x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inggit Garnasih: Antara Pengkhianatan dan Kesetiaan

Inggit adalah perempuan paripurna. Ia menjadi tulang punggung Sukarno. Meski pernah berkhianat, kisah sejatinya adalah soal kesetiaan cinta pada Engkus.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengkhianatan dan kesetiaan adalah dua sisi mata uang dalam kehidupan manusia. Keduanya tidak hanya soal cinta dua insan. Kita sering menemukannya dalam hubungan persaudaraan, pertemanan, hingga yang berhubungan dengan ranah publik seperti cinta tanah air.

Pengkhianatan

Bicara kesetiaan dan pengkhianatan, saya selalu teringat satu nama: Inggit Garnasih. Perempuan Sunda yang menebar rasa cinta dan menancapkan kesetiaan pada seorang pemuda yang masa depannya penuh ancaman dan konflik bernama Sukarno. Inggit sejatinya seorang perempuan bersuami. Hubungan Inggit dan Haji Sanusi, suami keduanya setelah Patih Nata Atmaja, kian hambar karena kesibukan Sanusi sebagai pedagang. Hubungan suami-istri itu tak lebih hanya status.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat itulah pemuda Sukarno datang. Ia tak seorang diri. Sukarno berstatus sebagai suami dari Siti Oetari, anak perempuan dari Sang Guru H.O.S Cokroaminoto. Pernikahan keduanya didasari atas rasa hormat Sukarno kepada Cokro. Lebih dari itu, Sukarno tak pernah "menyentuh" Oetari yang belia apalagi menganggapnya sebagai pasangan hidup sejati.

Kekosongan hati Inggit dan kehampaan jiwa Sukarno inilah yang bertemu. Kepada Cindy Adams, penulis biografinya, Sukarno mengakui terang-terangan hubungan terlarang dengan ibu kosnya itu. Akhirnya, Sukarno "mengembalikan" Oetari kepada ayahnya. Inggit pun bercerai dengan Haji Sanusi. Keduanya menikah pada 1923. Keduanya terpaut 13 tahun. Inggit lebih tua daripada Sukarno.

Hidup keduanya tak mudah.

Kesetiaan

Inggit jua yang menemani "Engkus", panggilan sayangnya pada Sukarno, di masa-masa sulit. Ketika itu nama Sukarno melambung sebagai aktivis muda, singa podium, hingga simbol perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Predikat yang populer tapi miskin pemasukan bagi rumah tangganya. Inggitlah yang menopang hidup keluarga muda itu dengan berbagai cara, seperti menjual rokok dan sabun, hingga menjahit. Ia pun rutin mengirimkan makanan untuk suaminya yang mendekam di balik jeruji Penjara Banceuy. Dari balik jeruji itu, lahirlah pidato "Indonesia Menggugat" yang fenomenal itu.

Inggit juga yang menemani Sukarno menjalani masa-masa pengasingan, dari Ende hingga Bengkulu. Ia meninggalkan tanah Pasundan demi melayani dan menjaga sang kekasih yang sedang berjuang melawan penjajah. Singa podium tetaplah lelaki biasa yang membutuhkan dukungan perempuan. Lalu, tibalah masa di mana gerbang perpisahan terlihat. Sukarno menceraikan Inggit pada 1942, setelah 19 tahun masa perkawinan -usia yang terbilang panjang. Sang proklamator tertambat pada gadis yang juga muridnya di sekolah Muhammadiyah bernama Fatmawati. Inggit kembali ke tanah kelahirannya dengan luka.

Tahun 1970, dengan tubuh tua renta, Inggit datang ke Wisma Yaso, rumah peristirahatan terakhir jenazah Sukarno. Ia menemukan Engkus sudah terbujur kaku. Ia merelakan belahan jiwanya pergi. Inggit pun tidak menikah lagi setelah bercerai dari Sukarno. Dan Bung Karno, seperti yang sudah kita tahu menemukan banyak perempuan dalam perjalanan hidupnya selepas menceraikan Inggit dan menemukan Fatma.

Kesetiaan adalah ujian yang bertumpu pada waktu dan kesungguhan. Inggit mungkin pernah berkhianat, tapi pada Sukarno, lelaki yang mendirikan republik bernama Indonesia, ia sandarkan kesetiaan meski harus berujung pada luka.

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu