Tulisan ini memang sebuah kritikan dari seorang warga Jakarta yang bodoh dan kebetulan tidak memilih mereka (Anies – Sandi ). Sejak menang dari pertarungan dengan Ahok Djarot, pusaran dendam terus hadir di media sosial. Dua kubu yang pro Ahok dan Pro Anies terus berseteru tidak habis-habisnya. Masalah terus digoreng hingga muncul perdebatan. Keterbelahan dua kubu rasanya akan sulit untuk direkatkan. Jadi yang kalah terus mengungkit-ungkit berbagai kecurangan-kecurangan yang dilakukan Anies - Sandi dan yang merasa menang terus membela membabi buta segala kebijakan jagoannya. Ranah perdebatan bukan lagi masalah cara menang dan tips-tips menghimpun massa, tapi sudah bergeser ke perdebatan ideologi, agama atau hanya sekedar beda.
Media sosial dan Pusaran Dendam
Masing-masing menuding dan membodoh-bodohkan pihak lawan. Pusaran dendam tak terbantahkan telah membuat masyarakat (media sosial) seperti memelihara musuh untuk meramaikan kicauan-kicauan di media sosial. Jika emosi sudah meluap dan dendam telah sampai ubun-ubun muncul petisi untuk mengirimkan hastag boikot pada siapa saja yang beda pendapat dan merasa telah melecehkan jagoannya. Perang komentar dan cuitan pun memakan korban. Banyak aktifis media sosial yang terjebak pengucilan, pemboikotan sehingga berujung kerugian pada tempatnya bekerja atau bahkan kehilangan pekerjaan seperti yang dialami oleh wartawan topskor dan kebetulan aktif di media sosial Twitter Zulfikar Akbar.
Intelektual Melawan Hati Nurani
Kembali ke pusaran dendam era Anies- Sandi, Siapakah aktifis yang selalu mempertajam konflik antara yang pro dan lawan Anies Sandi. Apakah mereka masyarakat yang kecewa pada pilihan sebagian masyarakat Jakarta yang terjebak dalam arus isu-isu yang menjual agama sebagai penjegal laju gubernur terdahulu yang kebetulan Non Muslim dan beretnis China pula. Masyarakat yang masih lebih percaya pada isu-isu dibanding dengan logika terjebak dengan penggiringan opini. Jadi meskipun sudah berulangkali dijelaskan pokok persoalannya tetap masyarakat lebih percaya pendapat umum daripada kejernihan berpikir dan logika, rasionalitas dan kenyataan bahwa banyak hal positif yang bisa dipetik dari kepemimpinan Ahok - DJarot. Dendam yang menggelapkan kejernihan berpikir telah menenggelamkan daya intelektual seseorang. Bahkan logika seorang doctor lulusan luar negeri demi politik dan kemenangan harus mengorbankan citra intelektualitasnya untuk sebuah kedudukan politis.
Intelektual, ilmuwan yang mengedepankan logika berpikir, rasionalitas harus menepikan idealisme untuk secuil dendam yang akhirnya mengusung “Asal Beda”, “Asal bukan Dia”, Asal bukan kebijakannya. Yang positif dari masa lalu tidak pernah dipedulikan yang penting asal beda. Titik.
Jika semua pemimpin berpikir asal beda, harus memulai lagi dari nol dan membangun brand yang berbeda dengan pendahulunya bagaimana membangun sistem pemerintahan yang tertib sistem, connecting dan berkesinambungan. Sangat berbahaya jika pemimpin sekelas gubernur harus selalu menepikan kebijakan yang sudah bagus dan mengobrak-abrik peraturan-peraturan yang diwarisi oleh gubernur sebelumnya.
Membawa dendam dalam sebuah kompetisi akan membawa efek buruk bagi cita-cita bangsa ke depan. Bagaimanapun dalam sebuah kontestasi harus ada yang menang dan yang kalah. Yang menang bukan berarti jumawa dan mengecilkan peran kompetitornya. Bagaimanapun sebuah pertarungan itu andil bersama. Yang menang ada karena ada yang kalah. Membawa dendam dalam sebuah kompetisi akan membawa masalah baru, sebab tentunya selanjutnya akan tercipta persaingan dengan membawa setumpuk kebencian yang akhirnya berekses pada mindset seorang petarung yang tidak pernah sportif karena cenderung menggunakan berbagai cara untuk melanggengkan motto asal beda, asal bukan dia dan asal-asal lain.
Citra buruk intelektual
Jika seorang yang berlatar belakang akademisi dan intelektual, terpelajar mengembangkan misi balas dendam dan asal beda, bagaimana anak masa depan, kaum pelajar, mahasiswa mencari sosok/ figur yang ideal jika seorang tokoh intelektual…mempunyai rekam jejak sebagai akademisi tapi bermain buruk hanya demi sebuah kemenangan politis.
Kaum muda, generasi milenial tentu akan mencatat jejak para pendahulunya. Apa yang terhampar dari sebuah kontestasi pemilihan kepala daerah ternyata bukan cerminan pembelajaran politik yang baik. Ternyata, konspirasi, dendam, deal-deal antar partai, politik uang, hembusan isu –isu, produksi berita hoax, pembunuhan karakter, ujaran-ujaran kebencian yang dilegalkan telah memberi pembelajaran buruk tentang “politik”. Makanya banyak anak muda sekarang sedikit jengah jika berbicara tentang “politik”. Mereka lebih suka tenggelam dalam mainan baru bernama gadget, serta berbagai tawaran game yang lebih menarik daripada hanya debat kusir masalah politik yang benar-benar tidak mendidik.
Semoga di Tahun 2018 ini kesadaran berpolitik bukan untuk transaksi politik yang berujung pada kontestasi partai dan politisi untuk saling menjegal demi kekuasaan. Deal-deal politik seharusnya untuk menjaga kesinambungan kepemimpinan daerah yang visioner yang mampu membangun daerah dengan visi-visi positif sehingga pemerataan kemajuan daerah dirasakan bersama. Jika mereka para politisi mampu menjaga suasana kompetisi dengan sportif tanpa munculnya ujaran kebencian tentu akan tercata sejarah sebagai tahun politik yang menjanjikan masa depan, tapi jika hanya berusaha menang dengan berbagai trik busuk, siap-siaplah menghadapi kehancuran negara. Salam damai. Selamat Tahun Baru.
Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.