x

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pengkhianatan

[Flash Fiction] Seberapa besar kepercayaan yang bisa kita berikan kepada orang yang kita cintai?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku mengerang saat turun dari tempat tidur.

Hari ini hari Sabtu. Aku tidak perlu pergi ke kantor, jadi alarm telah kumatikan semalam.

Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menyikat gigiku. Mas Jono sudah bangun, mungkin sedang di taman, pikirku. Selain mencari kerja, berkebun adalah satu-satunya aktivitas yang membuatnya sibuk.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku menggelengkan kepala memikirkannya. Setahun yang lalu suamiku adalah manajer pemasaran sebuah perusahaan besar, dan kini jika tidak menyiangi dan menanam kembang dan tanaman obat di halaman depan, berkeliling dari pintu ke pintu memasukkan lamaran kerja. Aku bisa merasakan Mas Jono menarik pelan-pelan, bagai keong yang bersembunyi ke dalam cangkangnya saat dicabut oleh anak-anak dari batang pohon yang dirayapinya.

Suamiku semakin hari semakin pendiam, semakin sedikit bicaranya. Dia sering tampak malu, yang tampak lebih sebagai rasa bersalah.

Aku sendiri merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sepanjang minggu ini, perasaan sesuatu yang buruk akan terjadi mengikutiku seperti bayangan awan hujan yang mengandung listrik. Aku mulai kehilangan nafsu makan, resah tak menentu. Namun aku tak tahu apa penyebabnya, karena semuanya masih terlihat sama.

Mas Jono masih menganggur seperti sembilan bulan yang lalu, dan aku masih menjadi pencari nafkah. Satu-satunya yang berbeda adalah kenyataan bahwa aku menghabiskan waktu lembur di tempat kerja untuk membawa pulang lebih banyak uang.

Sahabat dan tetangga terbaikku, Juni, telah sangat membantu dalam beberapa bulan terakhir ini. Dia memanaskan masakan yang kusimpan di dalam kulkas untuk makan malam Mas Jono sementara aku lembur di kantor.

Lalu aku teringat sesuatu. Jumat depan adalah hari ulang tahun kesepuluh pernikahan kami. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, untuk pertama kalinya aku kehilangan minta untuk merayakannya. Tapi aku memutuskan untuk memberikan kejutan kepada Mas Jono. Mungkin itu akan menghibur kami berdua. Setidaknya, kami masih bersama dan kami bukan sama sekali tak bahagia.

Ibuku pernah meramalkan bahwa aku dan Mas Jono takkan bertahan lama. Nah, Ibu tersayang, sepuluh tahun ini terbukti bahwa Ibu salah besar.

Aku turun ke dapur dan menghidupkan tombol air panas dispenser untuk membuat secangkir kopi. Sejumlah rencana terbentuk di kepala.

Kami bisa makan malam yang romantis di restoran Korea yang baru dibuka. Restoran itu memiliki balkon yang menghadap kota. Kemudian menonton salah satu film yang paling membosankan dan mendapat penilaian pedas dari kritikus sehingga hanya kami berdua penonton yang bergumul di bangku belakang tanpa orang lain, seperti masa-masa pacaran dulu.

Aku memutuskan untuk mendatangi Juni karena aku perlu sarannya. Kuraih mantel panjang untuk menutup dasterku dan menyelinap keluar dari pintu belakang tanpa pamit pada Mas Jono. Dia bukan tipe yang suka diganggu jika sedang bekerja dengan tanaman.

Juni tidak mengunci pintu kebun belakangnya. Aku masuk ke dapurnya. Rumahnya sepi.

Dimana dia? Aku menuju ruang tamu ... dan tidak mempercayai penglihatanku.

Tanganku mendekap mulut menahan jeritan dan tiba-tiba saja aku ingin muntah.

Juni lebih dulu bersuara.

"Juli, aku ... aku sangat menyesal. Kamu seharusnya tidak mengetahuinya dengan cara seperti ini."

Suamiku dan sahabat karibku! Itulah pikiran terakhir di kepalaku sebelum kunang-kunang berterbangan di sekitarku, sebelum dunia mendadak gelap gulita dan aku terjatuh tak sadarkan diri ...

 

Bandung, 22 Desember 2017

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler