x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berburu Buku Lama Lewat Print on Demand

Layanan cetak ulang Print on Demand rupanya tidak berkembang pesat. Sejumlah penerbit telah merintis layanan ini, namun pasar tidak tumbuh cepat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di zaman dulu, penerbit buku memiliki batasan jumlah minimum produksi buku agar nilai ekonomis penerbitan sebuah judul buku dapat tercapai. Lazimnya, penerbit mencetak 3.000 eksemplar. Bila penerbit yakin buku yang akan diterbitkan bakal diminati konsumen, penerbit berani mencetak hingga 5.000 eksemplar.

Sebenarnya, pertimbangan angka minimum cetakan itu bukan hanya agar skala ekonomis untuk setiap kali naik cetak dapat dicapai. Tapi, juga mempertimbangkan daya serap pasar. Angka 5.000 eksemplar memang lebih ekonomis dari sudut biaya produksi per buku, tapi jika buku itu tidak terserap pasar, penerbit berpotensi mengalami kerugian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila buku yang sudah beredar di pasar habis terserap, penerbit juga punya pertimbangan apakah segera cetak ulang atau tidak. Jika buku terserap dengan cepat, berarti buku itu diminati dan cetak ulang dapat segera dilakukan. Bila buku yang beredar baru habis setelah bertahun-tahun, penerbit mungkin ragu untuk mencetak ulang.

Banyak buku ‘serius’ yang sangat bernilai isinya kerap tidak laris di pasar. Akibatnya, penerbit enggan mencetak ulang meskipun buku itu masih dicari. Sebagai contoh, menemukan buku Politik Militer Indonesia 1945-1967 terbitan LP3ES tidaklah mudah, sebab karya Ulf Sundhaussen ini dicetak terakhir kali pada 1988—30 tahun yang silam. Cetak ulang tidak dilakukan sebab permintaan pasar semakin berkurang. Lagi pula, sangat mungkin plat cetak untuk buku tersebut (teknologi lama) sudah rusak dimakan usia.

Banyak judul penting sejenis Politik Militer maupun karya fiksi yang masih dicari oleh pembaca, namun tidak lagi dicetak ulang. Teknologi Print on Demand (PoD) sesungguhnya dapat mengatasi masalah ini. Dengan teknologi ini, buku digital dapat dicetak apabila ada permintaan. Bila kita memerlukan judul tertentu, penerbit akan mencetaknya untuk kita, walaupun pesanan kita hanya satu eksemplar saja.

Namun layanan cetak ulang dengan teknologi PoD rupanya tidak berkembang pesat. Sejak beberapa tahun yang silam, sejumlah penerbit merintis layanan ini namun agaknya konsumen yang memanfaatkan layanan ini tidak tumbuh cepat dan signifikan. Padahal, penerbit harus menyiapkan naskah lama itu dalam format digital yang mudah dan cepat dicetak. Lagi-lagi, jika permintaan layanan PoD tidak tumbuh, upaya penyiapan naskah digital ini menjadi tidak ekonnomis.

Sejauh ini, tidak banyak judul buku yang tersedia di layanan PoD penerbit. Judul yang tersedia pun umumnya buku yang relatif baru. Boleh jadi, ini karena judul-judul ini sudah tersedia dalam format siap cetak, seperti pdf. Sementara, untuk judul-judul lama, file serupa belum tersedia. Buku penting seperti Kebudayaan dan Kekuasaan, karya Edward Said, umpamanya, belum tersedia secara print on demand.

Bagi generasi pembaca zaman now, kehadiran jasa PoDdapat membukakan lebih lebar pintu menuju karya-karya hebat penulis dari berbagai zaman. Semakin banyak judul yang disediakan penerbit, semakin terbuka akses kepada karya-karya berharga. Bila penerbit-penerbit kita mau menyingsingkan lengan dan menyediakan layanan print on demand, kita akan lebih mudah menemukan kembali karya mashur Julien Benda, Pengkhianatan Kaum Cendekiawan (Gramedia, 1997), karya Fuad Hassan Berkenalan dengan Eksistensialisme (Pustaka Jaya, 1976) atau kumpulan cerita pendek Hari Pertama di Liang Kubur (Obor, 1989). (Sumber foto: pleiadesservices.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler