x

Iklan

Iwan Setiawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pangan Impor dalam Keranjang Belanja Kita

Produk pangan lokal tidak lagi menjadi primadona di negeri sendiri. Pangan impor lambat namun pasti telah menggeser tempatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kota yang mingu-minggu ini diguyur hujan hampir tiap hari tak menyurutkan semangat ibu berbelanja. Seminggu dua kali ibu pergi ke toko serba ada langganan, yang terletak tak jauh dari rumah kami. Hampir semua kebutuhan harian tersedia di sana. Dari keperluan dapur sampai busana. Dari garam sampai selimut dan baju hangat. Pendeknya, ibu hanya perlu mendatangi toko itu untuk mencukupi keperluan hidup kami.

 

Sore kemarin rutinitas ibu itu berlangsung. Aku mengantarnya seperti biasa. Menumpang minibus hitam setengah tua kebanggaan keluarga, kami berbelanja. Kali ini belanjaan ibu lebih banyak dari biasa. Saat awal bulan seperti ini, ibu mengisi kembali rak-rak dapur yang kosong. Persediaan sabun, pembersih lantai dan pewangi ruangan tak luput ibu perhatikan. Dari semua barang belanjaan, yang berjenis pangan yang paling banyak dibeli.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Ibu memasukkan dalam keranjang dorong belanjaannya buah pear asal negeri Kangguru dan apel merah gelap dari Washington. Salak Pondoh yang harum dan Markisa Medan dipilh ibu. Jeruk Ponkam dan Lengkeng Bangkok pun dimasukkan ibu ke dalam keranjang. Melengkapi buah-buahan itu, ibu mengambil sebungkus ubi jalar, produk ekspor untuk Jepang. Ibu meninggalkan pojok buah dan sayur dengan keranjang belanja yang hampir penuh.

 

Keranjang itu diarahkan ibu memasuki pojok ikan dan daging. Makanan olahan ayam yang membeku dalam lemari pendingin dipungutnya dua bungkus. Dalam lemari yang sama, ibu mengambil roti kering impor yang cara penyajiannya dengan dipanggang.  Udang peci yang disusun berbaris dalam hamparan batu es dipilih-pilih ibu. Keranjang ibu bertambah penuh.

 

Kegiatan ibu belum tuntas. Beragam keperluannya belum terpenuhi semua. Ibu menuju tempat makanan kering. Sebotol kecap, margarin, dan selai coklat diambil ibu. Sebotol bumbu instan ibu angkat dari rak. Garam dapur, penyedap rasa dan empat batang mie kering, ibu tumpuk dalam keranjang yang semakin sempit. Melengkapi belanjaannya, ibu memilih sekarung beras berjenis setra ramos.

 

Barang belanjaan yang dibawa ibu adalah kebutuhan harian. Kecuali buah-buahan, belanjaan ibu diolah sebelum dikonsumsi. Setiap keluarga memiliki kebutuhan konsumsi yang beraneka ragam. Macam ragam barang yang dibeli, menjadi gambaran umum pola belanja masyarakat.

 

Melihat gundukan belanjaan ibu, produk pangan yang dipilih banyak yang berlabel impor. Buah pear, apel, dan lengkeng didatangkan dari negeri tetangga. Hanya buah lokal bermutu baik yang mampu mengimbangi produk negeri jiran itu. Markisa dan salak adalah dua diantara komoditas lokal unggul tersebut.

 

Produk pangan yang tersedia di pasar akan menciptakan konsumennya sendiri. Seperti bunyi hukum ekonomi, supply creates its own demand, produk pangan impor telah memiliki peminat. Masyrakat tentu berpikir praktis, karena yang tersedia adalah  buah-buahan impor, maka buah kategori itu yang dikonsumsi.

 

Keunggulan rasa, bentuk, serta kandungan gizi yang dimiliki buah impor membuat beraneka buah lokal tersisih. Apel Malang yang manis dan empuk, misalnya, jarang dijumpai di rak penjual buah. Sebagai gantinya, buah apel dari negeri Kangguru, atau negeri Paman Sam yang banyak tersedia. Buah sawo yang manis sebagai contoh lain, tergeser tempatnya oleh buah Kiwi asal New Zealand.

 

Nestapa terpinggirkannya pangan local oleh pangan impor semestinya tidak terjadi. Nasib para petani kita, sebagai garda depan penghasil produk pangan, selayaknya mendapat perhatian. Mereka sejatinya mendapat perlakuan istimewa. Bukan sebagai tindakan menganak-emaskan, tetapi sebagai upaya menjaga kepentingan yang lebih besar. Di tangan para petani, salah satunya, kedaulatan pangan nasional bergantung.

 

Sejumlah usaha untuk mendongkrak hasil pertanian, perikanan, maupun sektor lain sudah semestnya ditingkatkan. Pemertintah sebagai pemangku kepentingan dituntut perannya yang lebih besar. Slogan sebagai negeri agraris yang telah tersemat seyogyanya dijunjung tinggi, dijaga dan dirawat dengan langkah-langkah nyata. Program pembangunan sudah saatnya diarahkan lebih condong ke sector ini.

 

Kekayaan kuliner yang dimiliki negeri ini merupakan modal berharga dalam upaya mengangkat pangan local. Peran serta masyarakat dari segenap lapisan dituntut lebih besar. Kegiatan makan di restoran cepat saji, misalnya. Dengan semangat memajukan pangan local, kegiatan kuliner ini dapat diubah dengan mengunjungi rumah makan yang menyajikan masakan nusantara. Mengganti menu fried chiken atau french fries dengan ayam pop dan perkedel, sepertinya menarik untuk dicoba.

 

Buah dan umbi-umbian local, secara terus-menerus diperkenalkan kepada masyarakat. Melalui  upaya ini, masyarakat mengenal komoditas pangan yang dimiliki negeri ini. Umbi talas, ganyong, dan sagu memiliki cita rasa yang tak kalah sedap dari singkong dan ubi jalar. Dengan sentuhan kreatifitas, ketiganya dapat diubah menjadi beraneka kreasi. Keripik, kue kering, dan cake talas telah beredar luas di masyarakat. Keunggulan ini patut kita syukuri. Masyarakat hendaknya tak henti berkreasi dan berinovasi memajukan pangan nasional. 

 

Bermunculannya kedai-kedai sate, kios baso, dan warung kopi merupakan langkah yang baik dalam “meredam” persebaran restoran-restoran “impor”. Sepanjang jalan Jenderal Ahmad Yani di kota saya, kios pedagang awug beras, rujak tumbuk, dan seupan talas menjadi rona tersendiri diantara bangunan megah restoran-restoran cepat saji. Belum lagi penganan tradisional seperti cilok, yang kini banyak bermunculan, khasanah kuliner lokal masyarakat semakin kaya.

 

Sistem perdagangan bebas yang dijalankan saat ini diupayakan untuk tidak menggerogoti kepentingan nasional. Perlindungan yang dilakukan pemerintah terhadap sektor pertanian, perikanan, dan lainnya akan menempatkan para petani kita, nelayan, atau pelaku usaha pada keadaan yang lebih baik. Bila produk pangan nasional tersisihkan oleh pangan impor, sebagaimana kita rasakan, maka kedaulatan pangan kita akan terganggu. Semoga “mimpi buruk” ini tidak menjadi kenyataan.

Ikuti tulisan menarik Iwan Setiawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB