x

Seorang tunanetra sedang membaca Alquran Braille Digital yang diberikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Oesman Sapta Odang alias Oso melalui Yayasan Syekh Ali Jaber di Balai Sudirman, Tebet, Jakarta Selatan, 4 Mei 2017. Menurut Yayasan S

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bermusik Ala Tunanetra Tanpa Notasi Tanpa Partitur

Dalam bermusik, Tunanetra mengandalkan insting dan sensitifitas pendengaran untuk mengenali nada

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belajar memainkan alat musik di usia yang tidak lagi muda, adalah sebuah tantangan bagi saya. apalagi bila belajar dilakukan dengan tanpa melihat. ketika masih memiliki penglihatan, saya menggunakan mata untuk mencari dan menakan tuts piano. Terutama ketika mencari nadadi balik tuts tuts tersebut. Pada akhirnya, saya tidak terpusat pada nadanya, melainkan notasi pada partitur.

 

Saat memulai belajar keyboard di Yayasan Mitra Netra, saya langsung diperkenalkan nada dari bunyinya. Salah satu guru musik sekaligus konselor di Yayasan Mitra Netra, Adi Arianto, memperkenalkan teknik jarak nada satu dan satu setengah dalam setiap rentang oktaf. Menurut Adi, bila diurutkan, satu per satu, semua nada pada rentang oktaf tetap sama fungsinya. Maksudnya, tuts yang mengeluarkan bunyi nada do, tidak selalu menjadi do, ketika kita memindahkan rentang oktafnya. “Kuncinya, urutan nada itu selalu sama, jadi mau dimainkan di kunci G atau C template jarak nadanya akan selalu sama,” ujar Adi Arianto.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Guru musik lainnya, Oki Kurnia, langsung memperkenalkan saya nada tanpa mengurutkannya lebih dulu. Ketika itu, Oki langsung menekan salah satu tuts, dan bertanya kepada saya nada apa yang dia pilih. Agak sedikit kebingungan saya waktu itu. Sebab, sensitifitas pendengaran saya masih belum terasah. Saya baru bisa menebak bila nada yang dipilih Oki adalah fa setelah mencoba enam kali. “Coba dihafalkan bunyi nadanya, jangan dihafalkan letak tuts keyboardnya,” ujar Oki waktu itu.

 

Metode yang diperkenalkan Oki, saya coba terapkan kemudian. Berkali kali saya masih gagal menyelaraskan nada dan tutsnya. Tetapi bila insting pengenal nada sudah bekerja, lagu apa saja bisa dimainkan, tanpa partitur dan notasi lagunya. Setelah Oki membantu saya mengenal nada fa, ia lanngsung meminta saya memainkan lagu Pelangi Pelangi, dan akhirnya dalam latihan dua jam itu, Oki berhasil membuat saya memainkan sebait lagu Pelangi beserta chordnya.

 

Rupanya, dari sensitifitas nada itulah, teman teman Tunanetra tidak memerlukan notasi musik. Insting dan sensitifitas peendengaran mereka langsung bekerja, ketika sebuah alat musik memperdengarkan sebuah lagu. Misalnya, bila salah satu teman memulai bagian lagu tertentu, teman Tunanetra lain langsung sambung menyambung meneruskan irama berikutnya, kadang mereka menambah aransamen seenaknya. Kegiatan ini sempat membuat saya terkagum kagum. Mereka dapat memainkan lagu apapun seperti naik sepeda saja, begitu lancar, mengalir  dan santai.

 

Kemudahan bermusik teman teman Tunanetra tidak serta merta didapatkan begitu saja. Mereka mengakui, tetap belajar dan berlatih musik setiap saat. Bahkan beberapa teman Tunanetra yang sangat lancar memainkan alat musik, bercerita, di Sekolah Luar Biasa A (SLB untuk Tunanetra) alat musik menjadi inventaris penting di sekolah. Alat musik yang disediakan tidak sebatas alat musik yang dipakai kolektif seperti angklung atau gitar. Ada piano, biola, hingga orgen kuno yang sangat besar.

 

Karena fasilitas bermusik disediakan sangat lengkap, maka kebiasaan para siswa SLB A untuk bermusik pun terbentuk dengan sendirinya. Bila di sekolah umum, saat jam istirahat atau jam bebas siswanya memilih bermain sepak bola atau voli, maka di SLB A, alat musiklah yang diserbu. Karena itu, tak heran, bila banyak teman teman Tunanetra yang lulus SLB A atau asrama Tunanetra berkarir sebagai pemusik. Sebab, bermusik di SLB A, seperti ekstrakulikuler yang dipilih oleh siswa umum di sekolahnya.

 

Walau banyak yang tidak meragukan kemampuan bermusik teman teman Tunanetra, ada satu kelemahan bermusik Tunanetra yang dapat terlihat bila disandingkan dengan pemusik dari kalangan umum. “Pemusik dari kalangan Tunanetra agak kesulitan bila diharuskan memainkan lagu klasik,” ujarsalah satu pemusik Tunanetra, Suryo Pramono. “Setahu saya, hanya ada beberapa pemusik Tunanetra yangbisa memainkan musik klasik dengan baik,”tambah Suryo.

 

Kesulitan ini karena, musik klasik memerlukan notasi dan partitur nada. Sangat jarang musik klasik  yang dapat dimainkan hanya dengan mengandalkan sensitifitas pendengaran dan pengenalan nada. “Musik klasik perubahan nadanya sangat sulit diperkirakan, kadang ada nada yang lompat lompat dalam satu rentang oktaf, iramanya pun kadang sulit diidentifikasi,” ujar Oki. Terkadang tempo yang cepat di bagian lagu tertentu, menyulitkan teman Tunanatra mengenali jenis nadanya.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler