x

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ke Mana Orang-orang Pergi Saat Tidak Pulang ke Rumah

Dengung percakapan menyesaki udara bar berlanjut. Orang-orang datang dan pergi silih berganti. Kota menelan mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gadis itu duduk sendiri di sebelah sang pemuda di ujung bar, menghubungkan titik dengan titik. Dia melihat saat pensil menggores buku gambar murahan, menari di permukaan halaman. Dia bertanya-tanya menebak dalam hati, sudah berapa lama si gadis berada di sana. Apakah gadis itu sudah duduk di situ ketika dia datang dengan rekan kerjanya? Atau sesungguhnya dia pernah melihatnya di sini kemarin, atau sehari sebelumnya? Atau hari-hari sebelum itu?

Teman-teman sekantornya mengobrol dengan keras di sisi yang lain. Mereka berdiri di antara dia dan jendela yang menghadap ke kota. Senja merangkak menuju malam begitu lambat, sehingga dia khawatir malam takkan pernah terjadi. Politik di tempat kerja menjadi topik utama diselingi latar belakang lain sehingga dia bisa fokus pada gadis itu.

Saat dunia mengabur di latar belakang, si gadis memperbesar gesekan ujung pensil pada lembar kertas dan serpihan arang sepanjang garis tampak sejelas bongkahan batu bara mentah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin si gadis merasakan diperhatikan, namun dia tak menunjukkan adanya gangguan tersebut. Matanya tidak pernah teralihkan dari kertas di hadapannya. Bisa dilihat bahwa setengah dari buku gambar itu telah dicorat-coret. Pemuda itu bertanya-tanya apakah dia sedang mengerjakan teka-teki secara berurutan atau memulai dengan titik acak. Tidak, pasti secara berurutan. Menghubungkan titik-titik menyangkut tata tertib dan keteraturan.

Dia bisa berbicara dengannya. Gadis itu sendirian. Dia tidak memakai cincin, meski tidak ada aturan baku bahwa para pecinta harus memakai cincin sebagai bukti ikatan. Tetapi, meskipun mungkin gadis itu memiliki pasangan yang sedang menunggunya di suatu tempat—apartemen, bar yang lain, atau sedang mengejar pantulan diri yang berkeringat di cermin salah satu pusat kebugaran—tidak ada yang menyalahkannya jika dia mengajaknya bicara. Hanya sekadar bicara.

Percakapan tanpa skenario mungkin bisa membantu senja menggapai malam lebih cepat baginya dan gadis itu. Dan mungkin saja, akan mengarah pada sesuatu yang lebih besar yang bermula dari keisengan mengobrol di bangku bar: makan malam, nonton film, atau apapun yang bisa terjadi antara dua anak manusia berlainan jenis.

Namun dia tak bisa menemukan jalan masuk. Kalimat pembuka bukan merupakan keahliannya. Setiap aksara dalam kata gagal menimbulkan getar bibir karena tersangkut di ujung lidah. Dan semakin lama dia berusaha, pikirannya semakin terjepit di antara kebisuan dan episode status memalukan di media sosial. Dia mulai panik bahwa kesempatan itu takkan pernah datang. Meskipun dia tahu tidak ada orang lain yang yang bisa merasakan kegelisahannya, keringat dingin mengalir dari kulit kepala di balik rambutnya yang lekat, yang dpat diartikan sdebagai pertanda kirim kepada orang-orang asing di sekitarnya.

Sikunya tersenggol sesuatu, membuatnya limbung nyaris berputar. Dia berpaling untuk melihat seseorang—lelaki dari HR yang dia tak ingat namanya—menatapnya kembali. Kepalanya miring ke kanan seolah tidak sabar menunggu jawaban darinya. Dia yang masih berjuang keras untuk melontarkan kata-kata yang macet dalam usaha membunyikan satu kalimat pembuka, senggolan itu membuyarkan usahanya, berakibat sengatan listrik statis turun di lengan dan dadanya. Orang HR itu mengangkat bahu seolah tidak peduli dan berjalan pergi.

Saat dia berbalik, gadis itu telah hilang.

Minumannya ditinggalkan tak tersentuh di samping buku gambar yang terbuka dengan pensil yang tergeletak di antara halaman. Dia bergeser menduduki kursi si gadis dan mengintip ke lembaran untuk melihat gambar yang dibuat, tapi ternyata sama sekali tidak ada gambar. Hanya ada garis acak dan titik yang tidak terhubung.

Dengung percakapan menyesaki udara bar berlanjut. Orang-orang datang dan pergi silih berganti. Kota menelan mereka. Apartemen yang kosong merajuk malam yang merangkak mencium dini hari.

Dia mengambil pensil dan membuka lembar baru.

 

Bandung, 4 Januari 2018

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB