x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keyakinan Lokal dan Politik

Potret masyarakat Mikung di Jawa Barat yang bertahan dari gempuran politik pihak luar

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Mikung Bertahan Dalam Himpitan

Penulis: Sofwan Samandawai

Penerbit: AKATIGA

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tebal: xxi + 130

ISBN: 979-8589-36-3

 

Pemberantasan kemiskinan sudah menjadi agenda sejak jaman dahulu kala; Demikianpun di Indonesia. Meski istilahnya sering berganti, namun program-program pemberantasan kemiskinan selalu menjadi kegiatan semua rejim yang berkuasa. Program pengentasan kemiskinan adalah upaya utama untuk mencapai cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu rakyat adil makmur sentosa. Bagaimana mungkin cita-cita tersebut terwujud apabila masih ada rakyat yang miskin?

Namun sayang, program-program kemiskinan sering dikuruskan hanya menjadi peningkatan pendapatan saja. Kemiskinan diukur dari fasilitas rumah yang ditinggali dan pendapatan yang diterima oleh sebuah keluarga. Akibatnya solusi untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan juga ‘hanya’ dalam bentuk tindakan ekonomi saja. Paling-paling ditambah dengan pendidikan dan kesehatan.

Program pengentasan kemiskinan seringkali adalah proses satu arah. Proses dimana pihak peng-entas yang sangat aktif dan pihak yang di-entas yang harus menurut. Para peng-entas bisa negara, lembaga swadaya masyarakat atau pihak-pihak lain yang peduli. Saat pihak yang akan di-entas kurang merespon, mereka dianggap bodoh atau tidak mau bekerjasama. Padahal ketidak-responan pihak yang di-entas ini bisa disebabkan oleh faktor lain yang sering luput dari perhatian para peng-entas.

Buku “Mikung Bertahan Dalam Himpitan” adalah sebuah karya penelitian yang menunjukkan kekuatan dari pihak yang tertindas. Kelompok Mikung yang tertindas memiliki cara untuk melawan secara tersembunyi terhadap hal-hal yang ‘dipaksakan’kepada mereka.

Sebutan Mikung (yang dalam Bahasa Sunda berarti anak jangkrik yang belum bersayap; atau berarti palsu dan menyimpang dari ajaran) dilekatkan kepada masyarakat Gunung Kembang Tengah di Tasikmalaya pada awal pembentukan Masyumi di jaman Jepang. Sebutan Mikung dilekatkan kepada mereka karena mereka dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Cara mereka menjalankan ajaran Islam berbeda dari kelompok NU yang berada di wilayah Gunung Kembang Selatan (kidul) dan berbeda dari kelompok PERSIS yang berada di Gunung Kembang Utara (kaler). Mereka dianggap menyimpang karena tidak melakukan ritual-ritual yang biasa dilakukan oleh kedua kelompok Islam tersebut. Namun orang Mikung tetap menganggap dirinya sebagai orang Islam.

Mereka dianggap tidak mendukung kelompok DI/TII dan bahkan dianggap sebagai pihak yang membunuh salah satu tokoh DI/TII. Saat pemberontakan DI/TII, kampung utara dan selatan mendukungnya, sementara kampung tengah lebih memilih bergabung dengan PKI. Pilihan untuk bergabung dengan PKI ini dilandasi bahwa PKI-lah yang bisa mengakomodasi cara beragama mereka. Saat seorang tokoh PADI (sayap DI/TII) dibunuh oleh orang DI sendiri karena dianggap telah menggunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri, penduduk Kampung Tengahlah yang dituduh melakukannya. Sejak saat itu stigma anti DI/TII semakin lekat.

Saat Orde Baru mereka diberi cap sebagai PKI. Pilihan mereka untuk bergabung dengan PKI telah membuat posisi mereka semakin sulit. Sebab pemerintahan Orde Baru memberi stempel kepada mereka sebagai orang-orang komunis. Pada tahun 1965, rumah-rumah orang Kampung Tengah banyak yang dilempari dan bisnis mereka (batik) dihancurkan. KTP mereka ditandai. Serangkaian ‘pembinan’ harus mereka jalani. Pemerintah setempat juga melakukan pengabaian terhadap mereka. Misalnya pada program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaminan Pengamanan Sosial (JPS) dan Kredit Usaha Tani (KUT), kelompok Kampung Tengah sulit untuk mendapatkannya. Stigma yang dilekatkan kepada masyarakat Gunung Kembang Tengah ini membuat mereka betul-betul terjepit.

Namun demikian orang Mikung tetap bisa melakukan perlawanan secara tersembunyi. Saat tahun 1990-an ada pembangunan obyek wisata, mereka tidak bisa menolak saat tanah mereka dibeli dengan harga yang sahat murah oleh investor yang didukung oleh pemerintah setempat. Namun pada tahun 1997, salah seorang Mikung mengobarkan kerusuhan untuk menolak obyek wisata tersebut karena dianggap sebagai biang maksiat (hal. 89).

Bentuk lain perlawanan mereka adalah dengan merebut kembali posisi kepemimpinan kampung dan memanfaatkan situasi pemilihan umum. Mikung mulai merebut kembali posisi RT, RW dan perangkatnya dengan cara menempatkan orang-orang mereka di posisi tersebut. Posisi RT, RW dan perangkatnya ini sangat strategis untuk mendapatkan fasilitas dari program-program pemerintah. Kelompok Mikung menegosiasikan dukungannya kepada GOLKAR (1992 dan 1997) supaya pembangunan jalan dilaksanakan di wilayahnya (hal. 108). Mereka juga mencoba menunjukkan jati dirinya saat pemilu 1999 dengan memilih PDIP, saat Kampung Selatan dan Kampung Utara memilih partai-partai Islam.

Perlawanan terhadap kapitalisme yang mulai menggerus sumber daya mereka adalah dengan mencurangi para pemilik lahan yang nyata-nyata telah curang. Sejak Orde Baru, peralihan lahan pertanian dari penduduk setempak ke para pemilik modal dari kota berjalan sangat cepat di Gunung Kembang. Para pemilik lahan baru ini tidak sempat untuk mengerjakan lahannya sendiri dan seringkali menyerahkan pengelolaan lahan kepada penduduk setempat dengan cara bagi hasil. Namun para pemilik modal sering tidak menepati kewajiban mereka, yaitu membayar 50% dari biaya produksi di luar tenaga kerja. Akibatnya para pemaro mengalami kerugian. Cara yang dilakukan oleh penduduk adalah dengan memotong langsung kewajiban para pemilik lahan yang belum dilakukan sebelum hasil panen dibagi dua.

Pengentasan kemiskinan bukan sekedar peningkatan pendapatan. Tetapi upaya pemberdayaan sehingga setiap individu dan kelompok bisa berpartisipasi secara nyaman dalam proses pembangunan. Untuk mencapai pemberdayaan tersebut, penting adanya jaminan keamanan sosial politik. Dalam sistem yang masih menggunakan pendapat “yang salah adalah yang kalah”, maka kasus-kasus seperti masyarakat Mikung ini masih akan terulang.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu