x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Desa yang Maju Haruskah Menjadi Kota?

Desa yang modern menopang perkotaan dengan menyuplai produk pangan, baik dalam bentuk segar maupun olahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suatu ketika, dalam sebuah workshop mengenai pembangunan pertanian, seorang  ahli pengembangan wilayah dari Institut Pertanian Bogor mengajukan sebuah pertanyaan kepada kami, para peserta workshop. Pertanyaan itu adalah “Menurut Anda, apakah pembangunan dikatakan berhasil bila tak ada lagi desa, atau dengan kata lain semua desa telah berubah menjadi kota?”. Hampir semua peserta menjawab setuju atas pertanyaan ini. Dan ternyata, jawaban persetujuan itu adalah sebuah kekeliruan.

Celakanya, kekeliruan ini ternyata jamak terjadi di kalangan para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan yang mengurusi pembangunan di negeri ini. Akibatnya, pembangunan acapkali bias ke kota dan sektor pertanian-pedesaan kian terpinggirkan.

Wilayah pedesaan yang perekonomiannya bercorak pertanian tidak melulu harus menjadi wilayah perkotaan—yang perekonomiannya lebih bercorak industri dan jasa—agar dikatakan maju. Dalam soal hubungan kota dan desa yang ideal, pembangunan dikatakan berhasil bila terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara keduanya. Hubungan saling menguntungkan itu adalah kota yang maju ditopang oleh desa yang modern.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang dimaksud dengan desa yang modern adalah desa dengan infrastruktur dasar, seperti jalan, listrik, dan air bersih, yang lengkap. Fasilitas pelayanan pendidikan dan kesehatan serta akses ke kota juga tersedia. Desa yang modern menopang perkotaan dengan menyuplai produk pangan, baik dalam bentuk segar maupun olahan.

Desa yang modern tetap mempertahankan corak perekonomiannya yang berbasis pertanian. Namun bukan pertanian yang identik dengan kemiskinan dan kemelaratan, tetapi pertanian yang maju dan modern dan memberi kesejahteraan serta terintegrasi dengan industri yang berbasis produk pertanian-pedesaan (agro industri).

Selama ini, hubungan antara kota dan desa seringkali tidak saling menguntungkan. Yang terjadi, kota yang identik dengan kemajuan dan menjanjikan kesejahteraan justru hanya menjadi tempat penampungan penduduk miskin dari desa melalui proses urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota. Sebaliknya, desa yang identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan terus ditinggalkan oleh penduduk usia produktifnya, yang merantau ke kota.

Akibatnya, wilayah perdesaan menjadi kekurangan tenaga produktif. Mereka yang bertahan di desa adalah generasi tua yang tidak memiliki banyak pilihan selain bertani. Hal ini terkonfirmasi dari hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik. BPS melaporkan, sekitar 60 persen petani negeri ini berumur di atas 45 tahun. Sekitar sepertiganya bahkan telah berumur di atas 55 tahun.

Tidak membikin heran bila selama ini perpindahan penduduk dari desa ke kota begitu sulit dibendung. Tidak usah heran pula bila sebagian besar penduduk desa yang datang ke kota kenyataannya berpendidikan rendah dan minim keahlian, sehingga kehadiran mereka justru kian menambah runyam persoalan sosial di kota, seperti kekumuhan, kemiskinan, pengangguran, dan meningkatnya tingkat kriminalitas.

Semua itu terjadi karena hubungan kota dan desa yang tidak ideal dan pembangunan yang bias ke kota. Secara psikologis, jika desa telah menjadi tempat tinggal yang nyaman, serta kemakmuran dan kemajuan bisa didapatkan di sana, untuk apa berletih dan jauh-jauh merantau ke kota, meninggalkan keluarga dan kampung halaman. (*)

 

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler