x

Iklan

SADARUDIN BAKRIE

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pilkada Serentak: Demokrasi Rasa Plutokrasi

Sadarudin. Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jember

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“….Tapi sekarang saya sedih sebagai ketua umum partai, karena kalau ada yang datang kepada saya untuk mencalonkan gubernur dan saya tanya. ente punya uang nggak? Saya tidak tanya anda lulusan mana, saya tidak tanya anda prestasinya apa.  Anda pernah nulis buku apa? Saya tidak tanya. Anda pernah jadi gubernur, bupati?  Saya tidak tanya. pernah jadi camat nggak? Saya tidak tanya. Yang saya tanya ente punya uang berapa?  Sedih saya, ada orang hebat, orang maju, orang pintar, nggak punya uang. Saya tahu rekan-rekan saya, yunior-yunior saya, saya tahu pemimpin baik, di TNI. Saya tahu, Jenderal itu, jenderal ini luar biasa orang-orang ini. Jenderal-jenderal yang tak korupsi yah tak punya uang. Ada yang mau maju, mau maju gubernur. Saya tanya, ente mau nyalon gubernur? Kalau mau jadi gubernur minimal Rp 300 miliar, itu paket hemat. …….”   Kata Prabowo dalam acara di pondok Pesantren Al Islah Bondowoso 24 Juli 2017.

Pidato Prabowo pada suatu acara yang diselenggarakan oleh Pesantren al Islah Bondowoso pada tahun lalu itu sangat menyedihkan. Sudah lebih dari 70 tahun kita merdeka. Sudah berkali-kali kita melaksanakan pemilihan umum ternyata demokrasi  kita tak pernah bergerak dan berubah menjadi lebih baik . Demokrasi kita masih tetap seperti sejak pemilu 1999 yaitu demokrasi  dengan rasa plutokrasi yang sangat kuat.

PLUTOKRASI merupakan istilah dalam ilmu sosiologi yang menunjuk pada kelompok masyarakat yang menjadi hamba materi, harta dan uang. Dimana kemuliaan dan keberhasilan hidup, martabat dan kehormatan hidup,  diukur dan didefinisikan oleh seberapa banyak kekayaan yang berhasil diraup dan diperoleh dengan tak mempedulikan bagaimana proses memperolehnya. Dengan cara-cara halalkah atau dengan menghalalkan segala cara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semua orang berlomba-lomba mendapatkan kekayaan , karena dengan kekayaan itulah derajad kemulyaan dan kehormatan hidup ditengah masyarakat bisa diperoleh. Toh masyarakat tak peduli, kalo kekayaan yang diperoleh dari hasil korupsi, menipu, merampas hak orang lain. Inilah yang memotivasi orang jadi kleptokrat, korup dan menghalakan segala cara untuk memperoleh sesuatu, bahkan orang tua rela menggadaikan tanahnya untuk menyuap aparat agar anaknya jadi PNS, Tentara, Polisi, Jaksa, Hakim, bahkan jadi guru dan dosen, Tujuannya bukan untuk mengabdi tapi jadi orang yang dianggap berhasil dalam hidupnya. Punya kemulyaan dan derajad dalam hidup ditengah-tengah masyarakatnya.  

Itulah potret masyarakat kita yang tentu saja merefleksikan dalam demokrasi kita, Demokrasi  yang didasarkan pada ukuran  keberhasilan hidup, kehormatan hidup, dan kemulyaan hidup dari berapa banyak harta yang diperolehnya, meskipun otaknya Idiot. Dalam demokrasi rasa plutokrasi, proses seleksi pencalonan pemimpin negara pada semua level struktur organisasi negara bukan ditentukan oleh dedikasinya, juga bukan ditentukan oleh prestasi yang pernah diperoleh baik dibidang akademik maupun dibidang kemasyarakatan.  Tapi ditentukan oleh   berapa nominal mahar yang disetor oleh sang calon kepada partai politik pengusung

Fahri Hamzah menyebut mahar itu merupakan keterpaksaan yang tak mungkin dihindari dalam sistim politk seperti sekarang. Dan kalau ada partai politik yang mengatakan “tidak ada”   itu bohong,  karena system itu menurut Fahri memaksakan calon untuk membiayai kampanye  mereka pada semua level jabatan politik dalam struktur organisasi negara. (lihat  https://www.youtube.com/watch?v=NAv3EwJcxkE)

Ikuti tulisan menarik SADARUDIN BAKRIE lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler