x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Risiko Mahar Politik

Di manapun tempatnya di muka bumi, politik tidak terlepas dari uang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di manapun tempatnya di muka bumi, politik tidak terlepas dari uang. Selalu ada biaya untuk mengongkosi kegiatan politik—politikus secara personal maupun partai sebagai organisasi. Partai-partai tidak dapat mengandalkan anggotanya untuk membiayai aktvitas politik mereka. Di negara yang menyebut diri kampiun demokrasi sekalipun, pengusaha menjadi sandaran bagi partai politik untuk mengusung calon-calon mereka.

Sebagian anggota yang kaya kerap jadi sandaran partai dan sebagai kompensasinya, mereka memperoleh jabatan tertentu dalam partai. Tak heran bila ada partai yang tiba-tiba menempatkan seseorang yang bukan kader sebagai ketua lantaran ia kaya raya. Harapannya, ia mau menggelontorkan uang untuk menjalankan mesin partai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Partai politik di sini juga berusaha agar negara mau meningkatkan anggaran untuk partai. Jumlahnya ditetapkan per kepala dikalikan dengan jumlah suara pemilih yang berhasil diraih partai dalam pemilihan legislatif sebelumnya. Semakin besar jumlah pemilih, semakin besar anggaran yang tersedia untuk partai tersebut.

Di samping untuk menjalankan roda organisasi sehari-hari, diperlukan uang lagi untuk menggerakkan aktivitas selama peristiwa politik tertentu, seperti pemilihan anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah. Bagi orang-orang yang berminat terjun ke dua peristiwa ini, popularitas jelas diperlukan agar partai tertarik meminang mereka. Tapi, tak kalah penting dari itu ialah kontrak politik dan biaya politik.

Ketika pileg dan pilkada dianggap penting untuk memuluskan jalan bagi partai dalam mengusung calon presidennya, kontrak politik menjadi sangat penting. Misalnya, jika terpilih sebagai gubernur, ia harus berjanji akan mendukung gerak mesin partai untuk memuluskan jalan calon partai menuju RI-1. Atau, bila figur yang ingin jadi kepala daerah ini orang luar partai, ia diminta untuk menyertakan kader partai sebagai wakilnya. Mungkin saja ada kompensasi lain yang diinginkan oleh partai jika ia terpilih, tapi yang ini tidak akan ditulis hitam di atas putih.

Begitu pula, aktivitas pencalonan jelas memerlukan biaya. Partai-partai menyatakan mereka mengeluarkan biaya. Kader-kader juga disebut-sebut berpatungan untuk membiayai pencalonan seseorang. Apa lagi orang yang dicalonkan, tentu ia akan dimintai kontribusi yang tidak kecil. Calon yang kantongnya tebal akan dengan mudah merogoh uang miliaran. Bagaimana jika kantongnya tipis? Ia mungkin harus mencari donatur—dan tentu saja, tidak ada makan siang yang gratis.

Mahar barangkali istilah yang telanjur kerap digunakan bila seseorang ingin maju ke gelanggang pileg ataupun pilkada melalui partai politik. Mahar dapat dipahami dalam konteks bahwa diperlukan biaya untuk menggerakkan mesin partai terkait pencalonan itu, dan si calon harus ikut menanggung biaya tersebut dalam jumlah besar. Dalam konteks pembiayaan pencalonan seseorang, istilah ‘mahar’ dapat dipahami. Namun begitu, ada risiko yang patut dicermati akibat mahalnya mahar politik ini.

Pertama, akses menuju pencalonan oleh partai akan didominasi oleh figur-figur berkantong tebal—di antaranya kaum elite pengusaha. Seandainya kantongnya tidak tebal, hanya orang yang sangat populer dan tinggi potensi elektabilitasnya yang akan dilirik oleh partai. Dengan demikian, figur ini akan kokoh posisinya karena kaki-kakinya berada di dua ranah sekaligus: bisnis-ekonomi dan politik-kekuasaan. Mereka yang tidak berkantong tebal, tapi mengandalkan gagasan, pikiran, dan karakter, akan sukar mengakses peluang pencalonan kecuali ia maju melalui jalur independen dan meminta dukungan masyarakat alias crowdsourcing.

Kedua, mahalnya mahar politik berpotensi mendorong figur yang dicalonkan dan kemudian terpilih untuk menggunakan kesempatan memulihkan modal yang sudah ia investasikan di dunia politik. Bila ada sosok yang sudah mengeluarkan puluhan hingga ratusan miliar agar terpilih namun ia tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk mengembalikan investasinya, maka ia anomali di jagat politik—tapi ia pula figur yang kita cari.

Ketiga, apabila seorang figur dinilai punya elektabilitas tinggi dan dipinang oleh partai politik tapi tak berkantong tebal, maka akan ada upaya mencari dukungan dana untuk menjalankan aktivitas pencalonannya. Sumber-sumber dana ini mungkin memiliki tautan ideologis, tapi mungkin pula karena memiliki interes tertentu. Sekali lagi, tidak ada makan siang gratis di zaman sekarang. Ketika calon ini kemudian terpilih, donatur mungkin saja menagih return of investment yang telah dijanjikan.

Mungkin ada konsekuensi keempat dan seterusnya, namun tiga konsekuensi itu sudah cukup untuk membuat kita prihatin. Uang memang diperlukan untuk menjalankan aktivitas pencalonan, namun jika mendominasi dan meruntuhkan aspek-aspek fatsun politik, demokrasi macam apa yang sedang kita upayakan? ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler