x

Sejumlah pedagang kaki lima berjualan di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta, 10 Juni 2017. Dengan kembali berjualannya pedagang kaki lima di trotoar membuat terganggunya arus lalu lintas di kawasan Tanah Abang. TEMPO/Fajar Januarta

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jalanan Kota yang Makin Maskulin

Jalanan kita terkesan semakin maskulin dan kian kehilangan unsur femininnya sebagai penyeimbang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Hari masih pagi, sekitar pukul 5, ketika saya keluar rumah untuk mencari sarapan bagi beberapa orang tamu yang menginap. Saat berjalan di trotoar yang sempit dan bergelombang, tiba-tiba terdengar bunyi rem menderit kencang. Sepertinya tak berhasil menghindari apa yang tak diinginkan, pesepedamotor (bebek) yang melaju kencang itu tak mampu menghindar dari menubruk bagian belakang sepeda motor di depannya yang direm mendadak.

Tak pelak, si penabrak terguling di aspal, sedangkan sepeda motor ber-cc besar yang ditabrak tenang-tenang saja menepi. Seorang pejalan kaki membantu si penabrak beringsut ke pinggir jalan. Kepalanya mungkin pusing. Pesepeda-pesepeda motor lain hanya berpaling sejenak lalu terus melaju seolah tidak terjadi apa-apa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kendati kejadian itu niscaya terlihat jelas, pesepeda motor lain tak mengurangi lajunya. Saya ragu-ragu untuk menyeberang. Sepagi itu, banyak pengendara motor memacu kencang tunggangannya karena lalu lintas belum lagi padat. Akhirnya, saya beranikan diri menyeberang jalan sembari mengacungkan jempol—tanda pujian bagi pesepeda motor agar bersedia mengurangi kecepatan untuk memberi kesempatan penyebarang melintas.

“Wuusss!!!” ada saja pesepeda motor yang malah mempercepat lajut motornya dan meliuk di depan saya tanpa basa-basi, menekan klakson umpamanya. Di saat hari masih pagi, jalanan sudah memberi dua latihan sekaligus: olahraga jantung dan latihan bersabar. Jalanan yang masih lengang memang menstimulasi pesepeda motor maupun pengendara mobil untuk memacu kendaraan mereka, karena itu kerap lebih menakutkan bagi pejalan kaki.

Padatnya jalan-jalan oleh motor dan mobil memang membuat kota-kota di Indonesia terasa sangat sibuk. Suatu ketika, saya sempat bertemu tiga bersaudara wisatawan Belanda seusai menengok bekas rumah ayah mereka saat berdinas di Bandung. Saya minta tanggapan tentang Bandung, mereka berkomentar: “Sangat sibuk.” Saya menduga, kata ini dipilih agar terdengar lebih sopan ketimbang kata semrawut.

Ketika orang-orang memacu kendaraan di jalan, mereka seolah ingin segera bekerja begitu sampai di kantor. Saya tidak tahu apakah memang begitu kenyatannya, atau setelah tiba di tempat kerja mereka malah lebih dulu ngobrol sembari minum kopi. Yang jelas, di jalan aspal, para pengemudi tampak obsesif pada kecepatan. Selagi bisa ngebut, mereka memacu kendaraan; selagi bisa meliuk, mereka akan menunjukkan kepiawaian mengemudi.

Sepeda motor terjatuh atau tertabrak sesama motor dianggap sebagai hal yang lumrah sepanjang tidak mendatangkan kematian. Hanya sedikit orang yang tergerak untuk menolong, selebihnya hanya berpaling melihat sejenak lalu melajukan motor mereka. Apakah ini semacam gejala menurunnya sikap empatetik warga? Tidak ingin terlibat dalam persoalan?

Bila maskulinitas ditautkan dengan kecepatan dan kekerasan, sedangkan femininitas ditautkan dengan sikap empatetik (misalnya, memberi jalan bagi yang ingin berbelok, memberi kesempatan kepada penyeberang, tidak menelikung antrian), jalanan kita memang terkesan semakin maskulin dan kian kehilangan unsur femininnya sebagai penyeimbang. Pesepada motor dan pengemudi mobil ngebut, tiba-tiba memotong jalan kendaraan lain, meliuk-liuk di tengah kepadatan, pura-pura tidak melihat ada penyeberang jalan, dan membunyikan klakson terus-menerus jadi ciri khas jalanan yang maskulin. Sebagian pengendara mobil enggan mengantri dan memilih menyelinap masuk ke barisan depan dengan menyalip antrian.

Pengendara motor dan mobil cenderung memacu kencang kendaraan di saat jalanan kosong, seakan-akan berusaha mendapatkan kompensasi atas kemacetan yang dialami dan antrian panjang di perempatan yang memang menguji kesabaran—lampu merah yang lama menyala dan lampu hijau yang lekas berganti. Kota maskulin memaksa warganya untuk mengikuti cara-cara yang kurang empatetik dalam berkendara. Penyeberang jalan harus berjuang keras agar bisa sampai ke sisi lain jalan dengan selamat. Di tengah situasi seperti itu, tidak banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah kota untuk menyeimbangkan kembali unsur maskulinitas dan femininitas kota. Di jalanan, seringkali warga harus berjuang sendiri, misalnya dengan mengacungkan jempol untuk meminta jalan kepada pengguna yang lain. Sayangnya, jempol pun tidak selalu berfungsi dengan ampuh. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler