x

Iklan

Ketut Budiasa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Selamat Hari Raya Natal, Sahabat

Ucapan "Selamat Hari Raya" adalah ungkapan ikut berbahagia atas kebahagiaan sahabat. Tidak lebih.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selamat Hari Raya NATAL, Sahabat...

Saya agak terkejut membaca media sosial pagi ini : tentang seorang penjual kue yang tidak mau menuliskan "Selamat Natal" di kue yang dipesan pelanggannya. Entah benar ada kasus seperti itu atau tidak, sulit memverifikasi. Media sosial ibarat rimba raya yang sangat mudah membuat orang tersesat. Tapi perdebatannya cukup panas. Lalu ada juga ucapan Natal dari tokoh2 masyarakat yang diserbu berbagai argumen dari followernya. Bukan saling mendoakan, tetapi perdebatan tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal. Tentu dengan berbagai argumennya masing2. Kalau mau jujur, perdebatan seperti ini rutin terjadi setiap tahun, khususnya dari sebagian umat muslim. Diluar kalangan muslim, perdebatan seperti ini hampir tidak ada. Mengucapkan selamat hari raya, bagi non muslim, sama seperti mengucapkan selamat menempuh hidup baru, selamat ulang tahun, dan selamat-selamat lainnya. Mengucapkan selamat menempuh hidup baru tidak serta merta mengubah status jombo menjadi menikah, bukan ? Tapi bagi sebagian sahabat-sahabat muslim, ini menyangkut akidah, menyangkut "pengakuan kebenaran". Maka masalahnya tidak sekedar urusan sosial, melainkan sakral, substantif.

Saya tentu menghormati semua pandangan, semua keyakinan. Termasuk keyakinan yang mengharamkan ucapan selamat hari raya bagi umat lain. Bagi penganut pandangan ini, mengucapkan selamat hari raya (khususnya Natal), tidak sesederhana pengucapannya. Natal adalah hari raya terkait dengan Nabi Isa Almasih, Nabi yang disebut dalam 2 kitab 2 agama, islam dan kristen. Bagi Kristen, Natal adalah peristiwa istimewa karena di hari itu Tuhan mengirim Anaknya yang tunggal untuk menjadi penerang, pembimbing, penebus dosa, pemberi petunjuk, sekaligus menjadi jalan menuju Bapa. Bahwa Anak dan Bapa adalah tunggal, bahwa dengan demikian, Isa bukan hanya Nabi, tapi oknum Tuhan sendiri. Pandangan inilah yang bertentangan dengan doktrin Islam, yang konsep ketuhanan monoteisme mutlaknya samasekali tidak dapat menerima konsep Tuhan lahir ke dunia, Tuhan memiliki Anak, tuhan "dipersekutukan". Kata-kata ini secara tekstual ada didalam kitab suci sehingga tidak terbantahkan dan tidak pula multitafsir. Bagi Islam, Isa Al-Masih adalah Nabi, manusia yang dipilih Tuhan untuk menyampaikan pesan, samasekali bukan Tuhan yang lahir ke dunia. Memuja Isa sebagai Tuhan, dalam pandangan Islam, adalah bertentangan dengan inti ajaran Islam itu sendiri. Maka muncullah kesulitan etik untuk mengucapkan "selamat natal". Bagaimana mungkin mengucapkan selamat pada seseorang yang menurut keyakinan anda sedang melakukan tindakan yang keliru, yang bertentangan dengan kata-kata Tuhan dalam kitab suci ? Dalam konteks ini, rupanya kesulitan mengucapkan "Selamat Natal" itu dapat dipahami.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu, apakah samasekali tidak ada ruang untuk mengucapkan selamat hari raya (Natal khususnya dan hari raya lain dalam konteks yang lebih luas) ? Faktanya, masih. Bahkan ruang itu masih tersisa teramat luas. Seorang sahabat bercerita, di group2, banyak orang menghindar mengucapkan selamat hari raya, tetapi tetap mengucapkan selamat hari raya lewat jalur pribadi. Mungkin ini semacam jalan tengah. Artinya, mengucapkan selamat hari raya sebenarnya tidak melanggar keyakinan pribadinya. Dalam pandangan ini, mengucapkan selamat Hari Raya tidaklah berarti anda mengakui kebenaran konsep hari raya, konsep ketuhanan, konsep ritual daaannn lain-lainnya. Ucapan selamat hari raya hanyalah ucapan ikut berbahagia atas kebahagiaan seorang sahabat yang sedang merayakan hari besar sesuai keyakinannya. Apakah konsep hari rayanya, tuhannya, sorganya, nerakanya, itu benar atau tidak, itu bukan wilayah manusia untuk menilai. Manusia hanya melaksanakan kehidupan sosial secara baik dan bertanggungjawab, ber-empati, berharmoni. Bagi penganut pandangan ini, mungkin Tuhan masih memberikan toleransi untuk sekedar berbasa basi mengucapkan selamat hari raya, demi menjaga ikatan sosial dalam bermasyarakat.

Bagi saya sendiri, memberi ucapan selamat hari raya samasekali bukan dalam rangka memanfaatkan batas toleransi yang diijinkan Tuhan seperti itu. Tuhan, dalam pemahaman saya, bukanlah mahluk dengan setumpuk aturan dan tuntutan, dengan sekarung hadiah (kenikmatan dan hal2 yang memenuhi berbagai keinginan) di satu tangan dan segudang hukuman di tangan lainnya. Tuhan, bagi saya, adalah level kesadaran. Dia bukan mahluk, bukan zat, bukan sifat, bukan ini, bukan itu, neti-neti, serba bukan. IA ditemukan, dirasakan, ada, sesuai level kesadaran mahluknya. Maka ia adalah KESADARAN itu sendiri. God is consciousness. Tuhan adalah kesadaran. Kesadaran itu dapat mewujud dalam bentuk Rama, Krisna, Parasurama, Budha dan lainnya, tidak terbatas. DIA juga ada dalam kesadaran saya, kesadaran anda, kesadaran semua mahluknya, dalam level yang berbeda, karena itu kita menemukan, meyakini, merasakan, dalam level yang berbeda pula. Dengan konsep ini, tidak ada keyakinan akan Tuhan yang salah maupun yang benar. Anda tidak bisa benar dan juga tidak bisa salah atas keyakinan pada sesuatu yang serba bukan dan yang tidak terpikirkan (achintya). Dengan konsep ini, saya dapat mengucapkan selamat hari raya dengan tulus, bukan sekedar basa basi. Ucapan selamat hari raya adalah ucapan selamat atas pelaksanaan kesadaran seseorang, dan mengucapkan selamat itu adalah bentuk penghargaan, penghormatan, yang merupakan perwujudan sebuah level kesadaran tertentu pula. Bukankah dibutuhkan sebuah level kesadaran tertentu agar anda dapat ikut merasakan kebahagiaan saat melihat orang lain bahagia ? Bukankah dibutuhkan level kerelaan tertentu agar anda dapat tersenyum ketika melihat orang lain merayakan kemenangannya ?. Anda dapat membandingkan dengan kondisi sebaliknya --- perasaan tidak terima, tidak rela, saat melihat orang lain bahagia, dan dengki melihat orang lain mengangkat piala.

Bila kita melepaskan aspek keyakinan akan Tuhan sekejap saja lalu menilai dengan nurani yang merdeka, manakah sikap yang lebih baik : ikut merasa bahagia saat orang lain bahagia, atau perasaan tidak rela saat melihat orang lain merakayan kebahagiaannya ? Lagipula, menurut saya, ajaran agama seharusnya sesuai dengan nurani dan akal sehat kita. Agama seharusnya membebaskan, bukan menjadi penjara. Bila saya malu atau takut mengucapkan di ruang publik tetapi merasa wajib menyampaikan di jalur pribadi, sepertinya ada yang salah. Entah konsepnya yang salah, atau tafsirnya yang salah. Syukurnya, saya tidak mengalami dilema seperti itu. Karenanya, dengan setulusnya saya dapat mengucapkan selamat Hari Raya Natal untuk sahabat2 Kristiani. Pun selamat hari raya lain untuk umat yang lain, bila saatnya tiba.

Jadi, selamat Hari Raya NATAL untuk sahabat2 Kristiani. Semoga damai Natal senantiasa menyertai.

Ikuti tulisan menarik Ketut Budiasa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler