x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Beragam Alasan Mendukung Perjuangan Palestina

"Dari 10 penderitaan dunia, 9 di antaranya berada di Jerusalem, dan cuma satu penderitaan yang dibagi kepada bagian dunia lainnya".

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam Kitab Talmud disebutkan: “Bahwa dari 10 ukuran kecantikan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada dunia, 9 di antaranya diberikan khusus kepada Jerusalem, dan hanya satu ukuran kecantikan yang dibagi untuk bagian dunia lainnya”. Tapi saat ini, menurut the Economist, edisi 7 Desember 2017, kondisi yang digambarkan Talmud itu telah berubah makna seratus delapan puluh derajat: “Dari 10 penderitaan dunia, 9 di antaranya berada di Jerusalem, dan cuma satu penderitaan yang dibagi kepada bagian dunia lainnya”.

Sejak Donald Trump menekan “Trump Declaration” yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota negara Israel, pada 6 Desember 2017, di berbagai negara muncul kemarahan kepada Amerika dan Israel, sekaligus dukungan publik besar-besaran kepada perjuangan Palestina, terutama di negara-negara Islam. Tapi kalau dicermati, dukungan kepada perjuangan Palestina itu tidak satu warna, bukan berangkat dari alasan ideologis yang sama.

Lantas tidak bisa juga dan akan sangat keliru kalau menyamakan aksi massa di kota Brasilia, ibukota Brazil atau di Eropa dengan aksi massa yang digelar di lapangan Monas Jakarta pada 17 Desember 2017.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti diketahui, perjuangan Palestina pada umumnya diklaim sebagai perjuangan nasionalisme yang berbasis sekuler. Gerakan Al-Fath yang dulu dipimpin Yasser Arafat, sebagian aktivisnya adalah non-Muslim. Otorita Palestina yang kini dipimpin Masoud Abbas (Abu Maazin), sebagian besar funsionarisnya adalah dari unsur Al-Fath. Dan sejak awal pembentukannya, Al-Fath tidak pernah mengklaim sebagai gerakan yang berbasis keislaman.

Sebagai catatan, Israel memang tidak mau dan selalu berusaha agar perjuangan kemerdekaan Palestina tidak berbasis ideologi Islam, dan agar tidak didominasi oleh kelompok yang berbasis Islam.

Selain itu, berdasarkan Oslo Accord 1993, yang memberikan wewenang terbatas kepada pihak Palestina di Tepi Barat, melalui pemerintahan Palestina yang disebut Otorita Palestina yang berkantor di Ramallah, konon ada sebuah klausul rahasia yang menegaskan bahwa Otorita Palestina tidak boleh lagi berjuang dengan mengangkat senjata. Tidak heran, Presiden Palestina Abu Maazin, berkali-kali menegaskan bahwa perjuangan Palestina lebih efektif lewat jalur diplomasi (catatan: sebenarnya poin inilah yang menjadi perbedaan utama antara Otorita Palestina dengan kelompok Hamas).

Tentu, faktor ideologi keislaman dalam perjuangan kemerdekaan Palestina, sepanjang sejarahnya, tak pernah bisa dinegasikan karena sejumlah alasan obyektif. Meski begitu, agar dukungan tidak salah alamat, perlu juga dicermati beberapa catatan berikut:

Pertama dan utama, perjuangan kemerdekaan Palesina memang tidak bisa dinegasikan basis keislamannya. Sebab di Jerusalem terdapat Masjid Al-Aqsa (Tanah Suci ketiga umat Islam, setelah Makkah dan Madinah) dan juga Qubbah Shakhrah (Dome of the Rock), yang menurut keyakinan umat Islam merupakan titik pemberangkatan Nabi Muhammad saw ke langit Sidratul-Muntaha dalam peristiwa Isra Mi’raj (catatan: penganut Yahudi dan Kristen tentu tidak meyakininya).

Kedua, sejauh ini, berdasarkan penelitian arkeologi, tak satupun situs Yahudi yang ditemukan di Jerusalem. Sebagian orang Yahudi berkeyakinan bahwa Sulaiman Temple (Haikal Sulaiman) tertimbun persis di bawah Dome of the Rock. Karenanya, ketika beribadah sambil menangis di "Tembok Ratapan", orang-orang Yahudi menghadapkan wajah mereka ke lokasi Dome of the Rock. Tapi sejauh ini belum terbuktikan di mana persisnya letak Haikal Sulaiman tersebut.

Ketiga, salah satu kelompok Palestina yang hingga saat ini masih getol dan bertahan dengan perjuangan bersenjata melawan pendudukan Israel adalah Hamas (bersama kelompok Al-Jihad Al-Islami dan Hezbullah di Lebanon). Persoalanya, wilayah kekuasaan Hamas lebih eksis di Jalur Gaza. Pengaruh Hamas tidak terlalu kuat di wilayah Tepi Barat, yang sekali lagi didominasi oleh Al-Fath.

Keempat, salah satu kritik tajam yang sering dialamatkan kepada Al-Fath (Ororita Palestina) adalah kenapa kalian berjuang dengan ideologi berbasis sekuler, sementara Israel menduduki Tanah Palestina dengan menggunakan alasan-alasan yang berbasis agama Yahudi. Namun kritik ini juga ada bantahannya: sebab seluruh pemerintahan Israel, sejak berdiri 1947 hingga saat ini, juga didominasi oleh orang Yahudi yang mengklaim diri berbasis sekuler. Lalu dibantah lagi, bahwa klaim sekuler pemerintahan Israel sebenarnya hanya kedok saja. Sebab di hati kecil paling dalam orang-orang Yahudi, yang  berjuang dan mempertahankan Jerusalem dan Tanah Palestina lebih karena alasan idelogis yang berbasis agama Yahudi.

Kelima, sering terjadi mis-komunikasi atau pemahaman keliru di kalangan umat Islam di berbagai dunia Islam, termasuk di Indonesia: sangat antusias mendukung perjuangan Palestina dengan alasan ideologi yang berbasis Islam, sementara pengendali perjuangan Palestina sendiri (baca: Otorita Palestina yang didominasi oleh unsur Al-Fath, yang diakui Israel dan Amerika sebagai mitra runding) justru memposisikan diri sebagai gerakan perjuangan yang berbasis sekuler.

Keenam, meskipun inti konflik di Timur Tengah adalah Jerusalem/Quds, namun kalau dicermati kronologisnya selama sekitar 60 tahun terakhir (1947 sd 2017), isu Palestina telah mengalami pergeseran signifikan. Dan pergeseran ini sering kurang dipahami oleh para penudukung Palestina di berbagai dunia Islam.

Sejak Perang 1948, Perang 1956, Perang 1967 sampai Perang 1973, konflik di Jerusalam masih disebut “konflik Arab-Israel”. Sebab pada periode itu, kekuatan negara-negara Arab, plus muatan atau sentuhan keIslamannya, relatif masih bersatu melawan Israel.

Ketika Mesir menandatangani perjajanjian Camp David tahun 1979, konflik mengalami semacam down-grade. Tidak bisa lagi disebut “konflik Arab-Israel”, karena dunia Arab sudah terpecah. Sejak saat itu, konflik Jerusalem lebih sering disebut konflik “Palestina-Israel”.

Setelah 1993, tepatnya setelah Palestina pun meneken perjanjian Oslo Accord, konflik dalam pengertian bersenjata, tidak bisa lagi disebut “konflik Palestina-Israel”. Sebab pihak Palestina, melalui Oslo Accord, sebenarnya sudah menerima "Solusi Dua Negara". Dan Otorita Palestina secara praktis telah menghentikan perjuangan bersenjata. Semua faksi Palestina tidak bisa lagi bersatu: khususnya pada poin apakah perjuangan bersenjata terus dipertahankan atau lebih fokus pada perjuangan politis/diplomatis.

Dengan begitu, kalau konflik di Jerusalem disebut sebagai "konflik Umat Islam vs Israel", jelas tak diterima oleh Otorita Palestina (yang sekali lagi lagi perjuangannya berbasis sekuler). Menyebut konflik Jerusalem sebagai konflik umat Islam vs Israel/Yahudi sebenarnya bisa dipahami untuk kembali mendown-grade perjuangan Palestina menjadi hanya "konflik Israel vs Hamas (bersama Al-Jihad Al-Islam dan Hezbullah)".

Singkat kalimat, mendukung perjuangan yang bertujuan membebaskan Masjid Al-Aqsa dan Qubbah Shakhrah dari kontrol Yahudi adalah cita-cita luhur semua lapisan umat Islam. Tapi pada saat yang sama, agar dukungan itu tidak salah alamat, perlu juga memahami kompleksitas persoalan atau isu Jerusalem/Quds.

Syarifuddin Abdullah | 18 Desember 2017 / 30 Rabiul-awal 1439H

Sumber foto: Suasana Aksi Bela Palestina yang digelar massa dari PKS di depan Kedutaan Besar Amerika, Jakarta, 10 Desember 2017. TEMPO/Amston Probel

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler