x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Terkait Jerusalem, Donald Trump Berlagak Kaisar Romawi

Donald Trump memenuhi syarat untuk disebut cocky, sebuah sikap percaya diri ekstrem, yang membuat tidak peduli atau meremehkan orang lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kronologi:

Pada 6 Desember 2017, Donald Trump mengumumkan “Trump Declaration”, yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Negara Israel.

13 Desember 2017, sidang Darurat KTT OKI di Istanbul yang menolak “Trump Declaration”, dan sekaligus mengakui Jerusalem/Quds sebagai ibukota Negara Palestina.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

18 Desember 2017, sebanyak 14 anggota DK PBB menolak Trump Declaration. Namun draft resolusinya tidak dapat diadopsi, karena veto salah satu anggota permanen DK PBB: Amerika.

Dalam sambutan setelah pemungutan suara di DK, Nikki Haley mengatakan, “what we titnessed here today in the Security Council is an insult. It won’t be forgotten... The United States will not be told by any country where we can put our embassy” (yang kita lihat di sini hari ini di DK adalah sebuah penghinaan, yang takkan dilupakan... Amerika tidak akan bisa didikte soal di mana pun kami menempatkan Kedubes kami”.

Karena gagal di Dewan Keamanan, Turki, Yaman, Mesir bersama beberapa negara lainnya bermanuver dengan mengusulkan penyelenggaraan Sidang Umum (General Assembly) Darurat pada Kamis 21 Desember 2017, sebagai upaya mengcounter veto Amerika di DK PBB.

Sebelum Sidang Umum PBB, Nikki Haley, perwakilan Amerika di PBB menulis surat ke sektiar 180 dari 193 negara anggota PBB, yang berisi peringatan bahwa “Amerika akan mencatat nama-nama negara mendukung keputusan Sidang Umum yang menentang Trump Declaration pada Kamis (taking names of countries that vote for a general assembly resolution on Thursday)”.

Selanjutnya, dalam sebuah rapat kabinet, pada 20 Desember 2017, Donald Trump mengatakan “Let them vote against us… We’ll save a lot. We don’t care. But this isn’t like it used to be where they could vote against you and then you pay them hundreds of millions of dollars… (Biar saja mereka menentang kita... Dengan begitu, kita bisa menyelamatkan banyak duit. Tapi kejadian ini tidak akan seperti dulu lagi: ketika mereka menentang Anda dan pada saat yang sama, Anda juga memberikan mereka ratusan jutaan dolar...” Pernyataan ini dipahami sebagai ancaman Trump untuk menghentian bantuan kepada negara yang menentang Amerika.

Tapi konon, ancaman biasanya justru muncul dari orang yang lemah dan tak berdaya. Ancaman adalah indikator kegagalan mengelola sumber daya.

Benar saja, pernyataan keras dan ancaman Trump tersebut ternyata tidak ngefek. SU PBB akhirnya mengeluarkan resolusi dengan komposisi suara: 128 menyetujui, 9 negara menolak, 35 negara abstain. Adapun 9 negara menolak: Israel, Amerika, Micronesia, Nauru, Togo and Tonga, Palau, the Marshall Islands, Guatemala dan Honduras. Sementara 35 negara yang abstain antara lain: Benua Amerika (Antigua-Barbuda, Argentina, Bahamas, Columbia, Jamaica, Fiji, Haiti, Kanada, Kiribati, Mexico, Panama, Paraguay); Pasifik Selatan (Australia, Vanuatu, Solomon Island, Tuvalu); Benua Afrika (Kamerun, Lesotho, Malawi, Rwanda, Uganda); Eropa Timur (Czeck Republik, Bosnia Herzegovania, Croatia, Hongaria, Latvia, Romania, Polandia, Sudan Selatan; Asia (Filipina).

Catatan:

Pertama, dalam Bahasa Arab, ada sebuah kata yang paling pas menggambarkan gaya dan perilaku Donald Trump sebagai seorang pemimpin negara super power: magrur. Sayang kata magrur ini tidak memiliki padanan kosakata yang pas dalam bahasa Melayu. Biasanya diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan kata cocky (sebuah sikap percaya diri ekstrem, yang membuat tidak peduli atau meremehkan orang lain).

Mungkin karena itulah, John O Brennan, mantan direktur CIA di era barack Obama menulis status di akun Twitternya: “Trump Admin threat to retaliate against nations that exercise sovereign right in UN to oppose US position on Jerusalem is beyond outrageous (Pemerintahan Donald Trump yang mengancam membalas dendam terhadap negara-negara yang melaksanakan hak kedaulatannya di PBB untuk menentang sikap Amerika terkait Jerusalem/Quds adalah sebuah sikap yang sungguh tidak bisa diterima”.

Kedua, dari pernyataan, komitmen dan ancamannya terkait Jerusalem, Donald Trump terkesan berperilaku seperti seorang Kaisar Romawi atau Paus Urbanus II yang mengesahkan invasi ke Jerusalem, yang kemudian dikenal dengan Perang Salib gelombang pertama, di akhir abad ke-11 (tahun 1095).

Ketiga, bila Donald Trump mengeksekusi ancaman penghentian bantuannya, berarti Amerika juga akan terpaksa menghukum sejumlah negara sekutu utamanya, yang ikut mendukung Resolusi PBB, seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, Saudi Arabia, termasuk semua negara Eropa Barat, yang selama ini dikenal sebagai sekutu tradisional Amerika.

Keempat, tapi jangan juga terlalu gembira. Resolusi Sidang Umum PBB, yang darurat sekalipun, tidak memiliki kekuatan memaksa. Resolusi SU PBB lebih bersifat politis dan/atau etis. Artinya, benar bahwa Amerika dan terutama Donald Trump secara global telah dihukum secara etika, tapi tidak ada mekanisme di PBB yang bisa digunakan untuk memaksa Amerika melaksanakan resolusi tersebut. Artinya juga, “Trump Declaration” dan rencana pemindahan Kedubes Amerika dari Tel Aviv ke Jerusalem tetap menjadi prioritas utama Pemerintahan Donald Trump, meski mungkin tidak segera dilaksanakan.

Syarifuddin Abdullah | 22 Desember 2017 / 04 Rabiul-tsani 1439H

Sumber foto: Reuters dalam www.jpost.com.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB