x

Seorang staf mengelap gerbang Kiev Monastery dalam pembukaan galeri Rosalinde dan Arthur Gilbert di Museum Victoria dan Albert di London, Inggris, 15 November 2016. (Carl Court/Getty Images)

Iklan

Egy Massadiah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gadis-gadis Kiev

Kota Kiev yang indah, sepadan dengan wajah wanita-wanitanya yang pilihan. Tinggi, singset, modis. Kalau berjalan bak bangau dengan patuknya yang mendongak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Catatan Perjalanan Ukraina oleh Egy Massadiah

Angin Kiev benar benar mencengkram semalam. Tidak dalam mimpi lagi rupanya. Setelah melayang selama 12 jam dari Los Angeles menuju Istanbul, dan 12 jam termangu seorang diri di Bandara Attaturk, ditambah dua jam penerbangan dari Istanbul maka burung besi 737 - 800 berlabel Ukraina International menyentuh landasan Bandara KBP Kiev.

Sepoi kapas berwujud es memanggil manggil manja. Tapi salju lembut yang anggun itu sudah mulai menguap di awal Januari 2018. Yang tersisa minus 3 derajat celcius di siang hari dan bertambah lagi saat malam dalam peraduan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bocah bocah Kiev ramai bermain di taman. Beberapa berlarian di sisi jalan yang nyaris sepi. Mungkin usia 3 hingga 5 tahun. Cuaca ekstrem? Tentu. Tapi itu anggapan sebagian dari sudut pandang kita yang biasa hidup di belahan bumi yang bertaburan matahari.

Namun bocah bocah itu menyambutnya dalam bentuk bersyukur. Itulah cara rakyat di negara berpenduduk sekitar 44 juta jiwa ini bersahabat dengan alamnya. Buktinya tak ada kekhawatiran para orang tua kiranya sang anak akan masuk angin, sehingga perlu dibalur dulu minyak tawon asal Makassar atau minyak telon. Lihat, tawa mereka lepas. Sang anak riang bahagia berlarian menyepak-nyepak sisa salju.

Wisma Indonesia

Aroma Slavia Timur yang menyatu dengan Rus Kiev sungguh masih kental. Saya memasuki gerbang Wisma Duta Indonesia di Klinicheskaya 11, Kyiv. Bangunannya empat lapis. Di halaman depan huruf "I m in Kiev Ukraine" tegak berhadapan tiang bendera yang mengibarkan merah putih.

Sebuah baliho besar dengan tulisan The Ambassadors Residence of Indonesian terbentang di seberangnya. Sungguh sebuah rumah dengan hati yang terbuka hangat.

Prof Dr Yuddy Chrisnandi M E menyambut bersahaja. Duta besar yang membawahi tiga negara yakni Ukraina, Armenia dan Georgia ini menjelaskan kota Kiev dengan khasnya.

"Cari tempat sampah aja sulit, apalagi menemukan sampahnya," ujar anak muda periang asal tanah Pasundan yang menjabat Duta Besar di awal tahun 2017 ini.

Kalimat dengan pilihan kata yang padat itu memang mewakili. Kota Kiev yang indah, sepadan dengan wajah-wajah wanitanya yang memang pilihan. Tinggi, singset, modis. Kalau berjalan bak bangau dengan patuknya yang mendongak. Apalagi kalau sudah melirik dan tersenyum, laki laki sejati merasakan klepek klepek.

Begitulah, rindu pada dendang wajah wajah Varangia dan Skandinavia pelan tersibak. Menyusuri aliran sungai Dnieper yang mulai membeku dan menengok danau Yalpuh tentu menjadi atraksi yang tak boleh kita lewatkan. Selanjutnya berputar berjalan kaki di kawasan monumen Holodomor.

Memotret diri berlatar pegunungan Krimea wajib hukumnya. Berpose di depan panser tua nan kokoh peninggalan perang seraya memandang patung Mother Land. Dan yang tak kalah pentingnya memanjakan lidah dengan hidangan Ukrainian Borsch, Ukrainian Vareniki, Ukrainian Krucheniki.

Otentik

Adalah Fedir Balandin. Pria Ukraina sohib akrab Dubes Yuddy menjamu saya malam itu di restoran miliknya di jantung kota Kiev. Namanya Cupidon Cafe Restran. Tempatnya unik, interiornya berkarakter khas Eropa Timur. Perabotnya peninggalan era Uni Sovyet.

Makanannya jangan ditanya, semua otentik masakan asli rumahan Ukraina. Saladnya saja menghasilkan beragam sensasi cita rasa di lidah. Selanjutnya daging bakar setengah matang berdansa di mulut kami. Mereka menyebutnya dalam bahasa Ukraina telyachi medalioni steak.

Fedir yang mantan wartawan ini pun menyuguhkan satu sloki minuman home made nya. Sebuah kehormatan mendapatkan vodka warisan kearifan lokal orang orang tua dahulu di Ukraina. Kemudian ditutup segelas wine merah panas yang di dalamnya telah dicampur kayu manis, cengkeh, kapulaga dan potongan potongan buah segar. Tentu hangat di badan saat cuaca malam itu mencapai minus 4 derajat celcius.

Marketing Indonesia

Tunggu dulu, nyaris tak percaya. Mata tak hanya menikmati sisa sisa peninggalan Uni Soviet. Di negara yang melepaskan diri dari Uni Soviet tahun 1991 ini gerak tangkas Prof Yuddy Chrisnandi sungguh mengharukan.

Belum genap setahun mengkomandoi KBRI Ukraina, kini miniatur Indonesia terhidang di sebuah taman indah bersanding dengan ikon ikon terkemuka negara negara lainnya.

Yuddy berkisah. Konon ide membangun miniatur Indonesia sudah muncul sejak 10 tahun silam. Namun tak kunjung terealisasi. Yuddy pun menyambangi petinggi National Botanical Garden, semacam Kebun Raya Bogor yang memang sudah menyiapkan lahan.

Semula pihak Botanical Garden kurang yakin. Maklum sudah 10 tahun lalu tawaran mereka belum juga bergayung sambut.

"Indonesia mendapat dua tempat. Satu yang sifatnya miniatur dengan luas sekitar 50 an meter persegi. Satu area lagi luasnya lebih besar karena keseluruhannya ada 120 hektar dan kami Indonesia mendapatkan lahan sekitar 5 ribu meter," ungkap Yuddy.

Nasionalisme Yuddy pun terusik setelah menyaksikan miniatur ikon Jepang dan Korea sudah tegak. Ia pun bertekad mewujudkan wacana yang sudah tertunda 10 tahun itu. Lebih cepat lebih baik. Tapi KBRI Ukraina belum menganggarkannya. Apa boleh buat Yuddy merogoh kocek pribadinya.

Konon ratusan juta rupiah sudah menggelontor menjadi biaya produksi miniatur berbahan tembaga itu. Beruntung pihak BNI 46 ikut menolong. Setidaknya ongkos pengangkutan miniatur dari Boyolali ke Kiev dan biaya tambahan lainnya sudah diatasi CSR BNI.

Lima ikon utama Indonesia kini tak lagi menjadi khayalan. Sudah tersaji miniatur Borobudur, Monas, Pura Ulun Danu Brata, Mesjid Istiqlal dan Gereja Katedral lapangan Banteng. Musim panas 2017 lalu masyarakat Ukraina yang berkunjung ke taman sudah dapat menikmati miniatur produksi perajin asal Boyolali Jawa Tengah. Pemilihan bahan baku tembaga mengingat cuaca di Ukraina yang bersalju dan super dingin.

Kini miniatur Indonesia itu sudah soft launching dan bersanding dengan ikon lokal Ukraina dan juga ikon ikon utama dari negara negara di kawasan Eropa Timur ini.

Adapun di lahan yang lebih besar saat ini Prof Yuddy sudah mencicil juga pembangunannya. Sebuah rumah kayu semacam bale bale telah bertengger. Ada tiga tukang yang ia datangkan dari Jawa Barat untuk memacu penyelesaian bangunan tersebut.

Chernobyl

Di mata orang Ukraina, letak Indonesia sulit mereka bayangkan. Itulah pentingnya total marketing dalam mempromosikan Indonesia ala Yuddy. Kelincahannya mengenalkan Indonesia didukung kemampuan berbahasa Rusia dan Ukraina yang terbilang memadai sebagai pemula. Menurut Yuddy, orang Indonesia yang berdomisili di Ukraina, Armenia dan Georgia sekitar 100 orang, hampir 60 diantaranya adalah keluarga KBRI di Ukraina. Informasi yang juga menggembirakan, yakni di Tarash Shevcenko National University of  Kyiv ada kajian pelajaran bahasa Indonesia yang diikuti sekitar 10-15 orang mahasiswa/i.

"Setiap hari saya belajar bahasa Rusia dari youtube," ungkap Yuddy memberikan tips nya. Sebuah upaya yang mengagumkan, bertolak dari yang ada tak ada yang sia sia.

Di mata orang Indonesia, setidaknya sebelum saya menjejakkan kaki di Ukraina yang teringat pertama kali adalah bintang andalan Inter Milan Andre Shevcenko alias Sheva yang terkenal di era awal tahun 95 an.

Mundur ke belakang lagi, membekas tragedi 26 April 1986, meledaknya Reaktor Nuklir Chernobyl.

Kala itu, 30 tahun silam sebuah bencana nuklir terbesar di dunia terjadi ketika Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Chernobyl terbakar.

Sebagaimana yang dilansir oleh Kompas meledaknya PLTN yang berada di kota Pripyat, Ukraina, yang saat itu masih menjadi bagian dari Uni Soviet, melepaskan partikel radioaktif dalam jumlah besar ke atmosfer bumi yang kemudian menyebar ke wilayah lain Uni Soviet dan Eropa.

Chernobyl adalah insiden nuklir terburuk di dunia dalam hal kerugian finansial dan korban jiwa. Bencana ini menewaskan 31 orang dan membutuhkan 500.000 orang pekerja untuk upaya pemulihan.

Akibatnya, dari tahun 1986 - 2000 atau selama 14 tahun, sebanyak 350.400 orang dievakuasi dan dipindahkan dari daerah-daerah yang paling terkontaminasi di Belarus, Rusia, dan Ukraina.

Pada 15 Desember 2000, Presiden Ukraina Leonid Kuchma mematikan sendiri reaktor nomor 3 dalam sebuah seremoni yang sekaligus mengakhiri riwayat PLTN Chernobyl.

Pagi ini Chernobyl tak lagi seram. Di salah satu sudut kota Kiev, sebuah kawasan turis, saya menemukan kaos oblong dengan aneka desain bertema Chernobyl. Prof Yuddy sigap mengulurkan Rifna mata uang Ukraina dan mentraktir saya aneka souvenir. Dan tentu saja tidak ketinggalan kaos bertuliskan Chernobyl.

Menjelang siang, tak jauh dari kawasan tersebut kami bergeser ke mesjid Ar Rahmah yang terletak di Lukianivska 46, Kyiv 02000. Mesjid yang berdiri tahun 2000 dan mampu menampung jemaah sekitar 3000 ini bersih dan keren.

Menjelang shalat Jumat di Mesjid Ar Rahmah Kiev Ukraina, banyak juga penjual/pedagang kaki lima. Padahal cuaca sangat dingin, minus 2 derajat celcius. Dan yang tak kalah menarik nasi samin kebuli daging panas yang dijajakan di depan mesjid. Penjualnya pria asal Uzbekistan. Satu porsi yang isinya melimpah saya kunyah dengan lahap bersama Prof Yuddy. Pasti, aroma ini akan bikin kangen setelah kembali ke tanah air. Wow nikmat mana lagi yang kami mesti dustakan.

Kiev 12 Januari 2018

Egy Massadiah

Penulis adalah Master Komunikasi Universitas Paramadina

Ikuti tulisan menarik Egy Massadiah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

5 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB