x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gelombang Aksi Protes Menentang Rezim Mullah di Iran

Hasan Rohani menegaskan, aksi-aksi protes itu adalah sebuah peluang, dan bukan sebagai ancaman terhadap rezim di Iran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Iran bukan kali ini saja dilanda rangkaian aksi protes yang menentang rezim pemerintahan mullah di Teheran. Pada 2009, di era Presien Ahmadi Nejad, beberapa kota juga pernah dilanda sejumlah aksi yang memprotes dugaan manipulasi hasil Pemilu Presiden 12 Juni 2009.

Meski bukan kali yang pertama, namun aksi protes kali ini, yang dimulai dari kota Mashhad, barat laut Iran, pada 28 Desember 2017, mungkin agak beda karena sejumlah faktor:

Pertama, munculnya dukungan terbuka dari Presiden Amerika Donald Trump. Ini agak unik, sebab selama beberapa periode kepresidenan di Amerika sebelumnya, tidak pernah muncul dukungan terbuka dari seorang Presiden Amerika untuk sebuah aksi protes yang menentang rezim pemerintahan di sebuah negara. Meskipun dalam banyak kasus, publik tahu bahwa intelijen Amerika sering mendanai dan mensponsori beberapa aksi kelompok oposisi terhadap pemerintahan di negara-negara yang “tidak disukai” pemerintahan Amerika.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudah tiga kali Donal Trump memposting status di akun Twitter-nya yang mendukung massa pedemo di Iran. Menurut Trump, bangsa Iran akhirnya menyadari bahwa pemerintah telah gagal dalam berbagai level dan kekayaan Iran telah dirampas untuk mendanai terorisme di luar negeri. “TIME FOR CHANGE”, bunyi ciutan Donald Trump.

Kedua, dukungan terbuka Presiden Amerika Donald Trump kepada gelombang aksi protes di Iran, diasumsikan mengacu pada informasi akurat tentang gerakan aksi tersebut. Namun dukungan tersebut juga bisa kontra produktif. Khususnya setelah Kemenlu Rusia menegaskan “Aksi protes itu adalah persoalan dalam negeri Iran, dan menolak campur tangan negara lain”.

Ketiga, seolah ingin membalas ciutan Donald Trump, Presiden Iran Hassan Rouhani pada 1 Januari 2018 menegaskan, "aksi-aksi protes yang sedang terjadi adalah sebuah peluang, dan sama sekali bukan sebagai ancaman terhadap rezim".

Keempat, secara umum pemerintah Iran menilai, aksi protes di berbagai kota Iran dimotori oleh kelompok “perusuh”, yang didukung dan didanai oleh negara lain. Seorang pejabat tinggi Iran, Ali Shamkhani, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Iran, terang-terangan menuding tiga negara: Amerika Serikat, Inggris dan Saudi Arabia. Tapi Presiden Rouhani menekankan, tidak semua massa adalah perusuh. Sebagian dari pemrotes benar-benar karena ingin menyampaikan tuntutan konstitusionalnya.

Menurut beberapa sumber, sampai hari ke-5 aksi protes (1 Januari 2017), aparat keamanan telah menahan sekitar 400 motor penggerak aksi protes. Dan seperti diduga banyak pengamat, aparat keamanan Iran sudah menegaskan, mulai hari ini (01 Januari 2018), aparat keamanan akan menindak tegas para perusuh. Sebab “Merusak kantor polisi, bank, kantor pemerintahan adalah tindakan yang tidak bisa ditolerir”.

Kelima, jatuhnya korban tewas sampai 20 orang dari kalangan massa, plus 1 polisi, yang terjadi hanya dalam tempo 5 hari demo (28 Des 2017 sd 1 Jan 2018) menunjukkan, massa aksi mungkin lebih brutal, atau Pemerintah dan aparat keamanan daerah di setiap kota tampaknya tak mau ambil resiko. Muncul dugaan bahwa besar kemungkinan jumlah korban tewas lebih banyak dibanding yang diberitakan oleh media-media lokal di Iran. Namun besarnya jumlah korban itu juga dapat memicu simpati lebih besar untuk mendukung aksi protes.

Keenam, dari sekitar 21 kota yang menjadi titik aksi protes, sebagian besar adalah kota-kota kecil (kira-kira setara dengan kota kabupaten di Indonesia). Cuma ada sekitar empat ibukota provinsi yang menjadi titik aksi (Kermanshah, Zanjan, Hamadan, Mashhad), plus aksi di ibukota Teheran. Yang juga menarik, sebab sebagian besar kota titik aksi berada di wilayah utara, barat dan tengah.

Meskipun begitu, persebaran kota titik aksi juga menunjukkan bahwa aksi kali memiliki justifikasi bahwa aksi itu dipicu oleh berbagai persoalan ekonomi yang sudah tak tertanggungkan: inflasi tinggi, pengangguran, tingginya harga kebutuhan pokok, belum lagi pajak baru.

Ketujuh, berbagai pamflet dan dan yel-yel aksi antara lain berbunyi: “Death to Ali Khamenei”, pemimpin spiritual tertinggi di Iran. Tapi menurut Azadeh Moaveni, mantan koresponden majalah Time untuk wilayah Timur Tengah yang menulis di theguardian.com, 1 Januari 2018, slogan “Death to the dictator” sudah biasa diteriakkan oleh orang Iran kalau sedang marah. Yel “Death to...” sudah menjadi budaya, yang diucapkan begitu rakyat Iran berkesempatan menyampaikan tuntutan.

Kedelapan, menurut sejumlah laporan, para pedemo juga meneriakkan yel-yel yang mendukung Syah Iran Reza Pahlevi, penguasa Iran yang digulingkan oleh Revolusi Islam tahun 1979: “Syah Reza, Semoga Tuhan Memuliakan Arwahmu”, begitu bunyi sebuah pamflet di tengah massa. Namun adanya yel-yel yang mendukung pemerintahan Syah Iran diperkirakan justru akan semakin menciptakan resistensi di kalangan pendukung rezim mullah, yang kini sedang berkuasa.

Kesembilan, salah satu kekhawatiran pemerintah Iran dan pendukungnya adalah jika motor penggerak massa mampu memobilisasi massa yang tersebar di berbagai kota untuk datang ke ibukota Teheran guna menggelar aksi gabungan. Namun belum ada indikasi kuat akan terjadi mobilisasi massa daerah ke ibukota Teheran. Jika pun itu terjadi, pemerintah Iran mungkin akan menggelar aksi tandingan (pendukung rezim) dengan massa yang lebih besar. Dan itu berarti membuka peluang terjadinya gesekan langsung antar massa pro dan kontra.

Syarifuddin Abdullah | 02 Januari 2018 / 15 Rabiul-tsani 1439H.

Sumber foto: alhayat.com

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler