x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hawking, Tuhan, dan Semesta

“Alam semesta bisa menciptakan diri sendiri dari ketiadaan,” kata astrofisikawan Stephen Hawking.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dua jalan bercabang di antara pepohonan dan aku
Aku mengambil jalan yang jarang dilalui, dan itu telah menciptakan perbedaan.
--Robert Frost (1874-1963)

 

Pandangan astrofisikawan Stephen Hawking bahwa tidak diperlukan peran Tuhan dalam penciptaan alam semesta, seperti dikutip kembali oleh tempo.co dari The Times, 26 Desember 2017, bukanlah sesuatu yang baru. Dalam berbagai kesempatan dan dalam buku-bukunya, Hawking mengutarakan pandangan dengan spirit yang sama: menampik keberadaan dan peran Tuhan. “Alam semesta bisa menciptakan diri sendiri dari ketiadaan,” kata Hawking seperti dikutip tempo.co.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pandangan itu dianggap kontroversial mengingat Hawking, sebagai ilmuwan, tergolong selebritas yang banyak dikutip media global. Bukunya, The Brief History of Time, laris manis dan dicari orang sampai sekarang. Namun sesungguhnya pandangan yang tidak mengakui keberadaan Tuhan bukanlah hal baru, bahkan mungkin setua umur manusia.

Di kalangan ilmuwan masa kini, pandangan ateistik atau sekurang-kurangnya agnostik (tidak peduli apakah Tuhan itu ada atau tidak) jamak dijumpai. Hawking bukan satu-satunya yang berbeda. Di lapangan biologi, umpamanya, dapat disebut nama Richard Dawkins, mantan guru besar di Universitas Oxford, yang juga tergolong ‘ilmuwan selebritas’ meskipun mungkin di Indonesia namanya tidak setenar Hawking.

Betapapun, seperti halnya buku Hawking, karya Dawkins juga laku, salah satunya ialah The God Delusion yang terbit pada 2006 dan masuk dalam empat besar daftar buku terlaris pada akhir 2006 di New York Times. Senada dengan Hawking, Dawkins pun mengatakan bahwa hampir pasti tidak ada ‘supernatural creator’. Dawkins menganggap keyakinan tentang hal itu sebagai khayalan, sebuah keyakinan yang salah di hadapan bukti kuat yang menunjukkan sebaliknya (menurut Dawkins).

Hawking dan Dawkins, serta banyak ilmuwan lain, menarik kesimpulan bahwa tidak ada eksistensi Tuhan setelah memelajari bagaimana alam bekerja—Hawking lewat astrofisika dan Dawkins melalui biologi. Namun tak kurang banyak ilmuwan yang justru meyakini bahwa alam semesta tidak mungkin lahir dengan sendirinya. Di antara mereka ada yang sudah memercayai eksistensi Tuhan terlebih dulu dan kemudian semakin yakin setelah memelajari alam semesta. Sebagian lainnya ‘menemukan’ Tuhan ketika sedang dan setelah memelajari alam semesta.

Sebagian ilmuwan yang bersikap agnostik (tidak peduli) kemudian mengembara ke berbagai wilayah spiritualitas setelah melakukan penelitian tertentu. Diskusi mengenai mekanika kuantum pada tahun 1920an mengarahkan para pionirnya ke wilayah ini. Ketika itu, mereka disibukkan oleh riset mengenai dunia subatom (zarah, partikel) yang sangat mengejutkan karena di dalamnya seakan terdapat wujud yang kontradiktif, hingga kemudian muncul teori tentang ketidakpastian Heisenberg maupun perihal watak dualistik partikel-gelombang yang dimiliki cahaya.

“Apakah Anda memercayai tuhan yang personal?” tanya fisikawan Wolfgan Pauli kepada sejawatnya Werner Heisenberg.  “Bolehkah saya ulangi pertanyaan Anda?” kata Heisenberg. Pencetus teori ketidakpastian ini lantas melanjutkan: “Saya sendiri lebih menyukai formulasi seperti ini: Dapatkah Anda atau orang lain mencapai tatanan sentral benda atau peristiwa, yang eksistensinya melampaui keraguan, seakan seperti Anda bisa meraih jiwa manusia lain? Saya sengaja memakai istilah ‘jiwa’ agar tidak disalahpahami. Jika Anda mengajukan pertanyaan seperti itu, saya akan menjawab ya.”

Srinivasan Ramanujan juga menemukan Tuhannya melalui kecintaannya kepada matematika. Matematikawan bedarah India itu, yang disebut jenius hasil ‘penemuan’ matematikawan Inggris G.H. Hardy, merasa takjub membaca jejak-jejak tuhan dalam persamaan-persamaan yang ia tekuni dan kembangkan. “Sebuah persamaan tidak mempunyai makna bagiku,” kata Ramanujan, “kecuali persamaan itu mengekspresikan pikiran Tuhan.”

Bila akhirnya para ilmuwan itu sampai kepada kesimpulan yang berbeda mengenai eksistensi Tuhan—ada, tidak ada, atau tak peduli—sesungguhnya tidak pernah lepas dari pergulatan hidup masing-masing. Setelah bertahun-tahun berkutat di laboratorium fisika inti, Fritjof Capra memasuki lorong penjelajahan ide-ide spiritualitas dan melahirkan buku yang juga laris manis, The Tao of Physics. Capra, seperti halnya para perintis fisika kuantum, terhenyak dihadapkan pada apa yang berlangsung di dunia subatom. Sementara itu, Hawking dan Dawkins memilih tafsir materialisme atas apa yang sudah mereka pelajari.

Seperti kata penyair Robert Frost: “Dua jalan bercabang di antara pepohonan dan aku – Aku mengambil jalan yang jarang dilalui, dan itu telah menciptakan perbedaan.” **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB