x

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kisah Mereka

Mijan, Lili, Bondan, dan sebuah ruangan kamar tidur. Ini adalah sebuah kisah tentang mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mijan, seorang kuli

Mijan duduk di rak mengagumi Lili seperti yang selalu dilakukannya setiap saat. Dia jatuh cinta sejak pertama kali melihat gadis itu. Karena dia sadar dirinya hanya kuli, memandang keindahan di depan matanya itu membuat lidahnya kelu. Mijan yakin bidadari tercantik pun akan cemburu melihat wajah Lili.

Mijan orang miskin. Kere. Dia tidak punya sepatu, hanya sandal jepit tipis yang talinya putus dan disambung dengan peniti. Bajunya kemeja kotak-kotak seperti baju tim sukses gubernur petahana yang lalu. Topinya yang tebal oleh kerak garam laut terdapat bintang mirip lambang partai yang gagal lolos verifikasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kesemuanya cocok dengan citra diri seorang kuli. Kemeja itu satu-satunya miliknya. Bapaknya juga hanya buruh pabrik. Ketakutannya yang paling dalam hingga dia tak berani berbicara dengan Lili, bahwa bidadari itu akan melengos membuang muka. Hal itu akan mengkonfirmasi, memverifikasi dan memvalidasi bahwa dia hanyalah kuli biasa yang tak pantas dipandang sebelah mata. Jadi di sanalah dia: duduk, siang malam dan malam siang, tangan terbuka: berdoa dan berharap.

Lili, sang bidadari

Lili sadar diri bahwa dia cantik. Rambutnya hitam panjang lurus jatuh tergerai hingga ke pinggul. Matanya yang bulat besar cokelat gelap, menonjolkan pipinya yang tinggi dan bibirnya yang penuh. Isi lemari pakaiannya sangat beragam, dan semuanya mampu menyajikan lekuk sosoknya yang terpahat sempurna. Ditambah pernak-pernik perhiasan, Lili menjelma menjadi dewi kahyangan.

Lili tahu Mijan menatapnya, dan merasa tersanjung, tapi dia lebih tertarik pada Bondan. Wajah lelaki itu yang tampan, tunggangannya yang luar biasa, sikapnya yang penuh rasa percaya diri, menawarkan segala sesuatu yang diinginkan seorang gadis. Daya tarik Bondan dan hal-hal menyenangkan yang dimilikinya membuat Lili merasa sedikit bersalah, karena dia tahu hal-hal ini bersifat sementara, bukan jati diri pria itu yang sesungguhnya. Lili mempunyai hati, namun ia hanya ingin memberikannya pada pria yang tepat. Hal itu sering dia katakan pada dirinya sendiri.

Bondan, James Bondan

Dengan segala keistimewaan yang diperoleh dalam hidupnya, Bondan membawa dirinya dengan percaya diri. Senyumannya menunjukkan gigi putih yang rapi berkilau cemerlang. Tubuhnya yang ramping dan berotot bagai pahatan mahakarya seniman Romawi Kuno. Sama seperti Lili, lemari pakaiannya penuh dengan busana impor mode terbaru. Jika ingin pergi bersenang-senang, selalu ada mobil dengan logo kuda jingkrak dan jet ski yang dirancang untuk dua orang, mengundang sorot mata rasa iri siapapun yang melihatnya.

Bondan yakin tidak ada gadis yang bisa menolak dirinya karena ketampanannya dan pesona hartanya. Dia meluruskan pandangannya pada Lili sejak pertama kali mereka bertemu. Baginya, hanya masalah waktu saja sebelum mereka bersatu. Dia percaya dirinya ditakdirkan sebagai pemenang, dan Lili sebagai pialanya.

Ruangan kamar tidur

Kamar tidur dengan ranjang antik bertiang empat, meja rias dari kayu mahoni, dan tirai renda brokat Italia, dirancang untuk memanjakan seorang gadis kecil.

Jendela kaca sebesar pintu menghadap ke Teluk Jakarta memberikan pemandangan menakjubkan. Biru berkilau menguasai hingga batas cakrawala. Parade kapal yang berlayar tak berujung tak berawal.

Pada tirai tergantung puluhan kristal berbentuk prisma kecil. Senjakala, saat matahari mulai terbenam, akan ada puluhan lengkung pelangi mewarnai dinding. Jika jendela terbuka, angin laut bertamu masuk menggoyang tirai dan menyebabkan pelangi menari-nari melambaikan salam selamat jalan pada sang surya.

Rak di dekat tempat tidur berisi buku dongeng, bola salju dari seluruh dunia, hewan-hewan dari kristal, dan cendera mata lainnya. Tapi ada satu rak yang istimewa, karena di situlah Mijan, Lili, dan Bondan tinggal.

Kisah mereka

Sebelumnya hanya ada Mijan. Dia adalah teman bermain yang sempurna, yang dengan senang hati ikut kemana gadis kecil itu membawanya. Rak itu miliknya dan dengan bangga dia menyebut kamar tidur itu sebagai rumahnya.

Suatu hari, datanglah seorang gadis. Wajahnya nan ayu membuat Mijan terpesona. Sejak detik itu hidupnya berubah. Butuh sepuluh hari lamanya bagi Mijan untuk mengumpulkan keberanian untuk menanyakan nama sang gadis. Saat dia menatapnya, mata cokelatnya yang indah membuatnya dia nyaris pingsan.

"Lili," hanya itu jawaban yang dia terima. Namun, sudah lebih cukup bagi Mijan.

Namanya menyamai kecantikannya. Mijan melafalkan nama itu berulang kali tak terbilang banyaknya hingga menjadi sebuah senandung di dalam hatinya. Namun, dia tidak tahu bagaimana caranya bercakap-cakap dengan Lili. Dia hanyalah seorang kuli kasar, sementara yang berdiri di depannya bidadari yang berasal dari surga. Khawatir akan mengucapkan sesuatu yang akan menyinggung perasaan Lili, dia berusaha keras untuk tidak mengatakan sepatah kata pun. Sadar akan statusnya, dia tidak melakukan apa-apa selain memandang Lili yang berdiri di depannya.

Di mata Lili, sifat pemalu Mijan cukup menawan, meski jelas lelaki itu juga semakin frustrasi karenanya. Dia menahan geli saat Mijan tergagap terbata-bata, tapi pada saat bersamaan dia berharap bisa berbicara dengannya. Lili suka bepergian bersama gadis kecil dan Mijan, dan dia tahu Mijan juga menikmatinya. Namun, di malam yang sunyi sepi dia sering merasakan kebutuhan akan seseorang yang dapat diajak bicara.

Akhirnya, keinginannya untuk mendapatkan teman berbincang terjawab, datang dalam bentuk Bondan. Bondan tak ragu-ragu untuk memulai percakapan dengan Lili, mengatur senyumnya agar menunjukkan kilau cermerlang deretan giginya yang putih sempurna.

Mijan bisa membaca bahwa Lili kepincut dengan pendatang baru itu. Dia juga memperhatikan, bahwa Bondan terpukau—dengan dirinya sendiri.

Mijan melihat Bondan mengagumi bayangannya sendiri di kaca spion mobilnya. Saat bercakap-cakap dengan Lili, Bondan hanya pura-pura tertarik dengan apa yang dikatakan gadis itu. Setelah satu kalimat dari Lili, Bondan akan membelokkan pembicaraan kembali tentang dirinya, mobilnya, dan jet ski-nya, sambil tak lupa memamerkan otot bisepnya yang membengkak dengan menyingsingkan lengan bajunya setinggi mungkin.

Bondan juga memperhatikan bagaimana tatapan Mijan ke arah Lili, tapi ia tak khawatir. Bondan tahu Mijan bukan saingannya. Jika perlu, dia akan mengingatkan Mijan akan hal-hal, seperti, bahwa baju Mijan masih menjadi mode di pedalaman Serengeti. Pada setiap kesempatan, Bondan akan mengatakan bahwa dirinya sendiri luar biasa, dan Lili akan segera melupakan Mijan.

Bondan dan Lili menjadi tak terpisahkan, dan Mijan mulai bosan memainkan peran sebagai penonton. Dia memutuskan untuk berbicara dengan Lili dan menceritakan bagaimana perasaannya. Dia menunggu saat yang tepat malam itu, tapi ketika dia akan berbicara, Bondan mencegatnya terlebih dulu.

"Mijan, aku tahu apa yang ingin engkau lakukan," kata Bondan. "Apakah engkau tak lihat mobil, jet ski, dan pakaian yang aku miliki? Barang-barang itu yang memikat Lili. Apa yang kau punya? Apa yang bisa engkau lakukan untuknya? Apa menurutmu dia peduli dengan kuli kasar seperti dirimu, seseorang yang tak lebih baik dari kotoran kuku jarinya? Aku pikir sebaiknya kau lakukan apa yang pantas engkau kerjakan dan lupakan dia."

Mijan terdiam, berpikir bahwa mungkin Bondan benar.

Apa yang bisa dia lakukan untuk Lili? Dia tidak punya apa-apa. Rasa malu membungkamnya saat Lili mendekat.

Yang dia punya hanyalah cinta yang membakar hati. Namun, dengan hanya cinta takkan bisa membahagiakan Lili. Gambaran dirinya sebagai sesuatu yang tidak lebih baik dari pada kerak semen atau sisa aspal kering memenuhi benak Mijan, sehingga sisa keberaniannya yang tak lebih besar dari pasir material bangunan lenyap musnah. Dengan sedih dia berpikir bahwa Lili takkan pernah tahu tentang perasaan cintanya.

Namun, Lili memperhatikan Mijan, dan tahu bahwa akhirnya dia mengumpulkan keberanian untuk mendekatinya, untuk bicara. Dia bisa menangkap ekspresi putus asa di mata lelaki itu, selain pancaran kehangatan yang tidak ada pada Bondan. Pada lelaki satunya lagi, tidak pernah ada proses timbal balik. Maka Lili mulai membandingkan apa yang dimiliki Bondan dengan apa yang ditawarkan Mijan.

Sore berikutnya, si gadis kecil bersama keluarganya pergi ke luar kota sejak pagi dini hari. Bondan memanfaatkan momen tersebut untuk memikat Lili dengan aset terbarunya, sebuah motor model terakhir keluaran Jerman. Mijan diam saja saat Bondan mengangguk kecil dan tersenyum saat bercermin sekilas di tangki bahan bakar mainannya yang mengilap berlapis krom.

Bondan menawarkan tumpangan kepada Lili, saat gempa bumi datang membukat rak di dalam ruangan kamar tidur bergoyang maju mundur. Lengkung-lengkung pelangi di dinding terombang-ambing liar. Bola-bola salju berguling dan menggelundung saling bertabrakan sebelum jatuh dan pecah. Hewan-hewan kristal meluncur di rak, panik hiruk-pikuk riuh-rendah, satu per satu terjun ke tepi tempat mereka hancur berderai saat menghantam lantai.

Dari dapur, gas yang bocor telah menyebarkan isinya ke seluruh penjuru rumah termasuk kamar tidur. Seketika itu juga, dipantik oleh kabel pemanggang roti yang terkelupas, percik api menyambar dan tabung gas meledak.

Mijan, Lili, Bondan, bersama dengan barang-barang milik Lili dan Bondan, terlempar dari rak mereka dan jatuh dan mendarat di tengah pecahan kristal, air, dan buku. Api dengan cepat menyebar.

Mijan mendarat di atas Lili. Tubuhnya menutupi gadis itu. Dia membisikkan kata-kata penenang meminta si gadis untuk tidak khawatir, bahwa dia akan melindunginya. Mijan mulai menyanyikan satu-satunya lagu yang dia tahu, Nina Bobo, untuk menentramkan Lili yang takut api. Lili yang belum pernah menyaksikan keberanian yang tidak mementingkan diri sendiri, menyadari bahwa bukan saja Mijan mencintainya dengan sepenuh hati, tapi bahwa dirinya juga mencintai Mijan sejak lama.

Sementara itu, Bondan dan sepeda motornya jatuh ke sisi lain. Kilat krom memantulkan lengkung pelangi menari bersama getar kulit bumi. Bondan menatap wajahnya di krom, bermandikan cahaya pelangi, dan terpana. Pelangi adalah aksesori yang sempurna untuk melengkapi kepribadiannya.

Bahang panas dari api memuncak. Mijan bisa merasakan sensasi aneh ketika tubuhnya mulai mencair. Lengannya membungkus Lili, dan dia terus bernyanyi lembut sambil memeluk gadis itu. Dia bisa merasakan beban sepinya menguap. Rasa hampa yang telah membuat batinnya merana begitu lama kini meluap berganti kasih sayang saat tubuh mereka menyatu satu sama lain.

Lili juga merasa tubuhnya melunak. Dia merasakan bahwa batas-batas fisik mereka kehilangan definisi, dan mereka menyatu menjadi satu kesatuan yang suci.

Api masih terus mengamuk. Mijan dan Lili yang telah menyatu menjadi lebih ringan dari udara. Mereka berputar-putar dan menari-nari naik dan terus naik menembus langit-langit kamar tidur, terus melayang di atas pepohonan, awan, dan menuju langit. Kini mereka selamanya bebas.

Bondan masih terpesona menatap citra dirinya. Dia dan dirinya saling memandang. Tak lama kemudian dia dan bayangan cerminnya menyatu.

Dan lengkung pelangi dengan senang hati terus menari, seperti biasanya, hingga matahari terbenam di batas cakrawala.

 

Bandung, 11 Januari 2018

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler