x

Iklan

Jusman Dalle

Praktisi Ekonomi Digital, Tulisan-tulisan telah diterbitkan di 38 media massa : Tempo, Kompas, Jawa Pos, Kontan, Republika, dll.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mencipta Keadilan Ekologis Memangkas Kemiskinan

Politik lingkungan hidup sebagai langkah efektif mengurai kemiskinan dengan tercapainya keadilan ekologis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Publik dan aktivis pecinta lingkungan kembali dikejutkan dengan konflik agraria yang menelan korban jiwa. Tak tanggung-tanggung, seorang warga di Kalimantan Tengah tewas ditembak oleh aparat keamanan perusahaan sawit milik Wilmar Group. Tentu ada yang menjadi pemicu di balik peristiwa tersebut. Tapi apapun alasannya, tak ada pembenaran mengorbankan nyawa rakyat.

Rakyat kecil dan petani yang kerap terseret dalam konflik agraria selalu menjadi pihak lemah. Menghadapi korporasi yang kerap dibela atau dibiarkan bertindak oleh negara, rakyat tak bisa berbuat banyak kecuali menyampaikan protes. Dalam konflik agraria, rakyat selalu diposisikan sebagai pihak yang salah.

Peristiwa yang menambah daftar panjang luka dan duka dalam perjuangan keadilan ekologis tersebut, menjadi alarm. Bahwa konflik agraria masih menjadi problem sosial ekonomi yang butuh penyelesaian di jalur politik (baca : pengambilan kebijakan).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Baru-baru ini, saya berkesempatan hadir dalam gelaran acara Temu Rakyat Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) yang diselenggarakan di Bumi Perkemahan dan Taman Wisata (Buperta) Cibubur. Saya cukup lama berbincang dengan mas Malik. Juru Bicara kegiatan yang juga pengurus nasional WALHI. Salah satu insight yang saya peroleh dari perbincangan tersebut, adalah concern rekan-rekan aktivis lingkungan dalam menggugah nalar politik publik. Khususnya mereka yang terlibat dalam agenda-agenda politik praktis agar menjadikan lingkungan sebagai satu pijakan politik.

Sebagai organisasi yang terdepan dalam mengadvokasi berbagai isu lingkungan hidup, termasuk konflik agraria, Walhi juga intens melakukan diseminasi mengenai kekhawatiran kian merebaknya konflik agararia yang saban tahun kian marak. Agenda Temu Rakyat yang diprakarsai WALHI yang merupakan forum berskala nasional tersebut menjadi wadah bagi aktivis lingkungan hingga masyarakat adat yang untuk menyuarakan perjuangan mengenai isu-isu lingkungan.

Salah satu capaian dari Temu Rakyat tersebut adalah lahirnya Platform Politik Lingkungan Hidup. Platform ini diformulasikan dari forum Konferensi Lingkungan Hidup yang juga dilangsungkan secara bersamaan. Titik tekan yang hendak disampaikan WALHI dari dokumentasi intelektual dan akademis tersebut adalah menggugah iktikad politik pemerintah dan berbagai pihak di tingkat nasional hingga daerah, agar punya sensitivitas ekologis dalam menjalankan pemerintahan.

WALHI sendiri melihat bahwa pemerintah saat ini punya iktikad baik dalam menjalankan platform politik lingkungan hidup. Setidaknya, Presiden Joko Widodo telah mencanangkan reforma agraria. Meski kemudian di tingkat implementasi, belum berjalan optimal dan terkesan kurang progresif. Target-target yang ditetapkan, tidak tercapai dan bahkan direvisi. Menteri LHK bahkan mengatakan bahwa target redistribusi 12,7 juta ha lahan kepada rakyat tidak mungkin dapat tercapai tanpa adanya suatu startegi kerja yang baru.

 

Itu baru satu isu yang sudah menjadi agenda poltik pemerintah. Belum dengan penyelesaian sengketa dan konflik yang semakin banyak di daerah. Serikat Petani Indonesia mencatat sebanyak 117.054 menjadi korban konflik agraria sepanjang tahun 2017. Data tersebut bisa jadi lebih kecil dari angka yang sebenarnya terjadi di lapangan.

Penembakan warga/petani di Kalimantan Tengah hingga mengakibatkan adanya korban jiwa meregang nyawa, semestinya menjadi duka akhir tahun yang menjadi pesan agar tahun-tahun mendatang konflik agraria bisa semakin ditekan. Pemerintah diharapkan hadir berpihak kepada rakyat. Okelah, kita mengapresiasi luar biasa program redistribusi lahan.

Akan tetapi, lebih dari itu rakyat butuh kepastian nasib, keberpihakan ketika berhadapan dengan korporasi. Maraknya konflik agraria yang berujung pada tragedi ekologis dan kemanusiaan,  harus diakui merupakan akibat lemahnya penegakan aturan. Pemanfaatan sumber daya alam di darat, laut dan udara masih didominasi oleh korporasi. Sistem kapitalisme dan liberalisme semakin menggeser peran masyarakat hingga tersisih dan menjadi korban.

Lihatlah fakta lemahnya penguasaan SDA oleh masyarakat. Di sektor pertanian, sebanyak 55,33 persen petani hanya menggarap lahan 0,25 ha. Lahan sesempit itu, tentu saja tidak bisa menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Akibatnya, desa-desa pertanian, menjadi basis kemiskinan.

Platform Politik Lingkungan Hidup yang telah diterima secara resmi oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki untuk diserahkan kepada Presiden, diharapkan menjadi titik terang keberpihakan pemerintah yang lebih dalam lagi. Keberpihakan yang harus dibreakdown hingga ke daerah. Sebab, konflik agraria hingga kerusakan ekologis ini umumnya terjadi karena pemerintah daerah yang abai.

Lebih dari sekadar menyelesaikan konflik, saya melihat politik lingkungan hidup sebagai langkah efektif mengurai kemiskinan dengan tercapainya keadilan ekologis. Ingat, desa adalah kantong kemsikinan. 

Dana desa yang telah digelontorkan pemerintah pusat, bahkan kurang bertaji mengisikis kemiskinan seperti kerisauan yang sempat dilontarkan Menteri Keuangan. Keadilan ekologis ini, satu jalan yang perlu diseriusi memangkas kemiskinan. Semoga saja.

Ikuti tulisan menarik Jusman Dalle lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler