x

Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) menyampaikan orasi dalam Aksi Bela Rohingya 169 di Monumen Patung Kuda, Jakarta, 16 September 2017. Aksi dari Crisis Center for Rohingya PKS bersama ormas-ormas Islam t

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pilpres 2019: Tak Cukup Jokowi dan Prabowo

Pilpres 2019 akan sangat berarti bila ada banyak calon. Namun, setelah putusan MK, harapan rakyat untuk melihat capres wajah baru makin sulit terwujud.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Harapan rakyat untuk mendapatkan calon presiden alternatif tampaknya semakin tipis setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang presidential treshold (ambang batas). Gugatan atas persyaratan yang mengharuskan partai-partai memiliki 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional agar dapat mengusung calon presiden itu ditolak oleh mayoritas hakim MK (7 berbanding 2).

Aturan ini sebetulnya cukup aneh, sebab pemilihan legislatif akan dilangsungkan bersamaan dengan pemilihan presiden 2019, jadi tidak mungkin persyaratan ambang batas itu diambilkan dari hasil pemilihan legislatif 2019. Lantas angka 20% itu diambil dari mana? Jika diambilkan dari perolehan kursi dalam pemilihan legislatif yang telah berlalu, apakah masih relevan mengaitkannya dengan pemilihan presiden 2019, sedangkan dukungan rakyat mungkin saja sudah berubah dibandingkan lima tahun yang lampau?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memperoleh 20% di DPR juga bukan pekerjaan mudah, sehingga partai-partai akan didorong untuk berkoalisi. Partai-partai lama sudah saling mengenal dan tahu ke arah mana mereka akan berhimpun. Sebagian partai yang mendukung pemerintahan Jokowi akan berusaha melanjutkan pemerintahan ini, sedangkan partai-partai yang lain akan berusaha menawarkan calonnya. Sangat mungkin, aturan yang berlaku saat ini akan cenderung mengarah pada pengulangan kontestasi 2014 dengan dua pasangan calon saja: Jokowi dan pasangannya dengan Prabowo dan pasangannya. Pemenangnya sudah dapat diduga, bahkan sejak sekarang.

Aturan ini menyulitkan partai-partai baru, seperti Partai Solidaritas Indonesia, yang akan ikut dalam pemilihan legislatif untuk pertama kali, dalam menawarkan alternatif lain di luar kedua figur itu. Dengan aturan ini, hak partai untuk mengajukan calonnya sendiri menjadi dibatasi, begitu pula hak rakyat untuk memperoleh calon alternatif yang beragam juga dibatasi. Bila aturan ini dibatalkan, rakyat punya kesempatan untuk mempertimbangkan lebih banyak calon, sebab partai-partai lama maupun baru dapat mengusung calon-calon alternatif, bukan hanya presiden petahana dan penantangnya (yang mungkin juga akan figur lama).

Banyak kritik dilontarkan terhadap keputusan MK yang menolak untuk membatalkan aturan presidential treshold ini. Saldi Isra, salah seorang hakim MK, menyebutkan bahwa aturan itu dilandasi oleh logika bahwa ambang batas diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Bila presiden didukung kekuatan signifikan partai politik mempunyai wakil di lembaga perwakilan, presiden akan lebih mudah mendapat dukungan lembaga perwakilan (DPR). Saldi mengingatkan, jika partai politik pendukung presiden sama dengan atau lebih besar daripada legislatif, praktik sistem presidensial akan mudah terperangkap menjadi pemerintahan otoriter (tempo.co, 11 Januari 2018).

Logika MK dalam memutuskan permohonan uji materi tentang ambang batas dinilai oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai jauh dari logika konstitusi. MK, menurut Perludem, gagal fokus berkaitan dengan argumen konstitusional yang ingin dibangun terkait ambang batas pencalonan presiden. MK malah berbicara ihwal penyederhanaan partai—isu yang lebih terkait dengan politik praktis ketimbang hak-hak konstitusional rakyat yang seharusnya dijaga oleh MK agar tidak dikurangi oleh undang-undang.

Dengan tetap berlakunya Pasal 222 itu, status quo tidak akan tergoyahkan. Padahal, dengan tampilnya calon-calon baru di luar kedua figur yang mungkin tetap sama dengan Pilpres 2014, Republik ini akan mengalami penyegaran. Setidaknya, rakyat akan melihat bahwa negeri ini memiliki calon-calon pemimpin yang layak, bahkan lebih dari dua orang. Kelayakan ini bisa dilihat dari karakternya, ide-idenya, sepak terjangnya, kepemimpinannya, dsb. Masak iya, dari 250 juta penduduk Indonesia, hanya ada dua pasang calon presiden?

Sungguh sayang bila kesempatan bagi munculnya pemimpin-pemimpin baru ini dibatasi oleh sebuah aturan yang cenderung menopang status quo. Sebagian elite partai politik agaknya tidak mau menciptakan peluang yang berpotensi menggoyahkan status quo, sekalipun calon-calon alternatif di luar petahana dan penantang lamanya itu belum tentu meraih cukup kepercayaan rakyat jika mereka dimungkinkan untuk ikut serta dalam kontestasi. Jadi, untuk apa cemas? **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler