x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menapaki Trotoar Ibukota Bersama Alfred Sitorus

Alfred Sitorus adalah pendiri dan 'Presiden' Koalisi Pejalan Kaki. Ini adalah catatan selama tiga minggu mengikuti perjalannnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Alfred Sitorus, Sang Pejuang Hak Pejalan Kaki

Pagi hari di Jumat terakhir di tahun 2017 saya bertukar pesan dengan Alfred Sitorus, sang pendiri Koalisi Pejalan Kaki.  Kami membicarakan perkembangan terakhir yang terjadi di Tanah Abang, yang menjadi pokok diskusi hampir semua penghuni dan pengunjung ibukota Indonesia. Banyak pihak terkejut lantaran Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengizinkan sebagian kecil—400 dari ribuan—pedagang untuk berjualan di jalan.  Kalau sebelumnya para pedagang bahkan tak diizinkan berjualan di trotoar, kini sepotong jalan malah ditutup, dan separuhnya dipakai untuk berdagang. 

Kami membicarakan betapa banyaknya pihak yang sudah menyatakan bahwa tindakan itu jelas-jelas melanggar regulasi.  Bukan cuma para pengamat transportasi yang berada ‘di luar’ yang menyatakannya, bahkan mereka yang masuk di dalam pemerintahan juga menyatakan demikian.  Dinas Perhubungan DKI dan Ditlantas Polda Metro Jaya adalah dua di antara yang tercatat menyatakan kebijakan tersebut sesungguhnya tak patuh pada regulasi. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Laporan banyak pihak jelas menunjukkan kekacauan akibat penutupan jalan itu, karenanya Alfred kemudian menyatakan kepada saya bahwa aksi mingguan di Jumat sore itu akan berfokus pada pengecekan kondisi lapangan di wilayah Tanah Abang.  Saya sudah punya jadual di sore itu, jadi tak akan bisa ikut.  Saya hanya mengusulkan agar acara sore itu diberi nama Tamasya Trotoar Tenabang, dan Alfred setuju.

Sore harinya saya cuma bisa menyaksikan lewat live streaming Koalisi Pejalan Kaki yang menggunakan #TamasyaTrotoarTenabang dan membaca berita-berita yang datang kemudian. Kekacauan sangat jelas terlihat, bisa disaksikan oleh mereka yang mengikuti ‘tamasya’ itu, termasuk para jurnalis.  Sore itu, seperti beberapa acara Koalisi Pejalan Kaki lainnya, jurnalis banyak yang hadir, bahkan melampaui jumlah pendukung Koalisi Pejalan Kaki yang hadir. 

Dengan ramainya para jurnalis, liputan pun sangat banyak.  Demikian juga komentar yang akhirnya datang kepada Alfred dan rekan-rekan yang hadir.  Tapi, tentu saja, komentar terbanyak datang kepada Alfred.  Yang paling menggelikan, ada banyak komentar yang langsung melihat kegiatan rutin Koalisi Pejalan Kaki sebagai serangan terhadap kebijakan Gubernur DKI.  Maka, langsung saja Alfred menerima label ‘Ahoker’.  Ada yang dengan ‘semangat’ menyatakan bahwa Alfred adalah seorang Ahoker yang diselundupkan untuk memberi komentar negatif kepada kebijakan itu.

Jelas, yang memberi label itu tak mengenal rekan saya itu, yang sudah lebih dari satu setengah dekade memerjuangkan Jakarta untuk menjadi kota berkelanjutan.  Dia mengurusi transportasi massal, turut mendorong penghilangan timbel dari bensin, menggagas car free day, dan banyak lagi upaya lain agar Jakarta menjadi kota yang lebih baik.  Semua yang ia perjuangkan itu membuatnya terkadang menjadi ‘musuh’ pemerintah DKI Jakarta, sejak zaman Fauzi Bowo menjadi gubernur.  Kritik-kritiknya tajam, dan tanpa tedeng aling-aling. 

Tapi Alfred bukanlah sekadar pengkritik yang keras terhadap apa yang tak beres di jalanan Jakarta, melainkan juga sahabat sejati buat mereka yang ingin memerbaiki Jakarta.  Ia punya saran-saran perbaikan yang seabreg.  Idenya seakan tak pernah habis, yang ia dapat dari pengalaman dan pengetahuannya, dan dengan murah hati akan dibagi kepada siapapun yang menanyakannya.  Termasuk kepada para birokrat di Pemprov DKI Jakarta, sejak dulu.

Oleh karena itu, melabel Alfred sebagai ‘Ahoker’ adalah pertanda pengetahuan yang cekak.  Karena Fauzi Bowo, Jokowi, Ahok, Soni Sumarsono, maupun Djarot pernah menerima kritikan darinya—selain saran-saran perbaikan, tentu saja. Kalau gegara melontarkan satu kritik kepada Anies kemudian menjadikannya ‘Ahoker’, tentu itu hanya ada di kepala yang ignoran.  Saya sendiri mendengar bahwa yang menyatakan Alfred sebagai ‘Ahoker’ kemudian mendapatkan masukan lembut dan keras dari yang tahu persis sepak terjang Alfred untuk Jakarta (yang sudah membuat ia menjadi subjek liputan media massa sekelas The New York Times).

 

Menyaksikan Dampak Tenabang Effect

Tetapi, lantaran jumlah liputan yang besar itu terkadang punya dampak negatif, pada minggu berikutnya Alfred menyatakan kepada saya tidak akan mengundang jurnalis untuk meliput.  Bahkan, Alfred hanya memberi tahu saya dan satu orang lain tentang lokasi dan tema yang hendak diangkat.  Maka, di Jumat pertama 2018 itu, hanya Alfred, saya, dan Sandy Apriliansyah atau Andika, seorang mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia yang kemudian berkumpul.  Kali ini, tujuannya adalah untuk menunjukkan kondisi trotoar di sekitar Senayan, yang dalam waktu kurang dari 8 bulan lagi akan menjadi lokasi utama Asian Games.

Setelah menggunakan Trans-Jakarta dari Sarinah, kami berkumpul di depan Ratu Plaza.  Sambil menunggu Andika, kami melihat-lihat situasi dari jembatan penyeberangan, dan menyaksikan betapa trotoar itu telah penuh dengan pedagang.  Jelas, dari pojok Patung Pemuda Membangun itu kami melihat pedagang mulai banyak, terus bertambah jumlahnya hingga di depan Ratu Plaza.  Saya turun ke trotoar dengan membawa tulisan ‘Hormati Hak Pejalan Kaki’ dan ‘Trotoar Jakarta Menjelang Asian Games’ untuk ditunjukkan, dan Alfred memotret saya dari atas.

Ketika para pedagang itu melihat saya membawa tulisan itu, beberapa pedagang mendekat.  Mereka bertanya, “Mau digusur lagi ya, Mas?”  Saya menjawab sambil tersenyum, “Kami kan bukan tramtib.”  Setelah berkumpul, kami mulai menelusuri trotoar yang segera sangat menyempit di depan Ratu Plaza menjelang gedung Kementerian Pendidikan Nasional.  Di tempat sesempit itu, tentu saja, tak ada lagi yang berjualan.  Tetapi, persis sebelum Kementerian itu, kami melihat sebuah pemandangan yang sangat mengagetkan. 

Apa yang kami lihat itu adalah sebuah lubang yang menganga, mengambil lebih dari separuh lebar trotoar, dengan kedalaman sekitar 1,5 meter.  Jelas, akan sangat membahayakan bila ada yang sampai terperosok di dalamnya.  Dan memang tak ada penutupnya sama sekali.  Ketika rombongan orang keluar dari gedung, berbelok ke kanan, mereka harus ekstra hati-hati kalau hendak selamat.  Kalau ada yang harus berpapasan, tak ada pilihan lain, yang berjalan dari Ratu Plaza harus melompati lubang itu.

Kami membuat film di situ untuk menunjukkan bahayanya.  Kami juga membuat wawancara dengan orang yang berada di dekat lubang tersebut, dan mendapatkan komentar yang sangat jelas dan konstruktif.  Dan persis di titik itu juga, Koalisi Pejalan Kaki mendapat sebuah informasi yang membuat kami semakin prihatin.  Bukan soal kondisi di Jakarta, tetapi di Mojokerto.  Jelas diperlihatkan di Instagram ada sebuah trotoar yang guiding block-nya akan menuntut tuna netra yang mengikutinya langsung menuju sungai. 

Alfred kemudian berhenti sebentar, memanfaatkan informasi itu untuk disebarluaskan kepada yang mengikuti Instagram Koalisi Pejalan Kaki.  Kini, ada sekitar 33.000 orang yang memantaunya, dan orang sebanyak itu benar-benar bisa memberi tekanan publik.  Beberapa jam saja setelah Alfred menyebarkannya, perhatian orang terbetot ke masalah itu.  Saya sendiri beroleh banyak informasi dengan berdiskusi soal guiding block itu dengan Alfred.  Dia terutama menekankan pada betapa ketidakpedulian kepada penyandang difabilitas telah membuat jalanan di seluruh Indonesia menjadi berbahaya untuk mereka.  Bangsa ini tampaknya memang masih menderita defisit empati. 

Setelah mengurusi soal lubang dan guiding block itu, kami bergerak ke arah utara.  Persis sebelum FX, trotoar dipenuhi oleh pedagang makanan.  Ironisnya, persis di situ ditulis larangan berdagang di trotoar.  Di depan FX, yang dijaga oleh keamanan mal, tak ada pedagang.  Tetapi, ketika menyeberangi jalan yang menuju Stadion Senayan, pedagang kembali membludak.  Di situ, kami ‘disambut’ oleh seorang yang tampaknya ‘menguasai’ tempat itu. “Yang salah itu trotoar.  Kenapa dibikin di tempat orang jualan?” Begitu katanya.  Kami menimpali klaim itu sambil tersenyum, lalu kami mendiskusikan apa yang kami duga sebagai Tenabang Effect—lantaran di Tanah Abang pedagang tertentu diperbolehkan berdagang di jalan, maka di banyak lokasi lain, pedagang kaki lima mulai mengokupasi trotoar dan jalan. 

Tampak sekali bahwa orang-orang yang pulang kerja, dan para pekerja konstruksi yang sedang berada di sana adalah konsumen utama makanan yang dijual di gerobak-gerobak itu.  Para pedagang menghalangi garis kuning guiding block sepanjang jalan itu.  Andai saja sore itu ada penyandang tuna netra yang lewat, maka dia akan kesulitan menemukan jalannya.  Ketika saya kembali melewati jalur yang sama di malam harinya, pedagang semakin banyak, demikian pula pembelinya.  Dan saya kembali melewati lubang yang menganga itu, tanpa penerangan sama sekali.  Benar-benar berbahaya.

 

Motor, Trotoar, dan Nasib Pejalan Kaki

Selang seminggu kemudian, kami berkumpul lagi.  Kali ini apa yang kami hendak lihat adalah hasil dari pembatalan pelarangan motor di Jalan Thamrin dan Medan Merdeka Barat.  Pelarangan yang diterbitkan pada tahun 2014 itu dibatalkan Mahkamah Agung (MA) di awal minggu, dan kami ingin melihat apa dampaknya. Walaupun, jalanan masih tampak lebih lengang daripada biasanya, kami menduga ada yang bisa kami saksikan.  Oleh karenanya, dari Sarinah kami memutuskan berjalan kaki menuju Medan Merdeka Barat.

Sama dengan pembolehan penggunaan jalan untuk berdagang di Tanah Abang, keputusan MA itu disesalkan para pengamat dan otoritas yang mengurusi lalu lintas.  Diperkirakan, kemacetan akan bertambah, pelanggaran aturan seperti naiknya motor ke trotoar juga bertambah, dan angka kecelakaan meningkat sebagai dampak dari diperbolehkannya motor melewati ruas itu kembali.  Tentu saja, hal itu perlu dilihat dan dibuktikan dalam jangka panjang.  Tetapi, apa yang kami saksikan menguatkan dugaan itu. 

Di Jalan Thamrin, sebagian kecil motor naik ke trotoar dan parkir.  Ketika kami tegur, semuanya menyadari bahwa perbuatannya salah dan pindah.  Namun, yang kami saksikan di pojokan Medan Merdeka Barat, yaitu di depan gedung Indosat Ooredoo, benar-benar berbeda.  Di situ, pelanggaran regulasi benar-benar marak.  Motor-motor sangat banyak yang parkir dan lalu lalang di atas trotoar.  Ketika kami tegur, mereka banyak yang turun ke jalan, namun buru-buru memotong jalan untuk melawan arus.  Yang keluar dari gedung dan langsung melawan arus juga tak sedikit, sehingga near miss banyak terjadi.                 

Rupa-rupanya, mereka melihat bahwa dengan dibolehkannya motor di jalan itu, mereka bisa keluar dan menjadi dekat dengan bundaran di selatan Medan Merdeka Barat.  Alih-alih mengikuti arus ke sebelah utara, mereka kemudian melihat peluang untuk melawan arus, menggunakan jalan dan trotoar.  Banyak di antara pelanggar itu adalah jasa ojek daring. Melihat banyaknya motor yang menggunakan trotoar dan terus-menerus hampir menabrak pejalan kaki, Alfred kemudian merebahkan diri di trotoar. 

Apa yang kemudian terjadi? Sebagian motor turun ke jalan, memutar balik mengikuti arus.  Tetapi sebagian pemotor hanya turun ke jalan dan melawan arus, dengan kencang.  Apa yang kami saksikan sore itu jelas menunjukkan bahwa kekhawatiran para pengamat dan otoritas transportasi sangatlah beralasan.  Ketika diberi kelonggaran menggunakan jalan yang tadinya terlarang, kini mereka bukan saja menggunakan jalan tersebut dengan benar, namun juga menggunakannya dengan melawan arus, bahkan menggunakan trotoar juga dengan melawan arus sehingga membahayakan pejalan kaki. 

Demikianlah.  Saya menyaksikan secara langsung apa yang diperjuangkan oleh sahabat saya, Afred Sitorus, ‘presiden’ para pejalan kaki Indonesia, sedang mengalami kemunduran.  Di Tanah Abang, kekacauan meningkat akibat ‘pengaturan’ yang sesungguhnya melanggar regulasi.  Akibat susulannya adalah semakin banyak pedagang kaki lima di trotoar dan jalanan, mengokupasi ruang pejalan kaki.  Pembolehan motor melewati koridor Thamrin dan Medan Merdeka Barat juga berdampak buruk pada pejalan kaki dan ketertiban lalu lintas. 

Tetapi, mengenal karakter Alfred, saya percaya hal-hal itu tak akan menyurutkan langkahnya membela hak pejalan kaki negeri ini.  Kemuduran seperti itu hanyalah tantangan untuk lebih cerdas memikirkan solusi.  Dan salah satu yang sedang dibangunnya bersama sekelompok anak muda jagoan IT adalah sebuah aplikasi Android yang bisa membantu setiap orang melaporkan kondisi-kondisi yang membahayakan pejalan kaki di seluruh Indonesia, juga untuk memberikan inspirasi bagaimana kondisi-kondisi itu bisa diperbaiki. 

Pada tanggal 22 Januari nanti, hari yang diperingati sebagai Hari Pejalan Kaki Nasional, Alfred akan menjelaskan apa saja yang bakal dia lakukan di tengah situasi yang belum ideal ini, termasuk soal aplikasi itu.  Kita memang membutuhkan rencana tindakan yang lebih cerdas untuk membuat para pejalan kaki aman. Angka dari Jasa Raharja saja menyatakan di tahun 2017 ada 19.337 penerima santunan kecelakaan dari kelompok pejalan kaki, yang artinya setiap hari ada 53 orang pejalan kaki yang celaka.  Tentu, angka kecelakaannya lebih besar lagi, karena masih banyak yang belum terlindungi asuransi.  Hari Pejalan Kaki Nasional seharusnya bisa menjadi momentum untuk membuat perjuangan Alfred bisa menjadi lebih bermakna, dengan kita bersama-sama memerjuangkan keamanan pejalan kaki di seantero negeri.

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB