x

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bila Pengendara dan Penumpang Ojek Online Sesama Disabilitas

Setiap penyandang cacat memiliki kemampuan untuk menjalani pekerjaannya, walau dengan tehnik tertentu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengendara ojek online itu memberi kode ke ponsel saya bila lima menit lagi akan sampai. Dalam keterangan profilnya, tidak disebutkan ciri khusus dari pengendara, kecuali performa kuantitas dalam melakukan perjalanan. Di aplikasi ojek online hanya tertera nilainya cukup baik 4.66 dan sudah melakukan sekitar 900 lebih peerjalanan.

Saya tidak tahu menahu, bila ternyata pengendara bernama Fathoni Jarkasih, 29 tahun itu adalah penyandang disabilitas daksa satu kaki. Saya baru menyadari ketika ibu dan beberapa orang kantor memberitahu. Ketika menaiki motornya, tidak ada rasa yang berbeda, kecuali keseimbangan yang agak goyah. Maka setelah itu, perjalanan saya ke kantor diisi obrolan akrab sesama penyandang disabilitas, baik penumpangnya maupun pengendara motornya.

“Saya mengalami kecelakaan di daerah Lamongan, ketika akan mengantar teman ke Surabaya,” ujar Thoni. Kecelakaan yang mengambil kaki kanannya itu terjadi di tahun 2009. Saat itu, motor yang ditumpanginya masuk ke kolong truk gandeng. Meski saat itu, Thoni baru berusia 19 tahun, ia sudah sering bolak balik Jakarta – Surabaya dengan motor. Tapi, faktor lelah, mengantarkan Thoni pada nasib naasnya sore itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat itu, tujuan ia bolak balik Jakarta-Surabaya bukan untuk main, melainkan kerja sebagai penyanyi campur sari. “Saya sering dipanggil untuk mengisi di daerah terpencil di Jawa Timur, walau hanya acara kecil kecilan dan  honornya tidak seberapa,” ujar Thoni. Pasca kejadian itu, Thoni enggan keluar dan bertemu orang sekitar tiga tahunan. Pernikahannya pun hancur. “Sulit menjelaskan pada pasangan atas apa yang saya alami, dia maunya saya tetap seperti dulu,” ujarnya dalam nada yang bergetar.

Pembicaraan sempat terhenti, ketika Thoni harus mengisi motornya di pom bensin Pondok Cabe. Walau dia tahu, saya juga penyandang disabilitas, dia hanya tertawa dan tidak menolak bantuan, ketika saya tawarkan membantu mendorong motornya. Dari ujung pedal holder yang saya rasakan, Thoni memang agak kesulitan. Laju motor yang dimatikan mesinnya itu agak berat. Tak ragu, saya dorong, tapi Thoni langsung mencegah, “Jangan mbak, kan mbaknya nggak melihat, saya malah sulit mengendalikan motornya”.

Himbauan itu, sempat menyadarkan saya, satu tindakan ceroboh saja dapat mencelakai kami berdua. Tentu dengan satu kaki, Thoni harus mengendalikan motor lebih berat di jalanan yang berlubang dan sempit. Alhasil, saya menjadi penumpang yang tegang, waspada Bila tiba-tiba motor Thoni miring. Tapi dia pengendara yang hebat. Motornya terasa lincah menyalip kendaraan lain yang ada di depannya.

Dalam sehari, Thoni bisa membawa, 12-20 penumpang. Jarak terjauh yang pernah diantar adalah Pluit, Jakarta Utara. Meski mengendara dengan satu kaki,  Thoni tetap mendapat perlakuan sama dengan pengendara ojek online lainnya. Ia pernah mendapat penumpang yang membawa lebih dari satu anak di motornya.  “Alhamdulillah, saya dan penumpang nggak apa apa, yang penting penumpang percaya mengendarai motor aman bersama saya,” ujar Thoni.

 

Soal kepercayaan ini, menjadi hal yang agak sensitif bagi Thoni, dan penyandang disabilitas pada umumnya. kemampuan yang diragukan, banyak menutup kesempatan bagi mereka untuk berkarya. Misalnya, saat Thoni melamar pekerjaaan di perusahaan ojek berlogo hijau. dengan alasan menjunjung prinsip safety drive, ia ditolak. Ia juga pernah melamar sebagai pegawai pabrik, lagi – lagi ditolak, karena alasan fisiknya. “Padahal, saya berprinsip, apapun yang dapat saya kerjakan, maka saya lakoni, yang penting kita tidak menyusahkan orang,” ujarnya.

Sebenarnya, ini kedua kalinya saya dipertemukan kembali dengan Thoni melalui aplikasi ojek online. Sebelumnya, saya tidak pernah menyadari bila pengendara ojek saya berkaki satu. Pada pertemuan pertama, dari awal sampai akhir perjalanan, kami tidak berbicara sama sekali, karena kecepatan berkendara yang ditempuh Thoni membuat nyali saya ciut. Dapat dibayangkan, jarak Sawangan – Palmerah, hanya ditempuh 50 menit – dari yang biasanya 65-90 menit.

Waktu itu saya sempat berprasangka buruk, pengendara ini ugal ugalan. Tapi kemudian, persepsi itu hilang berganti, setelah satuan keamanan kantor mengatakan kepada saya, bahwa, pengendara ojek saya juga penyandang disabilitas. Maka, dugaan saya, cara Thoni berkendara semacam ingin membuktikan, ia tidak berbeda dengan pengendara lain yang memiliki sepasang kaki lengkap. Tetap mengutamakan ketepatan waktu dan arah tujuan.

Sebelum turun, saya dipersilahkan Thoni untuk menyentuh tongkat penyangga tubuhnya di dekat bahu sebelah kiri. “Tanpa tongkat, saya benar benar tidak dapat berjalan, kalau mbak kan  masih dapat berjalan meski tanpa tongkat, paling paling hanya menabrak kan?” ujarnya. Walau tidak seluruhnya benar, kata – kata terakhir Thoni membersitkan sedikit rasa syukur saya. dalam hati saya membatin, anggota tubuh saya masih lengkap, walau memang salah satu fungsinya berhenti.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler