x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Tetap Membaca Buku?

Di tengah banjir informasi, membaca buku tetap jadi kebutuhan agar kita senantiasa terjaga.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Limpahan informasi yang membanjiri kita setiap detik mendorong kita untuk membuat pilihan-pilihan tentang mana yang perlu diketahui, mana yang sebaiknya diabaikan saja, mana yang perlu dibaca, mana yang perlu didalami. Pada akhirnya, kita harus membuat prioritas. Namun, daya tarik Twitter, Instagram, dan Youtube yang demikian kuat kerap membuat kita abai pada apa yang mestinya tak boleh terlewatkan: membaca buku.

Di tengah banjir informasi yang demikian berlimpah, untuk apa tetap membaca buku? Bukankah pengetahuan juga dapat diambil dari tulisan yang bertebaran di berbagai situs. Tidak, tidak cukup. Membaca buku bukanlah sekedar mengambil pengetahuan, melainkan lebih dari itu: kedalaman dan kearifan. Di dalamnya terdapat sudut pandang dan wawasan yang ditopang oleh perenungan panjang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di halaman-halaman yang panjang, penulis buku berbagi pemahamannya atas sesuatu: alam semesta, manusia, sejarah, bisnis, ataupun berkebun. Penulis buku yang baik, sepanjang yang saya tahu, berikhtiar menarik pelajaran dari apa yang kemudian ia tuturkan panjang dan lebar itu. Mereka berbagi pemahaman kepada siapapun dan menuangkannya ke dalam buku dengan sepenuh hati. Mereka menyingkapkan yang tersembunyi.

Dalam bukunya, The Undivided Past: Humanity Beyond Our Differences (2013), umpamanya, sejarawan David Cannadine menyusuri bentuk-bentuk solidaritas manusia yang paling bergema dalam sejarah karena solidaritas ini ditemukan dan diciptakan, dibangun dan dipertahankan, dipertanyakan dan ditolak, selama berabad-abad dan melingkupi seluruh belahan dunia. Lebih dari itu, karena bentuk-bentuk solidaritas ini telah mendefinisikan hidup manusia, melibatkan emosi, dan memengaruhi takdir individu-individu yang tak terhitung jumlahnya. Itulah agama, bangsa, kelas, gender, ras, dan peradaban.

Pertikaian antar manusia, kata Cannadine, dikarenakan manusia lebih sering menekankan perbedaan ketimbang persamaan. Sayangnya, para penguasa dan raja-raja memerlukannya agar tetap dapat memerintah. Penguasa, kata Cannadine, memaksa para sejarawan untuk bertindak sebagai pelayan bagi proyek-proyek politik dan menulis sejarah seperti yang penguasa kehendaki. Padahal, ujar sejarawan Princeton University ini, pengelompokan manusia atas dasar kelas, agama, ras, gender, bangsa, ataupun peradaban bukanlah bagian terpenting dalam sejarah manusia. Kesamaan dan kerja sama justru lebih penting.

Sebagai pembaca, siapapun boleh setuju atau menolak apa yang dituangkan penulis dalam buku mereka. Namun kita akan selalu menemukan ketulusan pada banyak penulis apabila mereka memang menuangkannya dengan sepenuh hati. Mereka tidak akan menyembunyikan motif dan prasangka buruk di balik kalimat-kalimat yang rumit. Cannadine, misalnya, berusaha menunjukkan betapa penulisan sejarah selama ini lebih menekankan perbedaan ketimbang persamaan di antara masyarakat manusia. Ia terusik benar oleh sikap-sikap yang menegaskan penarikan garis antara ‘kami’ dan ‘mereka’ yang kerap memicu konflik.

Pemahaman Cannadine tentang konflik antarmanusia, yang didasarkan atas riset mendalam, adalah salah satu alasan mengapa saya merasa penting membaca karyanya. Menemukan kedalaman, menyerap kearifan, serta meluaskan horison pandangan adalah sebagian dari kebaikan yang kita peroleh dari membaca buku. Kebaikan inilah yang tetap kita perlukan agar kita tetap terjaga di tengah banjir informasi. (Sumber foto ilustrasi: today.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler