sebagai entitas yang mandiri, melainkan mesti dilihat dalam konteks interaksinya satu sama lain—materi, ruang, tempat, waktu. Bohr sampai kepada pemahaman bahwa dualitas itu bukanlah kontradiksi, melainkan komplementer. Partikel dan gelombang adalah manifestasi dari realitas yang sama. Bohr mengatasi kebingungan yang mereka hadapi dengan pemahaman bahwa aspek-aspek paradoksal itu sesungguhnya saling melengkapi.

Dalam sejarah pergolakan pemikiran itulah, Max Born ikut memainkan perannya dengan mengusung pendekatan statistik untuk memahami perilaku partikel. Born dan fisikawan sezamannya membuka jalan bagi kemajuan teknologi yang melahirkan antara lain laser. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler