x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Celingu'an Serba Salah

Cerita pendek yang dipungut dari, "perca yang dibuang," kata Putu Wijaya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Undangan itu tak biasa tergeletak di meja ruang tamu, dimana Pak Sokran biasa menumpuk segala bentuk kertas, buku, undangan, selebaran yang didapatnya dari para tetangga atau sales promotion girl (SPG) rokok atau tukang sedot WC yang berseliweran tiap hari di depan rumahnya. Disebuah Dipan Bambu di teras rumahnya yang rindang karena pohon kelengkeng berdaun lebat menghalangi sinar langsung matahari masuk ke rumah, digenggamannya dengan gurat alis tebal yang payah ia memandangi surat undangan begitu dalam, sepertinya berisi pesan teramat penting yang tak bisa disamakan dengan undangan lainnya, sekelas undangan kenegaraan biasanya bahkan. Bukan undangan resmi dari institusi tinggi tingkat kelurahan atau rendahan tingkat RT/RW atau undangan walihaman khitan atau khataman tiap 2 minggu sekali di mushola belakang rumahnya. Karena, dari kepala hingga bawah surat undangan itu tanpa dibubuhi cap stempel lambang organisasi atau lembaga apapun.

“Satu dusun diundang semua,” kata Bu Sokran. “Jadi bapak wajib datang.”

“Itu yang aku maksud,” jawab Pak Sokran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Mau mendadak agendakan acara dadakan ya? Biar gak jadi datang kayak tahun lalu.”

“Ya gak gitu juga bu. Cuma?”

“Cuma Apa? Kalau bapak gak jadi datang nyesel, makanannya gak ada yang gak enak. Tahun kemarin para ibu-ibu yang diundang, hidangannya ada steak, rendang daging unta Maroko, sate kuda Turkey, pepes Salmon Palestina, ikan bakar bumbu pecel Winna, papeda sayur lodeh Bojonegoro, ayam rames Ukraina, kambing guling Venezuela, pizza sambal terong Manado, nasi goreng Timor Leste, rawon udang Jepang, sphaghety bumbu petis Sumenep, soto daging dan soto ayam Capetown, cap cay Uzbekhistan. Pokoknya semua makanan khas dari sabang sampai merauke, dari eropa hingga skandinavia lengkap dihidangkan di meja ruang tamu Pak Robert.”

“Ya percuma kalau habis makan kenyang, terus lupa bungkus untuk buah tangan yang di rumah.”

“Itu namanya tak tau malu, iya kalau makan di warung tinggal pesan, bungkus atau makan di tempat, itu perkaranya si pemesan yang harus difasilitasi oleh penjual. Lah? Ini kan undangan, mau bungkus bagaimana? Kan malu,” kata Bu Sokran sambil melipat kaos oblong dan pakaian yang habis disetrika. Pak Sokran sambil merogoh kolong meja tempat biasa ia menyimpan semir sepatu dan sikatnya. Sepasang pantofel slop dengan ujung sepatu cembung dikeluarkannya dari kotak kayu coklat kehitaman, hendak disemirnya ulang agar mengkilap. Sepertinya memang sengaja, pantofel slop itu disiapkan untuk menghadiri undangan perayaan hari natal di kediaman Pak Robert, besok. “Lagi pula gak ada kertas minyaknya, mau bungkus gimana?”

Sebuah undangan yang berisikan kalimat pasif yang mudah ditebak, tak lebih dari 150 karakter yang berisikan permohonan hadir, dimulai dengan pembukaan kalimat. “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Diketik dengan font microsoft word times new roman, tanpa hiasan atau motif apapun, hanya saja beberapa kalimat sengaja dicetak tebal bold dan italic, dicetak dalam kertas berukuran A5. Undang itu jatuh tanggal 25 Desember, tepatnya besok, waktu ba’da Sholat Isya’ tertulis jelas di undangan tanpa amplop, yang mungkin digandakan dengan mesin fotocopy menggunakan kertas HVS seberat 70 gram. Pada akhir dan penutup surat tertulis, “Wallahul Muwafiq Ila Aqwamittariq Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”

“Kalau tidak hadir sekali saja, bisa dikira macam-macam, mau menutup-nutupi ketidakhadiran kita, juga tidak mungkin. Acaranya cuma setahun sekali, gak bisa diundur atau dipercepat barang sehari.”

“Bisa ketahuan kalau kita sengaja gak sengaja untuk absen dari undangan, sedusun cuma Pak Robert saja yang Nasrani. Dan tiap tahun gak pernah kelewatan serumahpun undangan untuk kita.”

“Kenapa harus menunggu undangan? Apakah warga memang malas dan tidak mau datang setiap tanggal 25 Desember ke rumahnya.”

“Bukannya gak mau lebih dulu datang tanpa undangan. Undangan itu selalu lebih dahulu tiba di rumah kita jauh-jauh hari sebelum tanggal 25 Desember.”

“Harus ada cara lain.”

“Untuk apa? nyetop undangan yang mau disebar.”

“Bukan, itu gak etis, kriminal, naif.”

“Mau halang-halangi Pak Robert, lewat pesan WhatsApps (WA) untuk jangan undang para warga lagi?”

“Bukan, itu intoleran.”

“Atau? Mau bantu-bantu nyebar undangan, tapi undangannya ditilep dengan sengaja, agar para warga gak ada yang jadi datang di tanggal 25 Desember, seakan-akan ada pemboikotan massal.”

“Jangan, itu radikal,” pantofel slop itu ditaruhnya di rak sepatu, tempat biasa keluarga Pak Sokran menaruh segala jenis alas kaki. Tampak mengkilap bagai kaca, berpendar menyilaukan mata saat sebinar sinar matahari menghunus permukaan kulitnya. Karena begitu mengkilap kulit hitam pantofel itu, sampai-sampai mampu memantulkan bayangan sejelas kaca. Dari pantulan itu nampak Pak Sokran ternyata bergegas keluar rumah, dengan mengenakan sarung dan kemeja kusut yang masih belum terkancing semua maniknya. Iqomah tanda Sholat Dhuhur akan dimulai baru saja melengking menghenyak pemukiman dusun siang itu. Hanya menghenyak belaka, tapi tak menggugah warga yang sengaja tak sengaja mendengarnya.

“Harusnya malu, kalau setiap kedatangan kita disana, hanya karena ada undangan. Dikira kalau tidak ada undangan kita tidak mau datang, gitu? Mau gimana lagi, datang tidak datang ukurannya adalah pada adanya undangan. Terlepas dari persoalan malu? Aku mau datang sebelum undangan itu tiba di rumah.”

“Itu cuma undangan, yang penting datang, urusan selesai. Perkara ikhlas gak ikhlas kan bukan urusan kita yang menilai bagaimana.”

“Semua hal memang bukan urusan kita, ngalir seperti biasa. Bahkan jangkrik direramban dekat rumah Pak Ponco juga tetap hidup, meski hari minggu kemarin habis dipapras warga pas kerja bakti, toh bukan urusan kita. Aku cuma takut salah sangka.”

“Salah sangka soal apa? Urusan kita atau urusan mereka.”

“Urusan kedua-duanya. Karena ini rumit dijelaskan. Kita mau menyapa secara spesial Pak Robert sebagaimana tiap tahun dan tiap lebaran dia menyapa kita di rumah kita masing-masing. Mengajak seluruh anggota keluarganya; istrinya, anaknya, istrinya yang satunya lagi dan anak tiri dari istrinya yang satunya, yang katanya istrinya pertama tak tau menau soal perempuan yang katanya disebut istrinya yang baru. Kadang-kadang mengajak seorang gadis belia yang kita kira anaknya yang kuliah di Frankfrut, Jerman. Eh! Ternyata temen dekatnya Pak Robert, sampai-sampai kita sungkan, gak enak dan gak berani mau berfikiran jelek ngalor-ngidul, karena Pak Robert bawa gadis belia simpenannya itu datang mertamu di rumah kita. Kita ini serba salah.”

“Malu juga kadang-kadang, bukan soal kita yang ditelanjangi oleh orang lain akibat hal buruk yang melekat dalam diri kita. Itu biasa. Seringkali kita malu akibat kebaikan-kebaikan yang dibuat orang lain dan kita tak mampu berbuat hal baik yang sama seperti orang itu.”

“Solusinya apa? Datang sebelum tanggal 25 Desember atau mencegat peredaran undangan jauh-jauh hari sebelum si kurir menyelipkan di pagar-pagar rumah kita. Ah yang mana nih? Semua bersiko.”

“Kita harus datang bukan karena undangan, itu yang perlu kita jelaskan pada Pak Robert bahwa tanpa ada undangan kita tetap akan datang ikut merayakan, bersenang-senang di rumahnya tanpa perlu ada dugaan, sangkaan dan saling lipat tangan dibalik punggung teman. Kebaikan kita harus ditunjukkan sejelas-jelasnya biar gak salah sangka, jadinya serba salah. Kalau perlu semurni-murninya kebikan kita dipamerkan telanjang bulat tanpa bra dan sempak. Kalau masih ada undangan di depan pintu rumah warga tahun depan, berarti niat baik kita sudah dipergoki oleh Pak Robert dan itu berbahaya.”

“Wah ini gak macam-macam untuk memutuskan besok jadi datang atau tidak. Kalau nekat datang bisa dikira macam-macam tanpa persiapan. Bisa dikira memang datang karena undangan atau dikira memang datang karena niat ingin turut bergembira menikmati perayaan.”

Malam yang mendebarkan tiba. Bukan berarti semua persiapan rampung atau kesepakatan tentang sebuah debat telah sampai pada kata mufakat. Justru sebaliknya, perdebatan belum selesai sepertinya tak akan pernah selesai, tentang bagaimana caranya menunjukkan kebaikan tanpa dicurigai. Tak ada lalu lalang warga yang berarti ba’da Maghrib sore itu, sebagaimana biasanya di pemukiman dusun Pak Sokran, apakah memang hari itu adalah hari libur. Sepertinya para warga setelah sholat maghrib mendadak sibuk mempersiapkan pakaian apa yang pantas, yang necis, yang menarik dan yang anggun untuk menghadiri undangan perayaan natalan di kediaman Pak Robert. Bapak-bapak sibuk memilih sarung dan kopyah mana yang pantas dengan satu jenis kemeja batik, yang ibu-ibu sibuk melipat dan membuntal kerudung dengan model kekinian. Semua warga tak ingin melewatkannya, tak peduli ada tidaknya undangan, yang penting makan. Termasuk keluarga Pak Sokran. Istrinya, justru lebih siap daripada suaminya, siap sedia dengan hijab pasmina asli Lombok kiriman hadiah dari ponakannya yang minggu lalu travelling kesana. Pasmina tenun asli Lombok itu dicustome dengan model lekukan dan lipatan eksotis yang dipelajarinya dari tayangan channel youtube tutorial hijab buatan gadis belia yang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Aini memandunya. Ibu dan anak itu ingin tampil kembar nan eksotik dengan ornamen bunga-bunga dan renda-renda hijab yang beragam macamnya. Hanya sedikit berbeda pada pemilihan warna, Aini memilih warna yang cerah sengaja ingin berbeda dengan ibunya dalam soal itu, agar tidak dikira sama tuanya.

Pak Sokran sama sibuknya, tapi bukan disibukkan dengan pemilihan baju apa yang pas dan pantas untuk hadiri undangan. Justru Pak Sokran sedang menyibukkan dirinya dikursi rotan lama di teras sembari menyemprotkan badan burung kenari peliharaanya yang meloncat kesana kemari disudut sangkar yang baru diturunkannya dari balkon rumah. Ia mandikan burung kenari kesayangannya itu. “Aku nanti harus minta maaf sama Pak Robert,” katanya. Sepatu pantofel slop mengkilat itu telah diletakkannya di atas meja, sembari melecutkan ring roda korek gasnya untuk menyalakan bara api pada puntung rokok kreteknya. Pak Sokran akan berangkat ke rumah Pak Robert setalah sebatang rokoknya tandas.

“Ibu berangkat sama dengan ibu-ibu yang lain, atau harus sama bapak, kayak sepasang pengantin baru?” Celetuk di depan kaca sambil mengancing lipatan hijab di ubun-ubunnya.

Gak usah aneh-aneh. Aini gak mau kayak anak kecil datang ke undangan sama kedua orang tuanya,” ketus Aini tanda tak setuju.

Semburan panjang asap putih mengepul, mirip knalpot kopaja hijau yang tak lulus uji emisi karena nyogok Petugas Dishub agar diloloskan razia. Tanpa berkata-kata, kepulan asap putih itu adalah jawaban bahwa Bu Sokran dan Aini bisa berangkat kapanpun tanpa harus menunggu sang kepala keluarga. “Aku harus minta maaf,” tukasnya lagi.

“Buat apa?”

“Aku malu, aku gak enak, aku sungkan, aku tak kuasa kalau nanti harus makan banyak-banyak disana, meskipun disana pasti ada lontong sayur Blendrang kuwah kari ayam. Aku tak kuasa harus makan apa saja hidangan yang disuguhkan. Aku malu, sepertinya aku tak layak datang menghadiri undangan itu. Aku ingin sesekali datang ditanggal selain tanggal 25 Desember, itu tak adil kalau tidak pernah ada, untuk mengucapkan selamat natal dan tahun baru, meski tanpa undangan. Aku ingin sekali, tapi apa daya.”

“Bapak kalau mau berangkat, sudah ditunggu bapak-bapak di pos ronda depan gang,” kata Bu Sokran dengan suara agak keras membacakan pesan chatting grup WA warga dusun, dari depan teras rumah. Pak Sokran berdiri dengan tak bergairah, ditaruhnya puntung rokok ditengah asbak, kedua tangan menggenggam lengan kursi yang menumpunya berdiri dengan lunglai. Dan tatapan dalam kedua mata ke arah bawah, sesekali kerutan kening menyibak pelipisnya, undangan kali ini benar-benar memberatkan hatinya. Namun nampak pula ia tak peduli, sepertinya. Apalagi istrinya, tak pernah tahu betul detail perkara isih pikiran dan hati suaminya. Dengan melipat kembali dua sisi sarung kemudian melingkis kembali lekukan utama sarung bermotif kotak-kotak warna hijau yang sempat morat-marit tak karuan gulungannya. Rokok yang barusan ditinggalnya dengan puntung yang masih nyala baranya, menimbulkan seleret garis asap putih membumbung ke atas lalu menggelayuti tubuh Pak Sokran yang menjauh menuju ke kamar mandi. Kecipak dan deburan air yang diangkat dari bak kamar mandi terdengar mendesah, disusul suara gemericik air setali tipis jatuh dari ember padasan yang menghujam lantai keramik. Pak Sokran mengambil air wudlu, sepertinya tak mau berangkat menghadiri undangan sebelum menghadiri perintah sang khalik untuk rutinan sholat fardhu.

Mungkin malam ini, adalah malam yang sibuk bagi semua warga dusun mempersiapkan penampilan diri untuk menghadiri undangan, termasuk para takmir yang cuma berisikan dua orang anggota, sebagai ketua dan sekretaris. Lantunan lafads adzan dari muadhzin sepuh yang sumbang nadanya sebagai petanda masuk waktu Isya’ untuk sementera waktu tak dikumandangkan. Para warga dusun diharap pengertiannya, sholat Isya’ berjamaah sendiri di rumahnya masing-masing dengan anak dan istrinya. Untuk malam ini saja.

Pak Sokran langsung datang di rumah Pak Robert, bukan dengan rombongan bapak-bapak, karena 30 menit yang lalu rombongan sengaja meninggalkannya karena terlalu lama menunggu, tak nampak pula batang hidung. Sesampainya disana, tepat di depan pagar, belasan warga lainnya yang menjadi undangan telah berjejal rampi duduk di kursi besi lipat untuk mengudap makanan. Mereka lahap, duduk berjajar sesekali berdiri bukan untuk menaruh piring dan pungkas menyudahi makan. Tapi untuk berjalan menuju antrian prasmanan untuk mengambil lauk pauk lagi yang lainnya. Ada yang sepiring cuma satu menu saja, tapi dengan porsi penuh. Ada sepiringi dengan 2 menu lauk makanan dengan porsi sedang, ada yang sepiring 3 menu lauk makanan dengan porsi sedikit. Beberapa lainnya telah mengudap habis makanannya, kini mereka sedang berhadapan dengan hidangan penutup; es campur dengan 15 macam buah dalam mangkuk ukuran besar. Pak Sokran tak ikut berjejal ditengah kerumuman antrian prasmanan, ia menepi, tepat berdiri di depan ambang pintu utama yang berukuran 2 kali tinggi tubuhnya sambil menoleh kekanan kekiri, tak seperti undangan lainnya yang tak sungkan untuk turut antri dengan piring kosong sisa tadi untuk cari makan melahap prasmanan. Pak Sokran beranjak dari posisi semula ia celingukan, ia sedang mencari tuan rumah, katanya ingin minta maaf, niatnya baik, tapi baikpun harus bersabar mengutarakannya.

Alunan lagu Koes Ploes dan Betaria Sonata sesekali terselip album kenangan Rhoma Irama menjadi backsound pesta perayaan malam natal tahun ini di rumah Pak Robert. Tidak ada pohon natal di ruang utama tempat perjamuan para tetangga kanan kiri rumahnya yang menjadi tamu, lampu kelap-kelip warna merah memang menjadi dominan ornamen ruang tamu berukuran 8 m x 6 m itu, tapi bukan dimaksud untuk menciptakan kesan bahwa natal telah tiba. Justru nuansa agustusan yang sengaja ditonjolkan tuan rumah, dominasi warna merah dan putih pada ornamen di dalam rumah anggaplah tengah merayakan hari kemerdekaan, jika masih ada yang rikuh tentang hukumnya mengucapkan pesan keselamatan pada yang berlainan kiblat dan keyakinan.

Pak Sokran masih celingukan. Kata seorang tetangga depan rumahnya yang kebetulan jadi undangan malam itu menuturkan jika tuan rumah sedang ada tamu di ruang atas, hanya dengan menunggu beberapa menit katanya, ia akan bertemu dengan Pak Robert.

Pak Sokran dipaksa duduk oleh keadaan, diantara para undangan yang tengah payah sempoyongan kekenyangan melahap kudapan, disana ia terpaksa membaur dengan ketidaktenangannya. Tidak enak juga cuma diam duduk-duduk tak mengudap apa-apa. Ia takut kalau niatnya itu dipergoki orang. Hanya mengudap buah pepaya yang kulut daging buahnya karena terlalu lama bersentuhan langsung dengan es batu sebagai pendingin suhu termos buah agar awet. 15 menit menunggu cuma 2 buah pepaya asli California sepanjang 30 sentimeter tandas dilahapnya, Pak Robert belum juga muncul, pesta makin meriah kembang api meletup membuyarkan selimut hitam di awan bermandikan cahaya, backsound makin riuh kini lagu Godbless kencang melengking membuyarkan kesyahduan lagu Betaria Sonata sebelumnya. Pak Robert muncul dari tengah kerumunan dan hiruk-pikuk petugas katering makanan yang makin malam makin sibuk karena riuhnya para tamu undangan melehab makanan, muncul dengan keringat mengucur dari ubun-ubunnya menetes diselasar kening, ke pipi hingga jatuh di kerah kemeja batik cerah berwana biru. Ia muncul ditengah cecar warna hitam, kerumuman itu berduyun bak lautan, para tetangga tak ada yang menyapa, memanggil atau sekedar menjabat tangan sang tuan rumah yang makanannya dilibas habis dengan kurang ajar. Musik rock meregang tamu bergoyang, sebagian berjingkat, ruang tergenang, beberapa kali teriakan kesetanan, tamu terhuyung mabuk bukan karena wiski, ciyu atau topi miring, Pak Robert sengaja tak menyediakan itu, walaupun cukup murah dan mudah baginya memesan sekarang juga. Karena ia selalu ingat para tamu undangannya mayoritas muslim yang taat. Para tamu sempoyongan akibat kekenyangan oleh makanan yang 5 tahun sekali mungkin juga belum pasti bisa mereka rasakan. Apakah 5 tahun sekali itu adalah malam ini penghujungnya? Mungkin itu yang menyebabkan mereka kesetanan mengudap makanan.

 Malam ini malam pembebasan rasa penasaran terhadap aneka makanan yang cuma bisa ditonton dari tayangan telivisi, instagram dan medsos, yang tak pernah tahu bagaimana rasanya. Beberapa tergeletak dipinggir taman belakang ruang tamu rumah Pak Robert, ada yang berenang di kolam, tidur terlentang di bibir kolam, teler dengan sisa nasi kuning dan suwiran daging unta kebab bumbu nangka Khas Irian Jaya di kanan-kiri pipinya. Makan malam besar itu sepertinya tak cuma dihadiri oleh para undangan, bagi mereka yang tak diundangpun kabar tentang ba’da isya’ ada hajatan makanan rampasan perang di rumah seorang yang terkenal paling kaya di 3 kecamatan, tak butuh waktu lama tersebar kabarnya di seluruh dusun dan kecamatan tetangga sebelah. Mereka berduyun datang silih berganti, lapangan bulu tangkis depan gang rumah Pak Robert disulap menjadi tempat parkir para tamu dadakan oleh beberapa pemuda kreatif yang kekenyangan tapi tak punya duit untuk beli minuman keras dan rokok eceran setelah mertamu dan makan besar di rumah Pak Robert. Sebatas makan sampai kenyang hanya selesai mungkasi nafsu perut saja, nafsu batin karena tak kunjung dapat kerjaan setelah terkena sabetan jatah outsourching bulanan pabrik, pelampiasannya cuma cukrik saja. Kalau ada cara lain boleh saja disebut obat, tapi tak mengobati apa-apa.

Piiiaaarrrrrr

Suara pecahan benda berkaca menghentak mereka yang berada di taman belakang rumah dan sontak menoleh kearah bagian dalam ruang tamu. “Cuma gelas atau piring mungkin. Ayo makan lagi ini pesta kita.” Sebagian merokok, sebagian terdiam, sebagian diam-diam membungkus makanan, sebagian muntah-muntah bukan karena kekenyangan karena keselek mulut mereka yang terlalu banyak jenis makanan yang masuk secara bersamaan. Buah nanas, paha ayam, ati ampela panggang, semur daging cincang kecap sekali lahap secara bersamaan, dan sebagian lagi sibuk rerasan. Pria tinggi dengan punggung agak bungkuk, bersepatu pantofel coklat doff itu muncul celingukan juga, entahlah apakah kebetulan mencari Pak Sokran.

“Pak Sokran ayo masuk, ambil makanan. Kok bapak belum makan apa-apa. Ayo-ayo ambil makanan yang banyak dulu nanti kita ngobrol diatas.”

“Sudah Pak Robert sudah. Gimana kabar bapak sehat?”

“Ah sudahlah ayo masuk ambil makanan dulu,” tangan kanan Pak Robert mendorong punggung pak Sokran untuk diajaknya masuk ke bagian deretan meja prasmanan.

“Sudah Pak Robert sudah, nanti kekenyangan gak enak. Berhenti sebelum kekenyangan itu yang penting bagi kita.”

“Tapi kata kanjeng nabi mempersilahkan dan memuliakan tamu dengan jamuan paling terbaik adalah keutamaan, kan gitu Pak Sokran,” Pak Sokran keselek mendadak batuk berat selama 5 detik. “Makan sama saya Pak Sokran, ayo temeni saya makan.”

Silat lidah yang dianggap ampuh untuk menolak tawaran makan dari sang tuan rumah gugur tak berbekas. Ketika Pak Sokran didapuk langsung untuk menemani sang tuan rumah makan, ia tak mampu menolak. Berjalan antri dibelakang tuan rumah, menu makanan yang diidam-idamkannya; sayur Blendrang tidak ada, lalu diambilnya menu sate daging kambing dan acar timun yang disiram langsung oleh bumbu kacang di atas nasi putih hangat. Pak Sokran diajak makan bersama di ruang tamu lantai 2. “Di atas ada keluarga saya pak, nanti saya kenalkan ayo makan dulu.”

Mereka berjalan beriringan dengan membawa piring penuh makanan dimasing-masing tangan, melewati 70 kelindan anak tangga selebar 2 meter dari bawah keatas, semua orang yang melewati tangga ini pasti mendapat sudut leluasa memandang lautan manusia berjejal mengantri berdesakan diruang tamu meminta makanan. “Seperti koloni hewan pengerat. Akukah diantara mereka?”

“Iya bapak terima kasih,” hanya membutuhkan waktu 2 menit Pak Sokran tandas melahab sepiring nasi putuh lauk sate kambing. “Sebenarnya saya mau minta maaf ke Pak Robert.”

“iya silahkan. Tapi soal apa ya, pak? Monggo kok cuma sate kambing aja, ayo coba lobster bumbu rujak asli Belgia, belum pernah coba kan?” Sembari mendengarkan pembicaraan Pak Sokran, Pak Robert sibuk dengan melahap makanan sembari memicingkan pandangan ke arahnya, dengan sedikit suara mendeham sesekali sebagai petanda ucapan iya atau setuju, disela mulutnya yang sibuk mengunyah makanan.

“Saya mau minta maaf kalau sebagian dari warga dusun sini, kemarin berbodong-bondong pindah sholat jumat di Jalan Thamrin, di Monas, bakar-bakar ban, jarah toko-toko klontong pake modal peci, pentungan bambu, spanduk protes penistaan agama dan Allahuakbar. Maafkan saya maklum mungkin lagi panas.”

“Ooo iya iya saya tahu, gak apa-apa kok itu biasa. Ayo Pak Sokran monggo tumis daging salmon cincang asli Laos juga enak ayo dicicipi.”

“Mau bagaimana lagi, kalau dihalang-halangi pakai alasan ini, juga gak mempan. Terus, ditahan-tahan pake alasan itu juga gak mau didengar, katanya; udah terlanjur jadi musuh agama dan melawan Tuhan, halal darah dan najis luar dalamnya. Orang-orang ternyata manut sama yang ngasih makan bagi kelangsungan perut merek yang tiap hari lapar karena ditipu pemodal. Modal sarung, baju kokoh kopyah putih, uang transport pulang-pergi, makan full 3 kali sehari, uang saku buat beli bensin, plus diajak berwisata sembari sholat jumat di jalanan ibukota mereka ternyata gak menolak. Sekali lagi saya minta maaf.”

“Ooo iya iya saya tahu, gak apa-apa kok itu biasa. Ayo Pak Sokran monggo tumis cumi-cumi bumbu Balado khas Panama legit loh rasanya, ayo dicicipi.”

“Saya minta maaf sekali pada Pak Robert. Kalau bapak sempat gak enak hati pada warga dusun ini.”

“Ooo iya iya saya tahu, gak apa-apa kok itu biasa. Ayo Pak Sokran monggo nasi kebuli daging sapi Yunaninya juga gurih lo ayo dicicipi.”

“Tapi aman kok pak, yang jarah-jarah beberapa kios-kios di pinggir jalan sudah diamankan Polisi kok. Aman-aman masih aman terkendali pak aman. Lagi pula tuntutannya yang belasan tahun pas terakhir sidang ternyata makin ringan kok pak jadi ditahannya gak akan terlalu lama.”

“Ooo iya iya saya tahu, gak apa-apa kok itu biasa. Ayo Pak Sokran monggo ikan gurame bakar asam asin manis khas Berlin juga enak ayo dicicipi.”

“Saya juga sekaligus minta maaf kalau sempat ada ketidakenakkan hati Pak Robert sama para warga dusun.”

“Ooo iya iya saya tahu, gak apa-apa kok itu biasa. Ayo Pak Sokran monggo bebek betutu Kuba juga empuk loh dagingnya ayo dicicipi.”

“Sekaligus juga minta maaf jikalau kemarin ada yang protes lagi besar-besaran bakar-bakar ban, porak-porakdakan warung makanan yang jual produk Amerika, karena pindahnya kedubes Israel oleh Amerika di Palestina, saya minta maaf yang pak sekali lagi maaf sekali.”

“Ooo iya iya saya tahu, gak apa-apa kok itu biasa. Ayo Pak Sokran monggo iga sapi panggang bumbu kecap Brazil juga laziz loh ayo dicicipi.”

“Terima kasih pak sekali lagi sudah mau mendengar ucapan maaf saya, saya sudah kenyang pak, kalau begitu saya mau pamitan.”

“Loh kok buru-buru, saya belum ngomong apa apa loh, ayo jangan pulang dulu,” Pak Sokran yang kelewat malu setelah penghabisan rai gedeg endas tank mendadak ingin memungkasi mertamunya di perayaan natal. Tapi Pak Robert menghalanginya untuk beranjak, malah mengajaknya di sebuah teras di lantai dua yang langsung berhadapan dengan halaman luar, disana mereka berdua dapat melihat pemandangan dusun dipinggiran kota yang teramat tua ini, yang dari jauh nampak kelap-kelip lampu penerangan jalan yang kecil voltasenya.

Pak Robert berucap. “Tersinggung pasti iya, maling kalau ketahuan harus dihajar, tukang copet kalau kepergok minimal ya diteraki dulu urusan ketangkap gak ketangkap sudah menjadi nasib dari si korban. Mau dibakar, dimassa, atau ditelanjangi ditempat, terserah. Salah ngomongnya juga dinilai salah, gak kaget kalau reaksi begitu besar dari mayoritas agama mentung kepalanya, meskipun ditunggangi politik, kita semua paham, apa sih yang gak mustahil soal urusan perut, dengkul dan kemaluan. Urusan kita yang ada diluar pagar dan halaman pekarangan politik cuma merawat tradisi tua bersama-sama bagi yang bersarung beda warna. Pak Sokran orang baik tidak seharusnya menghukum diri sendiri sekeras itu. Itu bukan heroik.”

“Tapi bukan yang saya anut jika ada yang seperti begituan, memang benar ada kelompok-kelompok yang agak keras kalau soal begituan sumpah.”

“Saya tau, toh warga dusun yang jelas tidak ada yang menjadi bagian dari kelomok itu kan.”

“Kalau Pak Robert sudah tahu mengapa masih mengirimi kami surat undangan, bukankah kami punya perasaan yang tak perlu diperintah untuk mengucapkan.”

“Iya saya tahu.”

“Kalau begitu tahun depan gak perlu ada undangan ya pak di rumah kita.”

“Iya saya tahu, tapi bukan untuk itu fungsi undangan yang saya buat.

“Untuk apa?”

“Buat jaga-jaga aja, siapa tahu ada yang hatinya kepincut mau datang untuk merayakan natal kan termasuk dosa bagi dia yang muslim. Fungsi undangan biar jelas kalau mereka yang saya undang untuk ikut ramai-ramai merayakan kebahagiaan yang saya rasakan tentang hari raya agama saya, bukannya ikut merayakan hari raya natalnya, yang membuat saya bahagia. Toh uang anggaran prasmanan ini uang tabungan saya, bukan uang gereja, toh orang geraja tidak saya suruh datang kalau kebetulan ada yang beragama Kristen datang malam ini, itu cuma kebetulan undangan saya tulisannya khusus warga dusun sini. Siapa tahu Tuhan mau menghukumi kekeliruan niat dari para undangan makan di rumah saya, kan saya yang gak enak buat mereka berdosa dihadapan Tuhannya. Cuma satu caranya, mengelabuhi Tuhan agar menyelamatkan mereka dari kemarahanNya, yakni dengan menyebar undangan ini.”

Pak Sokran setelah percakapan panjang lebar yang tak terlalu panjang itu berpamitan untuk turun kebawah dan pulang. Sebelum itu ia dikenalkan pada keluarga besar Pak Robert yang ternyata secara sengaja berpoligami 2 istri yang tak lama lagi akan menjadi beristri 3. Perempuan belia yang sempat dibawa mertamu ke rumah Pak Sokran, bulan depan akan dinikahinya diatas persetujuan kedua istri tuanya, dan semua warga dusun, warga takmir masjid dan warga geraja akan diundang berpesta di pernikahan mereka.

Pak Sokran bersalaman, dengan calon istri baru Pak Robert, lalu beranjak menuruni anak tangga dengan ratapan sayu mirip sebagaimana awal ia datang 4 jam yang lalu hanya saja matanya tak memandang kesegala arah, cuma satu titik yang dalam sudut meja antrian prasmanan, sepertinya beban pikiran terurai. Hanya terurai dan terlepas tanpa pengikat diantara benangnya. Dilantai dasar ia berjalan tapi tak langsung menuju pintu utama. Menyempatkan diri di meja prasmanan ia mengambil sebuah piring yang bersisikan nasi kebuli porsi sedang, sebuah iga bakar kecap, bandeng presto, dan cumi-cumi bumbu hitam di tuangkan bercampur diatasnya. Pak Sokran duduk ditengah kerumuman yang main malam makin riuh, karena undangan Pak Robet dijadwal berbeda tiap jamnya. Pak Sokran makan seporsi besar dengan 3 lauk tanpa diketahui oleh orang lain. Makannya lahap, tak ada yang tahu ia sedang melakukan penghabisan seperti sebagian besar para undangan.

Malam makin larut, musik makin kencang Pak Sokran keluar rumah Pak Robert dengan sempoyongan karena kekenyangan, namun 2 menit berselang ia kembali, dengan kertas minyak dan sebuah keresek hitam besar didekap ketiaknya. 

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler