x

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengingat Mimpi

Mimpi indah membuat suasana hatiku baik. Membuatku tersenyum dan terkekeh sepanjang hari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku bermimpi indah tadi malam.

Mimpi indah membuat suasana hatiku baik. Membuatku tersenyum dan terkekeh sepanjang hari. Jika kuperhatikan cermin, masih ada sisa kilau di mataku meskipun sudah berjam-jam sejak pertama kali terbuka menatap dunia nyata.

Lucu, karena aku terbangun dengan penuh keraguan, tidak yakin sama sekali apakah aku benar-benar telah tidur. Tapi mimpi itu ada sebagai bukti. Tentunya, aku tidak bisa bermimpi tanpa tidur, bukan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tetap saja, aku menjalani rutinitas harian: mandi membasahkan rambut, menyeruput teh, membaca, mencatat, melahap bekal roti lapis bakar isi tuna, minum kopi, membaca lagi, melambaikan tangan mengucapkan selamat malam, dan berjalan pulang dalam kegelapan.

Sepanjang seluruh kegiatan tersebut, aku terus memikirkan mimpiku itu. Bukan karena aku bisa mengingat seluruh rinciannya, anehnya, pikiran akan mimpi itu membangkitkan kenangan masa kecilku.

Sekelompok pencuri buah berdiri di sekitar pohon jambu dan melihat dengan saksama buah jambu yang bergerombol di puncak pohon. Letaknya terlalu tinggi untuk dicapai dengan memanjat. Jadi mereka siap merontokkan buah kaya air berwarna merah itu dengan menggunakan sandal sebagai peluru. Akulah bertugas menunggu di kaki pohon, tangan terentang bagai kiper untuk menangkap buah saat terjatuh.

Gadis-gadis kecil dengan kulit gelap, kurus dan telanjang, mandi di kolam taman. Aku tidak bisa mendengar gelak tawa mereka, mungkin karena aku sepenuhnya berkonsentrasi menghadapi runtuhnya buah jambu dari langit, atau karena mimpiku tanpa suara. Mungkin itu sebabnya dialog dalam mimpiku hanya gambaran kedipan bibir tanpa suara.

Ada satu bocah yang tidak tertawa,  matanya tertutup rapat menghalau perih busa sabun yang turun bersama air.

Wajah bocah perempuan yang manis. Namanya Mega.

Umurku tujuh tahun saat itu, dan percaya diri bahwa aku telah jatuh cinta pada Mega, atau lebih tepatnya, dengan wajahnya. Sulit membiasakan hanya untuk melihat wajah dan kemudian bercakap-cakap dengan sepotong bagian tubuh itu saja.

Wajahnya sedih sekaligus lucu. Kesulitannya timbul karena tidak mudah menjaga agar tidak melihat bagian lain dari tubuhnya. Kulit tangannya kusam bersisik karena air kolam taman mengandung banyak kaporit. Badannya kurus. Tempurung lututnya menonjol seperti bola kasti. Lengannya tak bisa mengulur lurus karena sikunya bengkok membentuk huruf V. Mungkin akibat terjatuh dan tak pernah sembuh benar. Aku merasa siku-siku yang membentuk huruf V adalah hal yang paling tidak menarik di dunia. Aku sering bingung setiap kali dia memamerkan kelainan bentuk lengannya di depan anak-anak yang lain dan disambut oleh seruan terkejut penuh kekaguman.

Bukan berarti aku merindukan rumah. Juga sulit untuk mengatakan bahwa mimpiku merupakan simbol alam bawah sadarku untuk menggantikan hal yang ingin kusembunyikan.

Lagi pula, bukankah rumah hanyalah jejak impian yang tak terungkap?

 

Bandung, 1 Januari 2018

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler