x

Iklan

Nurul Firmansyah

Advokat dan Peneliti Socio-Legal. https://nurulfirmansyah.wordpress.com/
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hukum dalam Jerat Kuasa Politik

Hukum kritis masuk lebih jauh ke kerangka ideologis hukum (politik), yang salah satu tesisnya adalah; “penegakan hukum merupakan halaman perkelahian Kelas"

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pansus hak angket DPR RI bertemu dengan napi-napi kasus korupsi di Lapas Suka Miskin guna mengutip keterangan tentang pelaksanaan pemeriksaan kasus-kasus korupsi yang dilaksanakan oleh KPK. Pertemuan tersebut sontak menuai respon negatif masyarakat dan dinilai sebagai cara membangun persepsi publik bahwa “pelaku korupsi adalah korban.”

Usaha keras politisi-politisi senayan dalam menjalankan agenda penegakan hukum tersebut dirasa berbanding terbalik dengan kasus-kasus yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat marjinal, seperti kasus kriminalisasi petani dan masyarakat adat di bidang hukum agraria.

Kasus kriminalisasi petani dan masyarakat adat sendiri muncul akibat buruknya produk legislasi hukum agraria dan sumber daya alam. Produk legislasi hukum agraria dan sumber daya alam yang ada belum sepenuhnya melindungi tanah-tanah adat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konsekuensinya, tanah-tanah adat rentan dirampas atas nama hukum plus kriminalisasi masyarakat adat dan petani dengan dalil penyerobotan lahan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat setidaknya terdapat 24 kasus kriminalisasi masyarakat adat akibat konflik agraria tersebut.

Alih-alih melahirkan Pansus agraria untuk memecahkan persoalan ketidakadilan agraria ini, DPR RI untuk tugas legislasinya saja masih mangkrak melahirkan dan atau merevisi undang-undang tentang perlindungan masyarakat adat dan hukum agraria. Hal ini terkonfirmasi dari mandeknya pembahasan RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Pertanahan dan Revisi Undang-Undang Kehutanan.

Namun, kenapa pada soal hak angket KPK, politisi – politisi senayan begitu semangatnya dan seolah-olah mengerahkan seluruh kekuatan politiknya untuk kasus ini, yang kontras dengan minimnya dukungan politik pada persoalan ketidakadilan agraria.

Jerat Kuasa Politik

Untuk menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya merujuk Simarmata (2007) yang menyebutkan bahwa; Hukum tidak mungkin berproses secara asosial dan akultural. Hukum rentan terhadap pengaruh kepentingan, persepsi dan aspek budaya, yang muncul dari masyarakat dan juga petugas dan aparat penegak hukum yang mempengaruhi hukum itu sendiri.

Artinya sulit memisahkan antara hukum dengan kepentingan-kepentingan politik, budaya dan ekonomi, terutama dalam hal kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan struktur ekonomi dan politik.

Relasi erat kekuatan modal dan politik di sendi-sendi strategis pembuat dan penegak hukum memancing kita untuk memeriksa lebih dalam tentang struktur hukum yang kita anut, yaitu sistem hukum liberal.

Secara sederhana, sistem hukum liberal seringkali diungkapkan oleh aparat penegak hukum dan pembuat hukum, bahwa “segala sesuatu telah dilaksanakan sesuai prosedur.”

Disana tersirat argumen prosedur adalah gema keadilan. Padahal, banyak kasus membuktikan, secara kasat mata, banyak prosedur justru menjadi musuh keadilan. Lalu, mengapa prosedur dianggap lebih penting dari ungkapan substantif keadilan ?

Kasus kriminalisasi masyarakat adat dan petani adalah contoh gamblang pendewaan terhadap keadilan prosedural tersebut yang melahirkan ketidakadilan (substantif).

Optik Hukum Kritis

Pendekatan hukum kritis untuk melihat praktik pembentukan dan pelaksanaan hukum relevan dalam konteks Indonesia di tengah masih jauhnya keadilan (substantif). Hukum kritis sendiri tidak bisa dilepas dari kritik mazhab ini terhadap hukum liberal modern yang terlalu mengagungkan keadilan prosedural.

Sebagai mazhab hukum, hukum kritis pertama kali diperkenalkan di Wisconsin pada tahun 1977, seiring perjuangan hak-hak sipil Amerika Serikat pada tahun 1960-1970 yang tidak puas dengan realitas hukum di masa perang Vietnam, dan dibarengi dengan gejolak ekonomi serta politik internal Amerika Serikat pada masa itu.

Dalam konteks Indonesia hari ini, dimana berbagai krisis muncul dan belum terselesaikan, baik di aras politik, ekonomi, hukum dan bahkan sosial budaya, dirasa relevan bila menelitik persoalan hukum dalam kacamata alternatif pemikiran dalam hukum (hukum kritis) untuk setidaknya mencoba mengkritik kandungan hukum liberal yang kita anut.

Salah satu arena telaah hukum kritis yang penting adalah proses Penegakan hukum. Hukum kritis menilai bahwa arena penegakan hukum merupakan batu uji atas doktrin mapan hukum (liberal) tentang netralitas hukum, hukum yang egaliter dan bebas nilai.

Bahkan telaah hukum kritis masuk lebih jauh ke kerangka ideologis hukum (politik), yang salah satu tesisnya adalah; “penegakan hukum sesungguhnya merupakan halaman perkelahian serius antar kelas, dimana kelas elit memiliki semua akses ke hukum.”

Dalam hal ini, mereka meminjam Marx yang menyatakan bahwa hukum adalah produk kelas dominan untuk keuntungan kelasnya sendiri, sekaligus sebagai senjata dalam menundukkan kelas proletar. Penegak Hukum dan juga Pembuat Hukum adalah kelas elit karena masuk dalam lingkaran kekuasaan. Dari sana diproduksi kontrol dan sanksi pelanggaran hukum.

Jika dilihat pada dua contoh kasus diatas, yaitu kasus hak angket KPK dan kriminalisasi masyarakat adat dan petani, maka bisa terlihat bahwa akses terhadap hukum menjadi faktor penting.

Masyarakat adat dan petani adalah kelompok lemah untuk mengakses hukum, baik di arena penyusunan maupun dalam penegakan hukumnya, sehingga perlindungan hukum masih jauh bagi kelompok ini, sehingga perampasan tanah adat dan kriminalisasi masyarakat adat dan petani potensial terus berlangsung.

Berbeda halnya dengan kasus korupsi yang melibatkan banyak elit politik dan pemerintahan. Kelompok ini mempunyai kapasitas yang memungkinkan mereka mengakses hukum secara maksimal.

Hak angket KPK adalah contoh menarik untuk melihat bagaimana kelompok elit mampu mempengaruhi proses penegakan hukum dan bahkan mendominasi pembentukan hukum (baca revisi UU anti korupsi) bagi kelompoknya sendiri. 

(Tulisan ini juga dipublikasikan di Qureta dengan Judul yang Sama)

 

Ikuti tulisan menarik Nurul Firmansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler