x

Iklan

Andrea Hynan Poeloengan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Saatnya Regenerasi Polri: Menatap 2018-2019

“Tanpa Perubahan, Tidak Akan Ada Pembaruan, Tidak Akan Ada Kemajuan” (Baper : Rhenald Kasali).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jakarta – “Tanpa Perubahan, Tidak Akan Ada Pembaruan, Tidak Akan Ada Kemajuan” (Baper : Rhenald Kasali).

Akhir tahun biasanya diramaikan dengan kaleidoskop, yang berisi renungan atas peristiwa-peristiwa kebelakang, yang terjadi pada tahun tersebut. Sebagai Anggota Kompolnas, berat rasanya jika hanya melihat kebelakang dengan alasan melakukan evaluasi. Introspeksi perlu dilakukan dengan menatap masa depan, serta merenung untuk mengantisipasi tantangan kedepan. Tulisan ini bukan untuk memaksa kehendak, tapi mengajak pembaca untuk bagaimana melihat kedepan, agar Polri dapat tetap eksis dan diterima dengan tulus ditengah masyarakat pada era “Zaman Now”.

Beberapa waktu lalu, Presiden Republik Indonesia telah mengangkat dan melantik Panglima TNI yang berasal dari Angkatan 1986. Sebelumnya, hampir satu tahun setengah yang lalu, atau tepatnya 13 Juli 2016, Presiden juga telah mengangkat dan melantik Kapolri yang berasal dari Angkatan 1987. Lompatan angkatan dari 1982 ke 1987 di Polri dan angkatan dari 1982 ke 1986 di TNI, merupakan terobosan dalam menghadapi “Zaman Now” di era pengelolaan pemerintahan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hikmah yang dapat dipetik bahwa, terlihat Presiden mempercayakan beberapa bidang tugasnya untuk didukung tenaga-tenaga muda dalam membantu mengelola negara, terutama jelas tampak pada bidang keamanan dan pertahanan. Presiden tentu mempunyai pertimbangan dan harapan, bahwa mungkin saja misalnya yang muda diharapkan lebih enerjik, terlebih dalam rangka menghadapi tahun-tahun Politik diantaranya 171 Pilkada serentak pada 2018, Pilkada-Pilleg-Pilpres pada 2019, serta event-event besar seperti Asian Games dan pertemuan IMF-World Bank pada tahun 2018.

Sejak pertengahan tahun 2016, “Senior” Kapolri yang menjabat sebagai Kapolda sudah banyak membantu Kapolri dengan baik. Prestasi Polri di mata publik pun mulai meningkat, tentu diantaranya sebagai akibat kesuksesan pengelolaan kombinasi “Senior-Junior” di tubuh Polri. Akan tetapi, dalam hal Kapolda, baru sekira setengahnya dijabat oleh angkatan 1987-1991. Pertanyaannya apakah memang akan terus menerus posisi Kapolda tetap harus dijabat oleh (ada ‘porsi’) “Senior”? Jika ya, bagaimana kemudian “gerbong” regenerasi?

Merujuk pada kebijakan yang diambil oleh Presiden Republik Indonesia terhadap pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI dari “generasi muda”, maka ada baiknya Polri dengan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi nya, agar berpikir ulang sejak saat ini jika akan merotasi, mengganti, atau mutasi Kapolda dengan yang angkatanya lebih senior dibandingkan Kapolri. Sudah saatnya lembaga seperti Polri juga memilih Kapolda sebagai kepanjang-tanganan Kapolri, dari generasi yang muda, yaitu paling tinggi adalah seangkatan dengan Kapolri-nya.

Kapolda seangkatan atau lebih muda dari Kapolrinya, diharapkan akan lebih memberikan peluang keleluasaan kepada Kapolri untuk ltidak terlalu canggung dalam berkoordinasi dengan Kapolda. Karena, biar bagaimana pun adat dan budaya “orang timur” masih tetap akan lebih santun dan sungkan dalam rangka menghargai yang lebih tua. Rasa “ewuh-pakewuh” walaupun kecil, tetap saja masih ada.

Saatnya, mengawali tahun 2018 ini, dijadikan momentum regenerasi untuk Polri. Setidaknya yang seangkatan atau yang lebih muda dari Kapolri diberikan kesempatan agar kemudian jika ada “TR Mutasi” dapat menjabat sebagai Kapolda di seluruh Polda yang ada. Untuk itu, alangkah bijak jika ada pemilihan Kapolda baru, mulai saat ini sudah tidak lagi memilih “Senior”-nya Kapolri. Pemikiran dalam tulisan ini tidak mengurangi eksistensi dan penghormatan kepada “Senior”, ataupun sama sekali tidak berusaha menafikan kemampuan dan kompetensi “Senior”. Kombinasi “Senior-Junior” tetap diperlukan, dalam bentuk “Senior” sebagai “pengawas, penuntun ataupun pengayom”, yaitu sebagai Wakapolda dan Irwasda.

“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” (Soekarno – Presiden ke-1 Republik Indonesia).

 

 

Opini Oleh: Andrea H. Poeloengan (Anggota Kompolnas 2016-2020)

Ikuti tulisan menarik Andrea Hynan Poeloengan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler